Zara menatap layar ponselnya dengan mata setengah terpejam. Jam digital menunjukkan pukul 02:17 pagi. Ia menghela nafas panjang, jemarinya masih lincah mengetik pesan di aplikasi chatting grup kantornya. Sebagai seorang desainer grafis di sebuah agensi periklanan ternama di Jakarta, lembur hingga dini hari sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.
"Oke guys, aku udah kirim revisi terakhir. Tolong di-cek ya. Kalau udah oke, langsung kirim ke klien," ketik Zara sebelum menutup laptop dan beranjak dari meja kerjanya.
Apartemen mungil Zara yang terletak di lantai 27 sebuah gedung pencakar langit di kawasan Sudirman terasa sunyi. Hanya deru samar pendingin ruangan yang memecah keheningan. Zara berjalan gontai ke arah kamar mandi, berniat untuk mencuci muka sebelum tidur.
Saat ia menyalakan lampu kamar mandi, matanya menangkap sesuatu yang aneh di cermin. Untuk sepersekian detik, Zara merasa melihat bayangan sesosok pria berdiri di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia berbalik dengan cepat, namun tak ada siapa-siapa di sana.
"Pasti cuma halusinasi karena kecapekan," gumam Zara pada diri sendiri, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Zara bergegas ke tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi dagu, berusaha mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang masih menggelayuti benaknya. Tak lama kemudian, rasa lelah mengambil alih dan Zara pun terlelap.
---
Keesokan paginya, Zara terbangun dengan perasaan segar. Sinar mentari yang menembus tirai jendela kamarnya menandakan hari sudah cukup tinggi. Ia meraih ponselnya dan terkejut melihat waktu yang tertera: 10:45.
"Sial! Aku kesiangan!" seru Zara panik. Ia melompat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Saat Zara sedang menggosok gigi dengan terburu-buru, tiba-tiba ia mendengar suara ketukan di pintu apartemennya. Zara mengernyitkan dahi, tidak mengharapkan tamu di jam seperti ini. Dengan sikat gigi masih di mulut, ia berjalan ke arah pintu dan mengintip melalui lubang pengintip.
Tak ada siapa-siapa di luar.
Zara mengangkat bahu dan kembali ke kamar mandi. Namun baru saja ia hendak melanjutkan menggosok gigi, ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan berirama.
Dengan perasaan jengkel bercampur was-was, Zara kembali ke pintu depan. Ia mengintip lagi, dan sekali lagi tak melihat siapa pun di luar. Zara mulai merasa kesal. Apakah ini ulah anak-anak iseng yang tinggal di lantai yang sama?
"Siapa di luar?" tanya Zara dengan suara lantang.
Tak ada jawaban.
Zara memutuskan untuk membuka pintu dan memergoki siapa pun yang sedang mempermainkannya. Namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, sebuah firasat buruk menyergapnya. Zara mengurungkan niatnya dan kembali mengintip.
Kali ini, sepasang mata gelap balas menatapnya dari lubang pengintip.
Zara menjerit dan melompat mundur. Jantungnya seolah hendak meloncat keluar dari rongga dadanya. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang memekakkan telinga.
"Si-siapa kau?!" teriak Zara dengan suara bergetar.
Hening. Tak ada jawaban dari balik pintu.
Dengan tangan gemetar, Zara meraih ponselnya dan menghubungi nomor darurat. Sambil menunggu panggilan tersambung, ia kembali mengintip ke luar.
Lorong di luar apartemennya kosong.
Zara menghela nafas lega, meski ketakutan masih mencengkeram hatinya. Ia membatalkan panggilan darurat dan memutuskan untuk segera bersiap-siap ke kantor. Mungkin semua ini hanya efek dari kurang tidur dan stres kerja, pikirnya berusaha menenangkan diri.
---
Sepanjang hari di kantor, Zara tak bisa mengenyahkan kejadian aneh pagi tadi dari pikirannya. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, namun bayangan sepasang mata gelap yang menatapnya dari lubang pengintip terus menghantuinya.
"Lo kenapa sih, Ra? Dari tadi kayaknya nggak fokus banget," tanya Dion, rekan kerja sekaligus sahabat Zara, saat mereka sedang makan siang bersama di kantin kantor.
Zara menghela nafas panjang sebelum menceritakan pengalamannya pagi tadi kepada Dion. Sahabatnya itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk atau mengernyitkan dahi.
"Gila sih, Ra. Serem banget. Tapi lo yakin itu bukan cuma halusinasi? Lo kan emang lagi capek banget belakangan ini," ujar Dion setelah Zara selesai bercerita.
"Gue juga sempet mikir gitu, Don. Tapi... entahlah. Rasanya terlalu nyata untuk disebut halusinasi," jawab Zara sambil mengaduk-aduk makanannya tanpa selera.
"Gimana kalau lo pasang CCTV aja di depan pintu apartemen lo? Buat jaga-jaga," usul Dion.
Zara mengangguk setuju. "Iya, kayaknya emang harus gitu deh."
Sepulang kerja, Zara mampir ke toko elektronik untuk membeli sebuah kamera CCTV nirkabel. Ia berharap dengan adanya kamera ini, ia bisa merasa lebih aman dan mungkin bisa menangkap basah siapa pun yang iseng mengganggunya.
Malam itu, setelah memasang kamera CCTV di atas pintu apartemennya, Zara merasa sedikit lebih tenang. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap bisa memulihkan energinya yang terkuras akibat kejadian aneh dan menegangkan pagi tadi.
Namun, baru saja Zara hendak terlelap, ponselnya berdering nyaring. Ia meraih ponselnya dengan malas dan melihat ada notifikasi dari aplikasi CCTV yang baru dipasangnya.
Dengan jantung berdebar, Zara membuka aplikasi tersebut. Layar ponselnya menampilkan rekaman video dari kamera yang dipasang di depan pintu apartemennya. Awalnya tak ada yang aneh, hanya pemandangan lorong apartemen yang sepi.
Namun tiba-tiba, sesosok figur muncul di ujung lorong. Sosok itu berjalan perlahan mendekati pintu apartemen Zara. Zara menahan nafas saat sosok itu semakin dekat. Ia bisa melihat sosok itu mengenakan jaket hitam dengan tudung yang menutupi wajahnya.
Sosok itu berhenti tepat di depan pintu apartemen Zara. Perlahan, ia mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajahnya ke arah kamera.
Zara nyaris menjatuhkan ponselnya.
Wajah yang menatap ke arah kamera itu... adalah wajahnya sendiri.
Sosok itu tersenyum lebar, sebuah senyuman yang tidak wajar dan mengerikan. Kemudian, sosok itu mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dengan ritme yang sama persis seperti yang Zara dengar tadi pagi.
Zara membeku, tak mampu bergerak atau berteriak. Ia hanya bisa menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak ngeri.
Tiba-tiba, ponselnya mati. Layarnya berubah hitam total.
Dan tepat saat itu, terdengar suara ketukan di pintu apartemennya.
---
Dion menatap layar laptopnya dengan dahi berkerut. Sudah hampir tengah hari, tapi Zara belum juga muncul di kantor. Ia sudah mencoba menghubungi ponsel sahabatnya itu berkali-kali, tapi selalu masuk ke kotak suara.
"Aneh banget," gumam Dion pada diri sendiri. Tidak biasanya Zara terlambat tanpa kabar seperti ini.
Setelah ragu-ragu sejenak, Dion memutuskan untuk pergi ke apartemen Zara. Ia memberitahu atasannya bahwa ia akan keluar sebentar untuk mengecek keadaan Zara.
Setibanya di gedung apartemen Zara, Dion langsung menuju ke lantai 27. Lorong apartemen itu sepi dan sunyi, hanya suara langkah kakinya sendiri yang terdengar menggema.
Dion berhenti di depan pintu apartemen Zara dan menekan bel. Tak ada jawaban. Ia mencoba mengetuk pintu, memanggil nama Zara, tapi tetap tak ada respon.
Saat itulah Dion menyadari sesuatu yang aneh. Pintu apartemen Zara sedikit terbuka.
Dengan hati-hati, Dion mendorong pintu itu hingga terbuka sepenuhnya. "Zara? Lo di dalam?" panggilnya sambil melangkah masuk.
Apartemen itu gelap dan sunyi. Dion meraba-raba dinding, mencari saklar lampu. Saat lampu menyala, pemandangan yang terhampar di hadapannya membuat darahnya seolah membeku.
Ruang tamu apartemen Zara berantakan. Barang-barang berserakan di lantai, seolah telah terjadi pergulatan hebat di sana. Dan di tengah kekacauan itu, Dion melihat ponsel Zara tergeletak dengan layar yang retak.
"Ya Tuhan, Zara! Lo di mana?!" teriak Dion panik.
Ia bergegas memeriksa kamar tidur dan kamar mandi, tapi Zara tak ada di mana pun. Saat kembali ke ruang tamu, mata Dion menangkap sesuatu yang membuatnya tercekat.
Di dinding, tertulis sebuah pesan dengan cat merah yang masih basah:
"AKU SELALU MENGIKUTIMU"
Dion mundur dengan ngeri, hampir tersandung pecahan vas bunga di lantai. Ia baru saja hendak berlari keluar untuk mencari bantuan ketika mendengar suara gemerisik dari arah dapur.
Dengan jantung berdebar kencang, Dion perlahan mendekati dapur. "Za-Zara? Itu lo?" tanyanya dengan suara bergetar.
Tak ada jawaban, hanya suara gemerisik yang semakin jelas.
Dion mengintip ke dalam dapur dan melihat sesosok figur berdiri membelakanginya. Figur itu mengenakan jaket hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya.
"Zara...?" panggil Dion lagi, kali ini dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Perlahan, sosok itu berbalik. Dion terkesiap. Wajah yang menatapnya itu memang wajah Zara, tapi ada sesuatu yang salah. Mata Zara kosong dan gelap, dan senyuman di wajahnya terlalu lebar, terlalu tidak wajar.
"Hai, Dion," kata sosok itu dengan suara yang terdengar seperti Zara, tapi sekaligus tidak seperti Zara. "Aku sudah menunggumu."
Dion hendak berteriak, tapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, sosok itu sudah melesat ke arahnya dengan kecepatan yang tidak mungkin dimiliki manusia normal.
Terdengar jeritan tertahan, lalu hening.
Apartemen Zara kembali sunyi.
---
Seminggu kemudian, headline berita di seluruh Jakarta dipenuhi oleh kasus hilangnya dua karyawan dari sebuah agensi periklanan ternama: Zara Adisti dan Dion Pratama.
Polisi menemukan apartemen Zara dalam keadaan berantakan, dengan tulisan misterius di dinding dan jejak-jejak pergulatan. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan Zara maupun Dion.
Yang membuat kasus ini semakin misterius adalah rekaman CCTV dari lorong apartemen. Rekaman itu menunjukkan Dion memasuki apartemen Zara, namun tak pernah terlihat keluar lagi. Dan selama beberapa hari setelahnya, kamera CCTV menangkap sosok yang mirip Zara keluar masuk apartemen seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, ada sesuatu yang janggal dari sosok di rekaman CCTV itu. Ia selalu mengenakan jaket hitam bertudung, bahkan di tengah terik matahari Jakarta. Dan setiap kali sosok itu berpapasan dengan penghuni apartemen lain di lorong, mereka selalu tampak ketakutan dan bergegas menjauh.
Kasus ini menjadi buah bibir di seluruh kota. Berbagai teori bermunculan, mulai dari pembunuhan berantai hingga penculikan oleh sindikat perdagangan manusia. Namun tak ada yang bisa menjelaskan keanehan pada rekaman CCTV itu.
Sementara itu, di sebuah kafe di sudut kota Jakarta yang jauh dari keramaian, seorang wanita muda duduk sendirian di pojok ruangan. Ia mengenakan jaket hitam bertudung yang menutupi sebagian wajahnya. Di hadapannya, sebuah laptop menyala menampilkan laman berita online dengan headline tentang hilangnya Zara dan Dion.
Wanita itu tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa ditunjukkan Zara, melainkan seringai dingin yang tak pernah ada di wajahnya sebelumnya.
"Sudah waktunya pindah," gumamnya pada diri sendiri. "Kota ini mulai terlalu panas."
Ia menutup laptopnya dan beranjak keluar kafe. Di luar, seorang pria muda berpapasan dengannya. Mata pria itu terpaku pada wajah si wanita untuk sesaat, sebelum ia berpaling dengan ekspresi ketakutan.
Wanita itu hanya tersenyum lebih lebar. Ia berjalan ke arah halte bus terdekat, menunggu bus yang akan membawanya entah ke mana.
Sementara itu, di kantor polisi, Inspektur Rama duduk di mejanya dengan dahi berkerut. Ia menatap tumpukan berkas kasus Zara dan Dion di hadapannya. Sesuatu tentang kasus ini mengusik batinnya. Ada yang tidak beres, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa.
"Pak," panggil seorang anak buahnya, membuyarkan lamunan Rama. "Ada laporan baru masuk. Seorang saksi mata mengaku melihat Zara Adisti di sebuah kafe di daerah Kemang tadi pagi."
Rama mengangguk. "Siapkan tim. Kita ke sana sekarang."
Dalam perjalanan ke lokasi, pikiran Rama kembali melayang ke rekaman CCTV yang ia tonton berulang kali. Sosok yang mirip Zara itu... ada sesuatu yang tidak manusiawi dalam gerak-geriknya. Dan mata itu... mata yang kosong dan gelap, seolah tak ada jiwa di dalamnya.
Setibanya di kafe, Rama dan timnya langsung memeriksa rekaman CCTV. Benar saja, sosok yang mirip Zara terlihat duduk di pojok kafe selama beberapa jam sebelum pergi.
"Lacak ke mana dia pergi," perintah Rama pada timnya.
Pencarian mereka membawa mereka ke halte bus terdekat. Namun di situ jejak Zara menghilang. Tak ada satu pun kamera CCTV yang menangkap ke mana ia pergi setelah itu.
Rama menghela napas frustasi. Ia merasa seperti sedang mengejar hantu.
"Pak," panggil salah satu anak buahnya. "Ada yang aneh dengan rekaman CCTV di kafe tadi."
"Apa itu?" tanya Rama penasaran.
"Coba lihat ini," kata anak buahnya sambil menunjukkan sebuah video di tabletnya. "Ini rekaman saat Zara keluar dari kafe. Tapi lihat bayangan dia di lantai."
Rama memicingkan mata, menatap video itu dengan seksama. Matanya terbelalak kaget. Bayangan Zara di lantai... tidak cocok dengan sosoknya. Bayangan itu lebih tinggi, lebih besar, dan bentuknya... tidak seperti manusia.
"Ya Tuhan," gumam Rama. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Sementara itu, di sebuah bus antarkota yang melaju meninggalkan Jakarta, sosok yang mirip Zara duduk di kursi paling belakang. Ia menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan kota yang perlahan menghilang dari pandangan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
"Kau tidak bisa lari selamanya. Aku akan selalu menemukanmu."
Sosok itu tersenyum. Bukan senyum ketakutan, melainkan senyum puas. Ia mengetik balasan:
"Aku tahu. Karena kau adalah aku, dan aku adalah kau. Kita akan selalu bersama, selamanya."
Ia mematikan ponselnya dan kembali menatap ke luar jendela. Kota Jakarta kini tak lagi terlihat. Di depannya, sebuah kota baru menanti. Kota baru dengan korban-korban baru.
Sang Pengikut telah menemukan inang barunya. Dan perburuan pun dimulai kembali.
--- TAMAT ---