Hari menjelang malam, saat Salim sampai di gerbang pintu Desa Cibunian yang hendak ia datangi.
"Hmm ... sampai juga di Desa Cibunian. Sejak Didi pindah ke desa ini, hampir tiga bulan baru sempat mau main ke rumahnya," kata Salim berbicara sendiri.
"Alamatnya desa Cibunian, jalan randu alas. Hmm, repot juga cari alamat malam-malam begini!" sambung Salim mengerutu sendirian.
Tiba-tiba Salim melihat seorang pedagang yang berjalan di depannya.
"Nah! Kebetulan ada tukang sekuteng, aku coba tanya dia." Setelah sudah mendekat, Salim segera menyampaikan maksudnya.
"Kang, numpang tanya. Kalau jalan randu alas di sebelah mana, ya?"
"Wah! masih jauh, jalan randu alas! Ikuti jalan ini terus ketemu perempatan masuk ke kanan," kata pedagang sekuteng itu.
"Masih jauh ya? Oke kalau begitu Kang, terima kasih banyak."
"Iya, sama-sama ...."
Pedagang sekuteng itu sedikit mengerutu, pikirnya dagangannya mau dibeli, tidak tahunya orang yang sedang mencari alamat malam-malam. Kemudian, Salim kembali melanjutkan perjalanannya mencari alamat rumah temannya itu.
"Jauh juga tempat tinggal si Didi. Huh! Mulut asem lagi dari tadi enggak merokok. Mana enggak ada warung dari tadi!" Terus saja Salim menggerutu di tengah jalan.
Di kejauhan samar-samar Salim melihat seorang perempuan yang sedang berjalan ke arahnya. Dan, tak berpikir lama, akhirnya ia segera menghampiri perempuan itu untuk menanyakan alamat yang sedang ia cari.
"Eh, ada perempuan sendirian, tuh!" kata Salim sedikit terkejut, kemudian ia mencoba menyapa.
"Maaf, kok Eneng sendirian aja. Emangnya mau ke mana?" Tanpa basa-basi Salim bertanya pada perempuan itu.
"Mau pulang ke rumah. Kamu sendiri mau ke mana bawa tas?" Perempuan itu balik tanya.
"Abang datang dari Jakarta, mau ketemu teman yang tinggal di Desa Cibunian, jalan randu alas. Namanya Didi, Neng!"
"Oh ... Abang datang dari Jakarta? Tapi, sebelumnya aku minta maaf. Aku enggak kenal sama orang yang kamu sebutkan namanya tadi."
"Ya, udah enggak apa-apa. Bagaimana kalau Eneng, Abang antar pulang. Kasihan perempuan sendirian jalan malam-malam begini." Kata salim menawarkan diri untuk mengantar perempuan itu. Padahal dalam hatinya ia takut juga jalan sendiri di desa orang pula. Makanya ia berpura-pura mengantar perempuan itu, agar ada teman dalam perjalanan ke rumah Didi.
Maksud Salim yang berniat hendak ke rumah kawannya itu jadi terhalang, karena harus mengantar perempuan yang ia temui di jalan.
"Oh, iya. Neng. Kenalkan nama Abang, Salim."
"Nama aku Iren, Bang."
"Namanya bagus, kayak artis aja, ya."
"Ah, Abangnya bisa aja…!"
Setelah berjalan jauh Salim dengan perempuan yang baru ia kenalnya itu. Namun, tiba-tiba ia dikejutkan, kehadiran perempuan lagi yang sedang duduk di ujung jalan dekat pohon waru.
"Loh, kok ada cewek lagi! Malam-malam begini di tempat sepi lagi?"
"Itu teman aku, Bang…!" Sahut Iren tiba-tiba, membuat Salim merasa heran. Kenapa perempuan di sampingnya itu dapat mendengar suara hatinya.
Begitu Salim dan Iren sudah hampir mendekati perempuan di depannya. Perempuan itu pun memberikan senyuman yang begitu ramah kepada Salim dan Iren.
"Hei, lagi ngapain! Melamun di sini sendirian?" tanya Iren pada temannya itu.
"Aku lagi suntuk aja, Ren!" sahut perempuan itu.
"Betulkan Bang, itu teman aku. Ayo, aku kenalin!" kata Iren sambil menarik lengan Salim.
"Kenalin nama Abang Peter! Eh, salah, Salim Neng!" Salim sebenarnya hendak tertawa geli, karena salah sebut namanya sendiri.
"Namaku Iren, Bang."
"Loh, kok nama kalian sama?"
"Nama kita berdua memang sama, Bang! 'Kan matinya kemaren…!"
Wujud perempuan itu seketika berubah begitu menyeramkan. Rambutnya panjang menyentuh tanah. Kelopak matanya bolong, dan tidak memiliki hidung sama sekali. Giginya bertaring menyilang menutupi mulutnya. Wajahnya banyak lubang kecil-kecil.
"Hik ... hikk ... hiik ... hiik!"
Salim begitu terkejut melihat sosok di hadapannya. Tubuhnya mendadak tidak dapat ia gerakkan. Begitu ia menoleh perempuan di sebelahnya yang bernama Iren juga.
"Bang Salim. Hik... hikk... hiik... hiikk!"
"Set, set ... taan...!"
Salim mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya dan lari terbirit-birit, karena perempuan yang ia temui dari awal, ternyata setan juga. Ia terus berlari menerobos sunyinya malam tanpa menoleh sedikitpun.
"Brengsek…! Ketemu dedemit dua sekaligus! Rasanya nafas hampir mau putus!" makinya sambil terus berlari begitu kencang.
Sanking paniknya, kakinya tersandung batu yang berada di depannya, lalu ia jatuh tersungkur mencium tanah.
Bruukk...!
Ketika jatuh dalam keadaan tengkurap, Salim mencoba bangun perlahan-lahan, walau kepalanya masih terasa pusing. Dan, tidak lama ia mendengar suara ranting kayu yang terinjak.
Traak...!
"Ampun ... yang mati kemaren tolong jangan ganggu aku!" kata Salim yang celananya sudah nampak basah.
"Kurang ajar! Saya dibilang mati kemaren! Saya ini sedang meronda. Ngapain kamu malam-malam begini lari-larian. Mau maling ayam ya…?"
"Oh, maaf. Mamang lagi ronda? Kirain saya setan!!"
"Kenapa kamu lari-larian tengah malam? Ngompol lagi!"
"Tadi saya habis lihat ada dua setan di tengah jalan sana, Mang…!"
"Oh, pasti itu si Leha sama si Entin, yang mati gantung diri kemaren!" kata Mamang ronda yang tiba-tiba bulu kuduknya ikut bergidik. Lantas ia segera bertanya sama anak muda di hadapannya yang masih terduduk di tanah.
"Kamu pasti bukan warga desa ini. Bener, kan,?"
"Saya datang dari Jakarta, Mang! Mau ke rumah teman di Desa Cibunian, jalan randu alas," jawab Salim yang masih ketakutan terbayang hantu yang ia temui barusan.
"Nama teman kamu siapa…?"
"Teman saya, namanya Didi."
"Kalau Didi jalan randu alas, saya kenal…!"
"Mamang kenal? Kalau begitu saya minta di antar Mang ke rumahnya!" sahut Salim cepat.
Wuussssh! Tiba-tiba Sekelebatan dua bayangan putih terbang ke arah mereka.
"Hik ... hik ... hik!" Kembali terdengar suara kedua kuntilanak yang baru saja Salim temui.
"Setaaaaan...!" teriak Salim dan peronda itu berbarengan.
Salim dan peronda itu lari tunggang langgang, tidak perduli dengan jalan yang ia lalui di depannya. Salim begitu ketakutan, lantas menarik belakang celana si peronda, sampai-sampai celananya jadi melorot.
"Celana saya jangan ditarik-ditarik, koplok!"
"Lari Mang, lari, lari...!"
Di simpang jalan, akhirnya lari mereka terhenti. Salim sempat menolah ke sana-kemari untuk memastikan kedua kuntilanak itu tidak mengikuti mereka.
"Hahhh... hahh! Sudah, sudah, kuntilanak itu tidak mengejar kita!"
"Mang, saya menginap di rumah Mamang ronda saja ya?"
"Jangan, jangan! Kamu saya antarkan ke rumah teman kamu saja!"
"Kenapa memang, Mang?"
"Hahh! Eta jurig tangkal waru, jangan-jangan dia mau mengikuti kamu. Malah saya yang terkena getahnya!"
"Ha ha ha ... jangan nakutin, Mang!"
"Kamu juga edan! Kenapa tadi larinya celana saya dipelorotin?"
"Ha ha ha ... saya takut Mang! Soalnya tadi kedua kuntilanak itu sudah dekat di belakang saya!"
"Dasar boa edan! Ya, sudah kita ke alamat rumah teman kamu saja."
"Iya, Mang. Ayo agak cepat jalannya!"
"Huh! Mimpi apa saya kemarin, bisa ketemu kamu jadi sial begini!" gerutu peronda tersebut.
Akhirnya Salim menuju rumah Didi, diantar oleh Mamang peronda malam di Desa Cibunian.[ ]