Suara bel sekolah bergema di koridor SMA Harapan Bangsa, menandakan berakhirnya jam pelajaran terakhir. Arya, siswa kelas 11 IPA 2, bergegas membereskan buku-bukunya. Saat ia membuka loker untuk mengambil jaket, sebuah amplop merah muda terjatuh ke lantai.
Dengan penasaran, Arya memungut amplop itu. Tanpa nama pengirim, hanya tertulis "Untuk Arya" dengan tulisan tangan yang rapi. Dibukanya amplop tersebut, dan matanya melebar membaca isinya:
"Arya yang kusayang,
Setiap hari kulihat senyummu yang menawan,
Setiap langkahmu, kuikuti dalam diam.
Kau mungkin tak menyadari kehadiranku,
Tapi aku selalu ada, mengawasimu dari jauh.
Suatu hari nanti, kita akan bersama selamanya."
Arya bergidik. Ini bukan surat cinta biasa, ada sesuatu yang terasa... mengancam. Namun, ia mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya lelucon teman-temannya.
"Hei, Arya! Ayo pulang!" seru Dimas, sahabat karibnya, menepuk pundak Arya.
Arya tersentak, cepat-cepat memasukkan surat itu ke dalam tasnya. "Oh, iya. Ayo."
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Arya terus tertuju pada surat misterius itu. Siapa pengirimnya? Apa maksudnya?
"Kau kenapa, bro? Kok diam saja?" tanya Dimas, membuyarkan lamunan Arya.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Arya, tersenyum tipis. "Hanya sedikit lelah."
Keesokan harinya, Arya kembali menemukan surat serupa di lokernya. Kali ini, isinya lebih mendetail, menceritakan kegiatan Arya kemarin dengan sangat rinci. Arya mulai merasa tidak nyaman. Ia mencoba mencari tahu siapa pengirimnya, tapi tak ada petunjuk.
Hari-hari berlalu, dan surat-surat serupa terus berdatangan. Setiap hari ada surat baru di lokernya, terkadang bahkan di tas atau bukunya. Arya mulai merasa tertekan. Ia sulit tidur, selalu merasa diawasi.
Suatu pagi, saat Arya sedang terburu-buru ke sekolah, ia tak sengaja menabrak seseorang di gerbang sekolah. Buku-buku yang dibawanya berserakan di tanah.
"Ah, maafkan aku!" seru Arya panik, berjongkok untuk memunguti buku-bukunya.
"Tidak apa-apa, biar kubantu," jawab sebuah suara lembut.
Arya mengangkat wajahnya dan terpaku. Di hadapannya, seorang gadis cantik berambut hitam panjang sedang tersenyum manis, membantunya mengumpulkan buku-buku yang jatuh.
"Te-terima kasih," ujar Arya terbata-bata. "Aku Arya, kelas 11 IPA 2."
Gadis itu tersenyum lebih lebar. "Aku Rina, 11 IPA 1. Senang berkenalan denganmu, Arya."
Mereka berjalan bersama menuju gedung sekolah, mengobrol ringan. Arya merasa ada sesuatu yang berbeda dari Rina. Gadis itu memiliki aura yang menenangkan, suaranya lembut dan tawanya merdu.
Sejak pertemuan itu, Arya dan Rina sering berpapasan di sekolah. Mereka mulai saling menyapa, kadang mengobrol sebentar di kantin atau perpustakaan. Arya menemukan dirinya selalu menantikan momen-momen singkat bersama Rina.
Sementara itu, surat-surat misterius itu terus berdatangan. Isinya semakin mengerikan, penuh ancaman terselubung dan janji-janji obsesif. Arya semakin tertekan, tapi ia tak tahu harus berbuat apa.
Suatu hari, saat Arya sedang duduk sendirian di taman belakang sekolah, Rina menghampirinya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rina lembut.
Arya mengangguk, tersenyum tipis. Rina duduk di sampingnya, menatap Arya dengan khawatir.
"Kau terlihat stress belakangan ini, Arya. Ada masalah?"
Arya terdiam sejenak, ragu apakah ia harus menceritakan tentang surat-surat itu. Tapi ada sesuatu dari Rina yang membuatnya merasa aman.
"Sebenarnya..." Arya mulai bercerita. Ia menceritakan tentang surat-surat misterius itu, tentang rasa takut dan tertekan yang ia alami.
Rina mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. Ketika Arya selesai bercerita, Rina menggenggam tangannya lembut.
"Pasti berat sekali ya, Arya," ujar Rina penuh simpati. "Tapi jangan khawatir, kau tidak sendirian. Aku akan membantumu mencari tahu siapa pengirim surat-surat itu."
Arya menatap Rina, terkejut dan terharu. "Kau... mau membantuku?"
Rina mengangguk mantap. "Tentu saja. Kita teman, kan? Teman harus saling membantu."
Sejak saat itu, Arya dan Rina menjadi semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, belajar bersama di perpustakaan, atau sekadar mengobrol di taman sekolah. Rina selalu ada untuk Arya, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan dukungan dan semangat.
Rina juga aktif membantu Arya mencari tahu siapa pengirim surat-surat misterius itu. Ia bahkan menyarankan untuk memasang kamera tersembunyi di dekat loker Arya.
"Mungkin dengan begitu kita bisa menangkap basah si pengirim," usul Rina.
Arya setuju, dan mereka pun memasang kamera kecil di sudut yang tersembunyi. Namun, hasilnya nihil. Si pengirim surat sepertinya tahu ada kamera dan tidak pernah tertangkap.
Meski begitu, kehadiran Rina membuat Arya merasa lebih kuat menghadapi situasi ini. Rina selalu punya cara untuk menghibur Arya, membuatnya tersenyum dan melupakan masalahnya sejenak.
Suatu hari, Rina mengajak Arya ke sebuah toko buku kecil di sudut kota. "Aku tahu kau suka membaca," ujar Rina. "Tempat ini punya koleksi buku-buku langka yang mungkin kau suka."
Arya terkejut Rina tahu tentang hobinya membaca. Ia tidak ingat pernah menceritakan hal itu pada Rina. Tapi ia terlalu senang untuk memikirkannya lebih jauh.
Di toko buku itu, mereka menghabiskan berjam-jam menjelajahi rak-rak penuh buku. Rina dengan sabar mendengarkan Arya berceloteh tentang buku-buku favoritnya, sesekali memberikan komentar yang menunjukkan pengetahuannya yang luas.
"Kau tahu banyak tentang buku ya," puji Arya.
Rina tersenyum malu-malu. "Ah, tidak juga. Aku hanya suka membaca sepertimu."
Saat mereka keluar dari toko buku, hari sudah sore. Langit berwarna jingga, menciptakan pemandangan yang indah.
"Indah sekali ya," gumam Arya, menatap langit.
Rina mengangguk. "Sangat indah. Tapi..." ia menatap Arya, "ada yang lebih indah di sampingku."
Arya tersipu, jantungnya berdebar kencang. Ia mulai menyadari perasaannya pada Rina yang semakin dalam.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Arya dan Rina semakin dekat. Mereka sering pergi bersama setelah sekolah, mengerjakan PR bersama, atau sekadar mengobrol sampai larut malam lewat telepon.
Rina selalu punya cara untuk membuat Arya tersenyum. Ia sering membawakan bekal makanan untuk Arya, yang katanya ia buat sendiri. "Aku tahu kau sering lupa sarapan," ujar Rina suatu hari. "Jadi aku buatkan sandwich kesukaanmu."
Arya terharu dengan perhatian Rina. Ia tidak ingat pernah memberitahu Rina tentang sandwich kesukaannya, tapi lagi-lagi, ia terlalu senang untuk memikirkannya.
Suatu hari, saat mereka sedang belajar bersama di rumah Arya, Rina tiba-tiba mengeluh sakit kepala.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Arya khawatir.
Rina menggeleng lemah. "Sepertinya aku butuh istirahat sebentar."
Arya membantu Rina berbaring di sofa, menyelimutinya dengan lembut. Ia mengambil kompres dan meletakkannya di dahi Rina.
"Terima kasih, Arya," bisik Rina, tersenyum lemah. "Kau selalu baik padaku."
Arya menggenggam tangan Rina. "Kau juga selalu baik padaku, Rina. Aku... aku sangat beruntung memilikimu sebagai teman."
Rina menatap Arya dalam-dalam. "Hanya teman?"
Jantung Arya berdebar kencang. Ia tahu ini saatnya. "Rina, sebenarnya... aku menyukaimu. Lebih dari sekedar teman."
Rina tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. "Iya, Arya. Aku juga mencintaimu."
Mereka berpelukan, dan Arya merasa sangat bahagia. Ia merasa telah menemukan orang yang tepat, orang yang selalu ada untuknya, yang memahaminya lebih dari siapapun.
Sejak saat itu, Arya dan Rina resmi menjadi sepasang kekasih. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kebahagiaan. Rina selalu punya kejutan kecil untuk Arya, entah itu surat cinta sederhana yang ia selipkan di buku Arya, atau kue buatan sendiri yang ia bawa ke sekolah.
"Bagaimana kau selalu tahu apa yang kuinginkan?" tanya Arya suatu hari, takjub dengan perhatian Rina.
Rina tersenyum misterius. "Karena aku selalu memperhatikanmu, Arya. Kau adalah prioritas utamaku."
Arya merasa sangat beruntung. Ia merasa telah menemukan cinta sejatinya. Rina begitu sempurna di matanya, selalu ada untuknya, selalu mengerti apa yang ia butuhkan bahkan sebelum ia mengatakannya.
Namun, di tengah kebahagiaannya, Arya hampir melupakan satu hal: surat-surat misterius itu telah berhenti sejak ia mulai dekat dengan Rina. Ia menganggap si pengirim mungkin sudah menyerah, atau mungkin hanya iseng semata.
Suatu malam, saat Arya sedang belajar untuk ujian, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
"Jangan terlalu lelah belajar, sayang. Istirahatlah, aku tidak mau kau sakit. Aku selalu mengawasimu."
Arya merinding. Pesan itu mengingatkannya pada surat-surat misterius dulu. Tapi... tidak mungkin, kan? Pasti hanya kebetulan.
Keesokan harinya di sekolah, Arya menceritakan tentang pesan itu pada Rina.
"Mungkin hanya orang iseng," ujar Rina, menggenggam tangan Arya menenangkan. "Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan selalu melindungimu."
Arya mengangguk, merasa tenang dengan kehadiran Rina. Ya, selama ada Rina di sisinya, ia merasa bisa menghadapi apapun.
Waktu berlalu, dan hubungan Arya dan Rina semakin dalam. Mereka seperti tidak terpisahkan. Rina selalu ada di mana pun Arya berada, selalu siap membantu dan mendukung Arya.
"Kau tidak bosan ya selalu bersamaku?" tanya Arya suatu hari.
Rina menggeleng. "Tidak akan pernah. Kau adalah duniaku, Arya. Aku ingin selalu bersamamu, selamanya."
Arya tersentuh dengan kata-kata Rina. Ia merasa sangat dicintai dan dihargai.
Namun, tanpa Arya sadari, ada sisi lain dari Rina yang tersembunyi. Sisi yang obsesif, yang menganggap Arya sebagai miliknya seorang. Sisi yang rela melakukan apapun untuk memastikan Arya tetap bersamanya.
Setiap malam, setelah mengucapkan selamat tidur pada Arya lewat telepon, Rina akan duduk di kamarnya, menulis di buku hariannya. Buku yang penuh dengan foto-foto Arya yang diambil diam-diam, catatan detail tentang kegiatan Arya sehari-hari, bahkan rambut Arya yang ia kumpulkan diam-diam.
"Arya milikku," gumam Rina, membelai foto Arya di bukunya. "Selamanya milikku." Rina menatap layar laptop dihadapannya, menampilkan sosok Arya yang sedang tertidur pulas.
Tapi Arya tidak tahu semua itu. Baginya, Rina adalah malaikat penyelamat yang muncul untuk menyelamatkannya dari kesepian ketika dirinya terkurung di penjara bawah tanah.
---
Di bawah pohon rindang di sudut taman sekolah, Rina kecil berambut panjang dengan poni yang hampir menutupi kedua matanya duduk sambil memainkan buku gambar kecilnya. Ia suka sekali melukis bunga dan daun yang berguguran. Hari itu, angin bertiup sejuk, menerbangkan daun-daun kering yang mulai menguning. Ia terdiam sejenak, memperhatikan daun-daun yang menari di udara.
Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang anak laki-laki tampan sedang bermain bola bersama teman-temannya. Ia tampak begitu bersemangat, dengan tawa yang lepas dan keringat yang mulai membasahi rambutnya. Bola yang mereka tendang tiba-tiba terbang ke arah Rina, mendarat tepat di samping kakinya.
Rina terkejut, namun sebelum ia sempat bereaksi, anak laki-laki itu sudah berlari menghampirinya. Dengan senyum canggung, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang basah, "Maaf ya, bolanya hampir kena kamu."
Rina hanya mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya, wajahnya memerah. Ini pertama kalinya ia diperhatikan oleh Arya, si anak laki-laki yang selalu dikelilingi banyak teman.
"Suka menggambar, ya?" tanya Arya, melirik sekilas ke buku gambar di pangkuan Rina.
Rina mendongak perlahan, jantungnya berdegup cepat. "I-iya..." jawabnya dengan suara pelan.
"Bagus gambarnya," ucap Arya dengan tulus sebelum mengambil bolanya dan kembali bergabung dengan teman-temannya.
Sepintas, pertemuan itu tampak biasa saja, hanya interaksi singkat yang tak berarti. Namun, bagi Rina, momen itu terasa berbeda. Arya mungkin tidak ingat apa yang ia katakan, tapi Rina mengingat semuanya... senyumnya, nada suaranya, bahkan cara dia menyapu keringat di dahinya. Sejak hari itu, ia mulai memperhatikan Arya lebih sering. Dari jarak yang aman, ia mengamati bagaimana Arya bermain, tertawa, dan berinteraksi dengan teman-temannya.
Setiap kali Arya berjalan melewati bangkunya di kelas atau di halaman sekolah, Rina merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena ia jatuh cinta, tapi ada sesuatu yang lebih dari sekedar ketertarikan. Perhatian kecil Arya yang mungkin hanya sepintas bagi orang lain, bagi Rina menjadi awal mula sesuatu yang lebih dalam sesuatu yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.