Di tengah gemerlap kota Jakarta yang tak pernah tidur, Reza Pradana adalah nama yang tak asing lagi. Wajahnya terpampang di berbagai billboard, layar televisi, dan halaman depan majalah gosip. Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, Reza sudah menjadi salah satu aktor paling dicari di industri hiburan Indonesia.
Namun di balik senyum menawannya yang selalu ia tunjukkan di depan kamera, Reza merasa hampa. Rutinitas syuting yang padat, jadwal wawancara yang tak ada habisnya, dan kehidupan pribadi yang selalu disorot membuat Reza merasa tercekik. Ia rindu kesederhanaan, rindu menjadi dirinya sendiri tanpa topeng keartisan yang selama ini ia kenakan.
Suatu pagi di hari Minggu, Reza terbangun dengan perasaan sesak yang tak tertahankan. Ia menatap langit-langit kamarnya yang tinggi, menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila... kabur dari semua kewajibannya hari itu.
Dengan tergesa-gesa, Reza mengenakan kaus oblong putih, celana jeans belel, topi baseball, dan kacamata hitam... penyamaran klasik seorang selebriti. Ia menyelinap keluar dari apartemen mewahnya, menghindari tatapan curiga bodyguard yang biasanya selalu siap siaga mengawalnya.
Kaki Reza membawanya menyusuri gang-gang sempit Jakarta yang jarang ia kunjungi. Aroma bakso dan mi ayam yang menguar dari gerobak-gerobak pinggir jalan membuatnya tersadar betapa lama ia tidak menikmati makanan jalanan seperti ini. Namun ada satu aroma yang lebih kuat menarik perhatiannya... aroma kopi yang menggoda.
Reza mengikuti aroma itu hingga tiba di depan sebuah kedai kopi mungil bernama "Secangkir Cerita". Bangunannya sederhana namun terlihat nyaman, dengan dinding bata ekspos dan tanaman rambat yang menghiasi bagian depan. Tanpa pikir panjang, Reza melangkah masuk.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting saat Reza membukanya. Matanya langsung tertuju pada sosok gadis manis di balik konter. Rambutnya yang hitam legam dikuncir tinggi, senyumnya hangat menyambut setiap pengunjung yang datang.
"Selamat datang di Secangkir Cerita!" sapa gadis itu riang. "Ada yang bisa saya bantu?"
Reza terpaku sejenak. Ada sesuatu dari cara gadis itu tersenyum yang membuatnya lupa bernapas. "Eh... iya... anu... kopi. Saya mau pesan kopi," jawabnya terbata-bata.
Gadis itu tertawa kecil. "Tentu saja, Mas. Ini kan kedai kopi. Mau kopi yang seperti apa? Kita punya berbagai jenis lho."
Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jujur saja, saya jarang minum kopi. Biasanya cuma minum kopi sachet di lokasi syut... eh, maksudnya di kantor."
"Oh, pemula ya?" Gadis itu tersenyum maklum. "Bagaimana kalau kita mulai dengan yang ringan dulu? Café latte mungkin? Atau kalau mau yang sedikit lebih berani, bisa coba cappuccino."
"Boleh deh, cappuccino," jawab Reza, berusaha terdengar mantap meski sebenarnya ia tak tahu bedanya dengan café latte.
"Oke, satu cappuccino segera siap! Ngomong-ngomong, nama saya Dinda. Kalau Mas?"
Reza gelagapan. Ia tak menyangka akan ditanya namanya. "Sa-saya... Rez... eh, Ari. Iya, Ari," jawabnya asal, teringat nama karakter yang pernah ia perankan di sebuah sinetron.
"Baiklah, Mas Ari. Silakan duduk dulu, nanti saya antarkan pesanannya," ujar Dinda ramah.
Reza memilih meja di sudut ruangan, dari sana ia bisa mengamati Dinda yang dengan cekatan membuat pesanannya. Entah mengapa, melihat gadis itu bekerja membuatnya merasa tenang.
Tak lama kemudian, Dinda menghampiri meja Reza dengan secangkir cappuccino. "Ini dia, cappuccino spesial Secangkir Cerita. Silakan dinikmati, Mas Ari."
Reza menyesap minumannya perlahan. Matanya melebar begitu merasakan kelembutan dan cita rasa yang begitu harmonis. "Wah, ini enak sekali!"
Dinda tersenyum puas. "Syukurlah kalau Mas suka. Ngomong-ngomong, baru pertama kali ke sini ya? Saya belum pernah lihat Mas sebelumnya."
"Iya, baru pertama kali. Tadi kebetulan lewat sini dan tercium aroma kopinya yang menggoda," jawab Reza, setengah jujur.
"Wah, senang deh kalau aroma kopi kami bisa menarik pelanggan baru. Mas Ari tinggal di sekitar sini?"
Reza terdiam sejenak. "Tidak juga. Saya... cuma sedang jalan-jalan mencari suasana baru."
"Oh, turis ya?" tanya Dinda antusias.
Reza tertawa kecil. "Bukan, bukan. Saya orang Jakarta asli kok. Cuma... yah, bisa dibilang sedang butuh pelarian dari rutinitas sehari-hari."
Dinda mengangguk paham. "Ah, saya mengerti perasaan itu. Kadang kita memang butuh sesuatu yang berbeda untuk menyegarkan pikiran. Kalau boleh tahu, Mas Ari kerja di mana?"
Reza terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. "Saya... kerja di industri hiburan," jawabnya akhirnya, memutuskan untuk tidak sepenuhnya berbohong.
"Wah, keren! Jadi apa? Kru televisi? Atau mungkin artis?" tanya Dinda penasaran.
Reza tersedak kopinya. "Bu-bukan! Bukan artis kok. Saya cuma... kru biasa. Iya, kru."
Dinda tertawa melihat reaksi Reza. "Santai saja, Mas. Saya cuma bercanda kok. Lagipula kalau Mas memang artis, pasti saya sudah kenal. Saya kan penggemar berat sinetron!"
Reza hanya bisa tersenyum canggung. Dalam hati ia bersyukur penyamarannya cukup efektif.
"Oh iya, Mas Ari suka kue tidak? Kebetulan hari ini saya baru saja membuat cheese cake. Mau coba? Gratis untuk pelanggan baru lho," tawar Dinda.
"Wah, boleh dong kalau gratis," canda Reza.
Dinda kembali ke konter dan tak lama kemudian membawakan sepotong cheese cake yang terlihat sangat menggoda. "Silakan dicoba, Mas."
Reza menyendok kue itu dan memasukannya ke mulut. Seketika, rasa manis dan gurih menyatu di lidahnya. "Mmm, ini enak sekali! Kamu yang buat sendiri?"
Dinda mengangguk bangga. "Iya, resep warisan dari nenek saya. Senang deh kalau Mas suka."
"Suka banget! Sudah lama saya tidak makan kue seenak ini," puji Reza tulus. Memang benar, diet ketat yang harus ia jalani sebagai seorang aktor membuatnya jarang bisa menikmati makanan manis seperti ini.
"Mas Ari bisa saja. Tapi terima kasih ya," ucap Dinda, pipinya bersemu merah.
Mereka mengobrol santai selama beberapa saat. Reza merasa nyaman berbicara dengan Dinda. Gadis itu memiliki cara bicara yang menenangkan dan humor yang segar. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat.
"Astaga, sudah jam segini!" seru Reza kaget saat melihat jam tangannya. Ia harus segera kembali sebelum manajernya menyadari kepergiannya.
"Ada apa, Mas? Ada janji?" tanya Dinda.
"Iya, ada... urusan mendadak. Saya harus pergi sekarang. Berapa totalnya?"
Setelah membayar dan berpamitan, Reza bergegas keluar dari kedai. Namun sebelum ia mencapai pintu, Dinda memanggilnya.
"Mas Ari! Kapan-kapan mampir lagi ya?"
Reza menoleh dan tersenyum lebar. "Pasti! Saya akan datang lagi besok."
Sepanjang perjalanan pulang, Reza tak bisa berhenti tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa... normal. Dan itu terasa menyenangkan.
Keesokan harinya, seperti yang ia janjikan, Reza kembali ke Secangkir Cerita. Kali ini ia datang lebih pagi, berharap bisa mengobrol lebih lama dengan Dinda.
"Selamat pagi, Mas Ari! Wah, rajin sekali sudah datang sepagi ini," sapa Dinda ceria.
"Pagi, Dinda. Iya nih, kebetulan hari ini shift siang, jadi bisa mampir dulu sebelum kerja," jawab Reza, kembali berbohong.
"Mau pesan apa hari ini? Masih cappuccino?"
"Hmm, apa ya? Kamu ada rekomendasi?"
Dinda terlihat berpikir sejenak. "Bagaimana kalau coba Café Mocha? Itu paduan espresso, susu, dan cokelat. Cocok untuk yang suka rasa manis."
"Boleh deh, aku coba itu," jawab Reza. Ia mulai merasa lebih santai berbicara dengan Dinda.
Sambil menunggu pesanannya, Reza memperhatikan kedai yang masih sepi. "Sepertinya belum banyak pelanggan ya?"
"Yah, namanya juga masih pagi. Biasanya ramai mulai jam 9 ke atas. Mas Ari sendiri kenapa datang sepagi ini? Nggak takut telat kerja?"
Reza menggeleng. "Nggak kok, masih ada waktu. Lagipula..." ia terdiam sejenak, "aku suka suasana di sini. Tenang, nyaman."
Dinda tersenyum mendengarnya. "Senang deh kalau Mas merasa nyaman di sini. Memang itu sih konsep yang ingin aku bangun, tempat di mana orang bisa sejenak melupakan hiruk pikuk kota."
"Kamu yang mendesain tempat ini?" tanya Reza penasaran.
Dinda mengangguk bangga. "Iya, ini impianku sejak kuliah dulu. Setelah lulus, aku mengumpulkan modal sedikit demi sedikit, belajar membuat kopi, sampai akhirnya bisa buka kedai ini setahun yang lalu."
"Wow, itu keren sekali," puji Reza tulus. "Pasti tidak mudah ya mengelola bisnis sendiri di usia muda."
"Yah, memang ada tantangannya. Tapi aku menikmati setiap prosesnya. Rasanya puas kalau lihat pelanggan senang dengan kopi buatanku," jawab Dinda sambil menyodorkan secangkir Café Mocha pada Reza.
Reza menyesap minumannya perlahan. "Mmm, ini enak! Manisnya pas, tidak berlebihan."
"Syukurlah kalau Mas suka. Oh iya, mau coba menu sarapan kami? Ada sandwich tuna yang enak lho."
"Boleh deh, aku coba itu."
Sambil menunggu pesanan sandwichnya, Reza dan Dinda mengobrol tentang berbagai hal. Dari hobi mereka (Reza mengaku hobi menonton film, yang memang tidak sepenuhnya bohong), sampai tempat-tempat menarik di Jakarta yang jarang dikunjungi turis.
"Oh iya Mas, kalau boleh tahu, Mas Ari asli mana?" tanya Dinda.
"Aku... asli Bandung. Tapi sudah lama tinggal di Jakarta karena kerjaan," jawab Reza, kembali mengarang cerita.
"Wah, Bandung! Aku suka sekali Bandung. Pemandangannya indah, udaranya sejuk. Kapan-kapan aku ingin ke sana lagi," ujar Dinda antusias.
"Kalau kamu sendiri? Asli Jakarta?"
Dinda menggeleng. "Bukan, aku asli Yogyakarta. Pindah ke Jakarta setelah lulus kuliah."
"Yogyakarta? Wah, kota pelajar ya. Pasti banyak kenangan indah selama kuliah di sana," komentar Reza.
"Iya, banyak sekali! Tapi Jakarta juga punya pesonanya sendiri sih. Dinamis, penuh kesempatan. Meskipun kadang aku kangen suasana Yogya yang lebih tenang."
Mereka terus mengobrol sampai pelanggan lain mulai berdatangan. Reza pun pamit untuk 'berangkat kerja', meski sebenarnya ia hanya kembali ke apartemennya untuk bersiap syuting.
Hari-hari berikutnya, Reza selalu menyempatkan diri untuk mampir ke Secangkir Cerita. Kadang pagi sebelum syuting, kadang sore setelah semua kewajibannya selesai. Ia mulai hafal jadwal shift Dinda dan berusaha datang saat gadis itu ada.
Semakin sering bertemu, Reza semakin tertarik pada Dinda. Gadis itu cerdas, mandiri, dan punya selera humor yang segar. Yang paling Reza suka, Dinda memperlakukannya seperti orang biasa. Tidak ada pujian berlebihan atau sikap mengistimewakan yang biasa ia terima dari orang-orang yang mengenalnya sebagai selebriti. Dengan Dinda, Reza merasa bisa menjadi dirinya sendiri.
Suatu sore, saat kedai sedang sepi, Reza memberanikan diri untuk mengajak Dinda mengobrol lebih dalam.
"Dinda, boleh aku tanya sesuatu?" ujar Reza sambil menyesap americano-nya.
"Tentu, Mas Ari. Mau tanya apa?" jawab Dinda, yang sedang mengelap meja di sebelah Reza.
"Kamu... sudah punya pacar?"
Dinda tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. "Wah, pertanyaan pribadi nih. Tapi nggak apa-apa deh. Jawabannya, belum. Kenapa emangnya, Mas?"
Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak apa-apa sih. Cuma penasaran aja. Habisnya kamu cantik, pintar, mandiri lagi. Kok bisa belum ada yang nembak ya?"
Pipi Dinda bersemu merah mendengar pujian itu. "Ah, Mas bisa aja. Bukannya nggak ada yang nembak sih. Cuma... belum ada yang cocok aja."
"Oh gitu..." Reza terdiam sejenak. "Kalau aku... aku cocok nggak?"
Dinda hampir menjatuhkan lap yang dipegangnya. "M-maksud Mas?"
Reza menarik napas dalam-dalam. "Dinda, aku... aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?"
Dinda terdiam, matanya menatap Reza lekat-lekat. "Mas Ari... aku tersanjung. Tapi..."
"Tapi?"
"Tapi aku merasa ada sesuatu yang Mas sembunyikan dariku. Iya kan?"
Giliran Reza yang terkejut. "A-apa maksudmu?"
Dinda tersenyum lembut. "Mas Ari, aku bukan orang bodoh. Aku tahu Mas bukan kru biasa seperti yang Mas bilang. Cara Mas berbicara, gesture Mas, semua itu menunjukkan kalau Mas terbiasa jadi pusat perhatian. Belum lagi jadwal Mas yang fleksibel... Mas artis, kan?"
Reza terperangah. Ia tak menyangka Dinda bisa menebak identitasnya. "Dinda, aku... maaf sudah berbohong. Iya, aku memang artis. Namaku sebenarnya Reza Pradana."
Dinda mengangguk. "Aku sudah menduga. Sebenarnya aku mulai curiga sejak hari kedua Mas datang ke sini. Tapi aku pikir, mungkin Mas punya alasan untuk menyembunyikan identitas Mas. Jadi aku diam saja."
"Kamu... nggak marah?"
"Sedikit kecewa, iya. Tapi marah? Nggak. Aku paham kok kenapa Mas melakukannya. Pasti berat ya jadi public figure, nggak bisa bebas ke mana-mana."
Reza menghela napas lega. "Iya, kadang aku lelah harus selalu jaga image. Makanya waktu ketemu kamu, aku merasa... bebas. Aku bisa jadi diriku sendiri."
Dinda tersenyum maklum. "Aku mengerti. Tapi Mas Reza, kalau kita mau menjalin hubungan, kita harus jujur satu sama lain. Nggak boleh ada rahasia lagi, oke?"
Mata Reza berbinar. "Jadi... kamu mau jadi pacarku?"
Dinda tertawa kecil. "Aku belum bilang iya lho."
"Tapi belum bilang nggak juga kan?" goda Reza.
"Dasar artis, gombal ternyata," canda Dinda. "Begini deh, aku kasih kesempatan Mas untuk kenalan lagi dari awal. Kali ini sebagai Reza Pradana yang asli. Kalau dalam seminggu ke depan aku merasa cocok, baru aku akan jawab."
Reza mengangguk antusias. "Deal! Aku janji akan tunjukkan Reza yang sebenarnya. Dan kamu pasti akan suka!"
Seminggu berikutnya, Reza benar-benar menepati janjinya. Ia datang ke kedai Dinda setiap hari, bahkan rela menyelinap dari lokasi syuting hanya untuk bertemu gadis itu sebentar. Ia menceritakan suka duka menjadi artis, berbagi kisah lucu di balik layar, bahkan curhat tentang tekanan yang ia rasakan dari industri hiburan.
Dinda, di sisi lain, mulai membuka diri. Ia bercerita tentang perjuangannya membangun Secangkir Cerita, tentang orangtuanya di Yogyakarta yang awalnya tidak setuju ia pindah ke Jakarta, dan tentang mimpi-mimpinya di masa depan.
Tepat seminggu kemudian, saat Reza datang ke kedai, ia disambut pemandangan yang tak biasa. Dinda sudah menunggunya dengan secangkir kopi dan sepotong cheese cake - menu yang sama dengan yang ia pesan saat pertama kali datang.
"Kok udah disiapin?" tanya Reza bingung.
Dinda tersenyum misterius. "Coba deh Mas minum kopinya."
Reza menurut. Begitu ia menyesap kopinya, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Di atas busa cappuccino itu, ada tulisan yang dibuat dengan taburan bubuk cokelat: "Yes, I do."
Reza mendongak, menatap Dinda dengan mata berbinar. "Ini... maksudnya?"
"Iya, Reza. Aku mau jadi pacar kamu," jawab Dinda lembut.
Tanpa pikir panjang, Reza bangkit dan memeluk Dinda erat. Beberapa pengunjung kedai yang menyaksikan adegan itu bertepuk tangan dan bersiul menggoda.
"Ehem, Mas Reza," Dinda berbisik, "inget, kita di tempat umum."
Reza tersadar dan segera melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah. "Maaf, kelepasan. Habisnya aku terlalu seneng sih."
Dinda tertawa. "Dasar artis. Masih aja suka cari perhatian ya."
"Hei, ini murni spontanitas tau!" protes Reza, pura-pura cemberut.
Mereka tertawa bersama, mengabaikan tatapan penasaran pengunjung lain. Untuk saat ini, dunia serasa milik berdua.
Sejak saat itu, hubungan Reza dan Dinda resmi dimulai. Tentu saja, menjalin hubungan dengan seorang artis terkenal bukan hal yang mudah. Dinda harus terbiasa dengan jadwal Reza yang padat dan tidak menentu. Belum lagi sorotan media yang mulai mengendus hubungan mereka.
Namun Dinda membuktikan diri sebagai kekasih yang pengertian. Ia tak pernah menuntut lebih dari apa yang bisa Reza berikan. Sementara Reza, di sela-sela kesibukannya, selalu menyempatkan diri untuk membantu di kedai Dinda atau sekadar menemani gadis itu mengobrol sampai larut malam.
Suatu hari, saat sedang syuting sebuah adegan romantis, Reza mendadak kesulitan menghayati perannya.
"Cut!" seru sang sutradara. "Reza, ada apa? Kok aktingmu kaku begitu?"
Reza menggaruk kepalanya bingung. "Maaf pak, saya juga nggak tau kenapa. Rasanya... aneh aja gitu."
Sang lawan main, aktris cantik bernama Tasya, mengernyitkan dahi. "Aneh gimana? Kita kan udah sering akting bareng. Biasanya juga nggak ada masalah."
"Iya, itu dia. Saya juga bingung," jawab Reza frustasi.
Sang sutradara menghela napas. "Ya sudah, kita istirahat dulu 15 menit. Reza, coba kamu tenangkan diri dulu ya."
Reza mengangguk dan segera menuju ruang rias. Di sana, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Dinda.
"Halo, Reza? Tumben telepon jam segini. Udah selesai syuting?" sapa Dinda di seberang sana.
"Belum nih. Lagi break sebentar," jawab Reza lesu.
"Lho, kok kedengerannya lesu gitu? Ada masalah?"
Reza menghela napas. "Iya nih. Tadi aku kesulitan akting adegan romantis. Rasanya... aneh aja gitu."
Dinda terdiam sejenak. "Aneh gimana maksudnya?"
"Ya... kayak nggak natural gitu. Padahal biasanya aku nggak pernah kesulitan buat adegan beginian. Kamu... nggak marah kan kalau aku akting romantis sama lawan main?"
Tawa kecil Dinda terdengar dari seberang telepon. "Ya ampun, Reza. Jadi gara-gara itu? Tenang aja kali, aku nggak akan marah. Itu kan tuntutan pekerjaan kamu."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya, beneran. Justru aku seneng lho."
"Seneng? Kok bisa?"
"Ya iyalah. Itu artinya kamu bener-bener sayang sama aku sampai nggak bisa akting romantis sama orang lain kan?" goda Dinda.
Reza tertawa mendengarnya. "Iya kali ya? Aku juga baru sadar. Kayaknya sejak pacaran sama kamu, aku jadi lebih menghayati arti cinta yang sebenernya."
"Ciee, gombal nih ceritanya?" canda Dinda.
"Nggak kok, aku serius," jawab Reza lembut. "Makasih ya udah mau nerima aku apa adanya."
"Sama-sama, Reza. Udah ya, balik syuting gih. Nanti sutradara-nya marah lho."
Setelah menutup telepon, Reza merasa semangatnya kembali. Ia kembali ke lokasi syuting dengan senyum mengembang.
"Udah siap syuting lagi?" tanya sang sutradara.
Reza mengangguk mantap. "Siap pak!"
"Action!"
Kali ini, Reza bisa menghayati perannya dengan baik. Bahkan, sutradara memuji aktingnya yang terasa lebih natural dan meyakinkan.
Sejak saat itu, karir Reza semakin menanjak. Ia semakin dikenal sebagai aktor yang bisa menghayati peran romantis dengan sangat baik. Yang tidak banyak orang tahu, di balik kesuksesannya itu ada sosok Dinda yang selalu mendukung dan menjadi sumber inspirasi.
Suatu malam, saat Reza dan Dinda sedang menikmati secangkir kopi di kedai yang sudah tutup, Reza tiba-tiba berlutut di hadapan Dinda.
"Dinda," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil, "maukah kamu menikah denganku?"
Dinda terperangah. Air mata haru mulai menggenang di pelupuk matanya. "Reza... ini..."
"Aku tau mungkin ini terlalu cepat. Kita baru pacaran beberapa bulan. Tapi aku yakin, kamu adalah orang yang tepat untukku. Kamu yang membuat aku bisa jadi diri sendiri, yang selalu mendukung aku dalam suka dan duka. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Dinda. Jadi... maukah kamu menikah denganku?"
Dinda mengangguk, air matanya kini mengalir deras. "Iya, Reza. Aku mau."
Reza segera bangkit dan memeluk Dinda erat. Mereka berciuman lembut, merayakan momen bahagia itu dengan secangkir kopi yang menjadi saksi bisu cinta mereka.
Berita pertunangan Reza dan Dinda segera menyebar luas menyebabkan kegemparan selama beberapa waktu di medsos. Bagaimana tidak? Tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba sudah ada kabar bahwa aktor terkenal Reza Pradana akan menikah. Media berlomba-lomba meliput kisah cinta unik sang aktor dan gadis pemilik kedai kopi. Banyak yang menyebut hubungan mereka seperti dongeng modern... sang pangeran yang jatuh cinta pada gadis biasa.
Namun bagi Reza dan Dinda, cinta mereka jauh lebih dari sekadar dongeng. Ini adalah kisah nyata tentang dua jiwa yang menemukan kecocokan di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Tentang cinta yang tumbuh dari secangkir kopi dan obrolan sederhana. Tentang dua hati yang memutuskan untuk bersatu, menghadapi dunia bersama-sama.
Dan setiap kali Reza menikmati secangkir kopi buatan Dinda, ia selalu teringat akan aroma cinta yang mempertemukan mereka. Aroma yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya, selamanya.