(Cerpen by Buku Tabungan)
Mereka memanggilku hantu.
Hantu putih yang buruk rupa, apkir dan terbuang. Siapa yang mau jadi seperti itu? Aku pun tidak. Tapi apa boleh kita memilih seperti apa kita dilahirkan? Tidak. Aku lahir seperti ini, mau tak mau, aku harus menerimanya.
Kata dokter, aku tidak terkena penyakit. Albino hanyalah kelainan genetik, tidak menginfeksi atau pun menular. Tapi, bagi mereka sama saja. Penyakit atau bukan, aku di mata mereka seperti seseorang yang telah terkena kutukan penyihir jahat sehingga harus dijahui sebab kutukan itu bisa menular. Kutukan wabah yang bisa menyakitkan mata jika dipandang.
Sejak di sekolah dasar, aku sudah sering menerima akibat dari hukum perbedaan. Bahwa yang berbeda akan menerima perlakuan yang berbeda pula. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, itu hanya bualan jika aku menyandingkannya dengan kenyataan yang aku terima. Aku di-bully. Aku dijahui. Aku tidak diterima. Aku seolah tidak pernah ada. Hantu putih yang seharusnya tidak berada di antara kerumunan manusia normal.
Aku memohon ke Mama agar tidak usah sekolah saja. Mama menggeleng dengan tegas. Mama selalu bilang jika aku sama seperti mereka. Mungkin sedikit berbeda, imbuhnya. Sedikit bagaimana, Mama? Lihatlah aku, pucat, putih, dari kulit hingga rambut. Ini tidak sesederhana seperti hidung dia mancung sementara hidungku pesek.
Dan akhirnya aku tumbuh dengan perasaan rendah diri yang terlalu. Aku berusaha untuk tidak mencolok, tapi itu percuma. Di mana pun aku berada akan tetap tampak mencolok. Seperti noda hitam di atas kertas putih. Atau sebaliknya. Aku paham jika memang begitu jalannya hukum alam. Kambing akan tetap kambing meski dia hidup di antara kawanan Hyena. Dan begitu pula sebaliknya.
Aku menjalani masa remajaku dengan beranggapan bahwa aku sedang tidak menjalaninya. Aku tidak masif. Aku buyar.
***
Tea datang bagai hujan di tengah kemarau panjang. Ia melepas dahagaku dari keterpurukan yang sudah mengerak lama. Ia membawa angin segar ke rongga dadaku yang telah lama sesak. Ia bagai mesias di tengah-tengah jahiliahnya aku dalam menapaki hidup. Ia satu-satunya teman yang mengakui keberadaanku.
“Tea, mengapa kamu mau dekat-dekat dengan hantu itu? Kamu bisa kena kutukan.”
“Ah, jangan ngomong begitu, dong. Denis teman kita juga, kan?” kata Tea dengan nada meyakinkan bahwa aku sama normalnya dengan mereka.
Ia manis, cantik, baik, lincah danfriendly kepada siapa saja. Dia anak baru, pindahan dari Bandung. Ia seperti magnet yang dapat membuat siapa saja tertarik padanya.
“Mungkin benar apa kata mereka. Aku nggak layak jadi temen kamu,”
“Kamu jangan ngomong gitu,” ucap Tea berusaha meneguhkan hatiku.
Tea satu-satunya temanku. Satu-satunya yang mau jadi temanku. Aku terlahir baru dengan irama mayor karena itu. Tea mengajakku bicara, pulang sekolah, belajar, nonton pertandingan basket antar kelas, nonton pertunjukan musik, nonton bioskop dan curhat. Aku suka mendengar Tea bercerita. Sama seperti remaja pada umumnya, dia juga mengeluhkan banyak hal yang terjadi dalam hidupnya.
“Kadang kita selalu merasa nasib kita yang paling buruk. Tapi, percayalah, kadang yang kita anggap paling buruk sekali pun adalah yang terbaik menurut Tuhan.”
Dari Tea aku mulai belajar menerima kekuranganku.
“Tea?”
“Ya?”
“Terima kasih.”
***
Tea, satu kata yang menjadi mantra penguat untuk aku bertahan. Dan akhirnya lambat laun mantra itu pecah menjadi sebuah kutukan. Tea selanjutnya menjadi candu. Aku menjadi pesakitan yang butuh di-suplay terus menerus agar tidak sekarat. Tea, Tea, Tea, ada dalam pikiranku, rongga dadaku, denyut nadiku. Aku tidak tahu kemalangan macam apa yang menimpaku kali ini. Seharusnya aku tahu diri, Tea jauh dari jangkauanku.
Aku putuskan untuk menjauh. Tiada yang lebih pilu dibanding mencintai tanpa bisa menyentuh. Lebih baik aku cabut sekarang daripada semakin hari semakin tumbuh dipupuk waktu.
“Kamu kenapa?” tanya Tea. Aku menggeleng. Aku diam.benar kata orang, saat mulut kita diam, pikiran dan perasaan kita bicara banyak.
Maaf Tea, maaf… aku berlari. Inilah caraku, untuk menghayatimu. Untuk mencintaimu.
“Mama, mulai besok aku pindah sekolah.”
***
Tujuh tahu kemudian.
Waktu berlari cepat. Tanpa peduli kita bisa mengikuti atau tidak.
Waktu adalah misteri tanpa ujung. Membuat tanya dan jawab berserakan seperti puzzle. Dan jika sudah saatnya puzzle itu menyatu dengan apik atau malah semakin berantakan.
Bertahun waktu berlalu, aku tetap menjadi hantu putih. Namun hantu putih yang terkucil telah usai. Aku menjelma menjadi hantu putih yang menghantui. Aku menghantui mereka dengan apa yang aku tulis dalam buku-bukuku. Aku tidak ingin sombong, tapi ingin kukatakan aku bangga karena telah menemukan dunia yang membuatku hidup. Semua itu karena Tea.
Sejak memutuskan untuk pergi jauh dari Tea aku menemukan dunia baru. Dunia dalam kalimat-kalimat yang akhirnya menjadi terapi antistres. Membuat otakku bekerja, hatiku berirama. Seolah menulis adalah pekerjaan magic dengan sejuta daya kejutannya. Dan aku tak percaya, orang-orang menyukai apa yang aku tulis.
Dan disinlah aku sekarang. Duduk diruangan berpendingin dengan meja dan kursi yang sudah diduduki orang-orang penting. Ada direktur penanam modal, sutradara film terkenal beserta asistennya, dan beberapa orang yang tidak aku kenal. Aku ikut meeting untuk menggarap film yang akan diadaptasi dari salah satu bukuku.
“Masih ada satu orang lagi. Ia artis yang akan jadi bintang utama, memerankan tokoh Tea,” ucap Pak Hardi, sang sutradara. Aku hanya mengangguk menanggapinya.
Tak beberapa kemudian, perempuan itu membuka pintu. Sosoknya menyembul mantap ke dalam ruang. Langkahnya anggun dan memabukkan.
“Selamat pagi. Apakah saya terlambat?”
“Sama sekali tidak. Silahkan duduk,” ucap asisten produser.
Aku nyaris hilang keseimbangan mendapati sosok yang kini duduk berhadapan denganku. Aku diam mematung, mencoba mencerna detik-detik terakhir yang telah mengobrak-abrik pikiranku ke tempat asing. Aku limbung ke dalam perasaan tak menentu seperti habis disapu pusaran angin.
“Hai, apa kabarmu?”
Tea…