Aku terbangun di sebuah ruangan yang asing. Suasana di sekelilingku terasa mencekam, dengan dinding-dinding batu gelap yang dipenuhi lentera tua menyala samar-samar. Perasaan ini... bukankah ini dunia game? Aku kenal betul tempat ini, namun kenapa aku ada di sini?
Nama game itu "Takdir Hitam," sebuah game role-playing populer yang sering kumainkan. Pemainnya berperan sebagai pahlawan yang berjuang melawan para penjahat dan menyelamatkan dunia. Tapi ini bukan karaktermu yang aku mainkan. Tidak, ini bukan tubuh pahlawan. Aku merasakan aura kelam dan kuat mengalir dalam diriku. Lalu, sesuatu terlintas di pikiranku: **Aku... telah bereinkarnasi sebagai Magnus Bloodgrave, antagonis utama di dalam game!**
Dalam game, Magnus dikenal sebagai tiran yang penuh kekejaman. Dia adalah salah satu musuh pertama yang dihadapi pahlawan, dan nasibnya... mati di tangan pahlawan dalam waktu singkat. Aku ingat cutscene itu dengan sangat jelas—Magnus mati di awal cerita. Jika ini benar, aku akan mati juga. **Tidak! Aku tak ingin mati begitu saja!**
Aku harus segera mengubah takdirku.
Langkah pertamaku jelas. Dalam game, Magnus adalah penyihir hitam yang tangguh, tapi kesombongannya menjadi kelemahannya. Dia tak pernah mempersiapkan dirinya untuk pertarungan yang lebih besar karena terlalu yakin akan kekuatannya. Aku takkan mengulangi kesalahan yang sama.
Aku mulai mempelajari setiap kemampuan sihir yang dimiliki Magnus: **sihir kegelapan, api terkutuk, dan sihir pelindung legendaris.** Namun, itu tidak cukup. Aku harus mencari kekuatan baru, sesuatu yang tak pernah disentuh oleh pemain sebelumnya.
Di dalam kastil Magnus, aku menemukan sebuah buku tua yang tersembunyi di balik perpustakaan rahasia. Isinya adalah rahasia sihir kuno—**sihir ruang dan waktu**—sihir yang bahkan Magnus dalam game tak pernah ketahui. Dengan ini, aku bisa memprediksi gerakan pahlawan dan menghindari kematian awalku.
Hari itu tiba. Hari di mana pahlawan akan menyerang kastilku, persis seperti di dalam game. Aku berdiri di balkon kastil, melihat jauh ke bawah di mana pasukan pahlawan tengah bersiap-siap. Di antara mereka, aku melihat sosok yang familiar: **Liana**, pahlawan utama dalam game. Rambut perak panjangnya berkibar di bawah cahaya bulan, dan matanya penuh tekad. Dalam game, Magnus tertarik padanya—dan aku merasakan hal yang sama. Namun, aku tahu, dia adalah musuh yang tak kenal ampun.
“Aku tidak akan mengikuti alur ceritamu,” gumamku pada diri sendiri. Saat Liana dan pasukannya menyerbu kastil, aku mempersiapkan sihir baru yang telah kupelajari. Di saat mereka mendekatiku, aku menggunakan sihir ruang-waktu. **Waktu berhenti.**
Aku mendekatinya. Dalam waktu yang berhenti ini, aku bisa melihat wajah Liana lebih dekat. "Kenapa aku merasa sesuatu yang aneh saat melihatnya?" gumamku. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada pahlawan yang datang untuk membunuhku, bukan?
Aku melepaskan sihir itu, dan waktu kembali bergerak. Namun, alih-alih melawanku seperti di game, Liana tiba-tiba berhenti. Tatapannya berubah, tidak lagi sekadar kebencian. Ada keraguan di sana.
“Magnus,” katanya, suaranya lembut namun tegas. "Kenapa... kamu tak menyerangku?"
Aku terkejut. Ini bukan dialog yang seharusnya terjadi dalam game. “Aku bukan Magnus yang kau kenal,” jawabku spontan. Dan, untuk pertama kalinya, aku memutuskan untuk berbicara dengan pahlawan utama. “Jika aku berkata bahwa aku tak ingin kematian yang sama seperti dalam takdirku, akankah kau percaya?”
Dia terdiam, matanya menyipit. “Apa maksudmu?”
Aku tahu ini adalah awal dari sebuah hubungan yang tak pernah ada di dalam game.
Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Aliansi sementara terbentuk antara aku dan Liana, meskipun kecurigaan masih ada di antara kami. Kami berdua tahu bahwa takdir kami adalah musuh, tapi ada ketertarikan yang tak bisa kupungkiri. Setiap kali kami bertarung bersama melawan ancaman yang lebih besar dari dunia luar, aku merasa semakin dekat dengannya.
Di malam yang sunyi, di bawah langit berbintang, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Liana, apa kau percaya pada perubahan takdir?”
Dia menatapku dalam diam sebelum menjawab dengan pelan, “Mungkin, Magnus. Mungkin... aku bisa percaya padamu.”
Itu adalah awal dari perasaan yang lebih dalam antara kami. Sebuah hubungan yang tak pernah terjadi di dalam game. Tapi, dengan setiap langkah yang kuambil, bahaya tetap mengintai. Musuh-musuh baru bangkit, dan aku tahu, takdir masih belum sepenuhnya berubah.
Dalam perjalanan kami, kami menghadapi berbagai tantangan, mulai dari monster kegelapan hingga musuh dari masa lalu Magnus yang ingin membalas dendam. Namun, kami tak pernah sendirian; kami saling mendukung. Liana menunjukkan keberanian yang tak terduga, dan aku merasa diriku tumbuh menjadi sosok yang lebih baik.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu tiba—pertarungan melawan Raja Iblis, entitas gelap yang mengancam dunia. Saat kami berdiri di depan kastil yang terkutuk, kami tahu bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati.
Pertempuran dimulai dengan hebat, dengan sihir dan pedang beradu di tengah hujan kegelapan. Saat kami berjuang melawan Raja Iblis, aku merasakan kekuatan yang belum pernah kutemui sebelumnya. Bersama Liana, kami menyerang dengan sinergi sempurna, menciptakan serangan yang menggetarkan.
Akhirnya, saat kami menyerang jantung gelap Raja Iblis, cahaya yang menyilaukan memenuhi arena pertarungan. Dalam momen itu, kami tahu bahwa kegelapan yang mengancam dunia telah hancur. Aku meraih Liana, merasakan kebahagiaan dan kelegaan meluap di dalam hati.
“Liana,” kataku, “aku tidak lagi merasa sebagai Magnus, tapi sebagai Lucius, seseorang yang ingin berjuang untuk dunia ini—dan bersamamu.”
Dia tersenyum, wajahnya bersinar di bawah sinar bulan. “Aku juga. Bersama, kita bisa menghadapi apa pun.”
Di tengah perayaan, kami berdua tahu bahwa ini adalah awal baru. Dengan cinta dan harapan, kami melangkah ke depan, siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Takdir telah berubah, dan aku akan melindungi orang yang kucintai hingga akhir.
**Tamat**