Senja mulai turun di kota kecil kami ketika aku, Arya, duduk termenung di balkon apartemenku. Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu... hari di mana aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku pada Rina, gadis yang selama ini hanya bisa kukagumi dari kejauhan. Masih terngiang di telingaku suara lembutnya saat dia menerima cintaku, "Iya, Arya. Aku juga mencintaimu." Senyuman manisnya saat itu selalu membuatku terpesona, bahkan hingga kini.
Rina adalah sosok yang sempurna di mataku. Cantik, cerdas, dan selalu penuh perhatian. Dia selalu tahu apa yang kubutuhkan bahkan sebelum aku mengatakannya. Bahkan ketika kedua orangtua ku mengalami kecelakaan, hanya Rina lah yang selalu ada disampingku. Setiap hari bersamanya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Namun, takdir rupanya punya rencana lain untukku... rencana yang akan mengubah hidupku selamanya.
Sore itu, ketika aku sedang membereskan lemari tua di kamar apartemenku, sebuah kotak kecil berwarna merah terjatuh dari rak paling atas. Kotak itu berdebu, jelas sudah lama tidak tersentuh. Dengan rasa penasaran, kubuka tutupnya. Seketika, jantungku seolah berhenti berdetak.
Di dalam kotak itu terdapat puluhan surat-surat cinta yang mirip dengan surat cinta yang dulu sering kuterima semasa SMA. Bukan surat cinta biasa, melainkan surat-surat yang selalu membuatku merinding ketakutan. Surat-surat dari seorang penguntit yang terobsesi, yang dulu membuatku tak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan.
Dengan tangan gemetar, kuambil salah satu surat dan mulai membacanya:
"Sayangku Arya,
Kau tak akan pernah bisa lari dariku. Kita ditakdirkan bersama, selamanya. Setiap langkahmu, setiap tarikan nafasmu, aku selalu mengawasimu. Jika aku tak bisa memilikimu, maka tak ada yang boleh memilikimu. Ingatlah, cintaku padamu abadi... dan tak terbatas."
Tulisan tangan itu... Aku mengenalinya. Goresan pena yang sama dengan catatan-catatan kecil penuh cinta yang selama ini Rina berikan padaku. Tidak mungkin. Ini pasti kesalahan. Rina yang lembut dan penuh kasih sayang tidak mungkin adalah sosok mengerikan yang dulu menghantuiku.
Namun, semakin banyak surat yang kubaca, semakin jelas kenyataan pahit itu. Semuanya cocok... gaya bahasa, pilihan kata, bahkan cara dia menggambar hati kecil di ujung setiap surat. Duniaku seketika runtuh. Gadis yang kucintai, yang kuanggap malaikat penyelamatku dari kesepian, ternyata adalah sosok mengerikan yang dulu menghantuiku.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk, antara rasa takut dan tidak percaya. Bagaimana mungkin Rina yang selama ini kukenal bisa menjadi sosok yang sama dengan pengirim surat-surat mengerikan itu? Apakah semua ini telah direncanakannya sejak awal?
Kuingat kembali bagaimana kami bisa bersama. Aku yang menyatakan perasaan lebih dulu, tapi bukankah Rina yang selalu berada di sekitarku? Selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang, selalu muncul di tempat-tempat yang kukunjungi. Bahkan pertemuan pertama kami yang kurasa kebetulan... mungkinkah itu semua telah diatur?
Keesokan paginya, dengan kantung mata tebal dan pikiran yang masih kacau, aku memutuskan untuk menghadapi Rina. Kami berjanji bertemu di taman belakang bukit, tempat favorit kami untuk kencan. Sepanjang perjalanan, tanganku tak berhenti gemetar. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku harus bersikap?
Rina sudah menungguku di bangku taman kami yang biasa, tersenyum manis seperti malaikat. Untuk sesaat, aku ragu. Mungkinkah aku salah? Mungkin ini semua hanya kesalahpahaman?
"Arya sayang, kau terlihat pucat. Apa kau sakit?" tanyanya dengan nada khawatir yang terdengar tulus.
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Rina, ada yang ingin kutanyakan padamu," ujarku dengan suara bergetar.
Belum sempat aku melanjutkan, Rina sudah menatapku dengan senyuman yang berbeda... senyuman yang membuat bulu kudukku meremang. Matanya yang biasanya lembut kini terlihat... kosong.
"Kau sudah tahu, ya?" tanyanya dengan suara lembut yang kini terdengar begitu menakutkan di telingaku. "Aku selalu tahu hari ini akan datang, Arya. Hari di mana kau akhirnya menyadari betapa dalam cintaku padamu."
Aku mundur selangkah, terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. "Rina, apa maksudmu? Jadi benar, kau..."
"Sshh," dia meletakkan jarinya di bibirku, menghentikan kata-kataku. "Tidak perlu takut, sayang. Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."
Aku mencoba mundur karena ketakutan. Pandangan ku mulai mengabut akibat panik. Namun sebelum aku sempat bereaksi, rasa sakit yang luar biasa menyerang kedua kakiku. Aku jatuh tersungkur, merasakan cairan hangat mengalir di kakiku. Darah. Rina berdiri di hadapanku, sebuah palu besar berlumuran darah tergeletak di sampingnya.
"Maafkan aku, Arya sayang. Aku tak bisa membiarkanmu pergi," bisiknya sambil membelai wajahku dengan lembut. Tangannya yang lembut itu kini terasa dingin di kulitku. "Kita akan bersama selamanya, seperti yang selalu kuimpikan. Seperti yang selalu kutulis dalam surat-suratku."
Air mataku mengalir deras, bercampur dengan rasa sakit dan ketakutan yang mencekam. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa lari. Rina berlutut di sampingku, memelukku erat seolah tak ingin melepaskanku barang sedetik pun.
"Sssh... Jangan menangis, cintaku," bisiknya lembut di telingaku. "Aku akan segera menyembuhkan kakimu setelah ini, mungkin mulai sekarang kamu tak akan bisa lagi menggunakan kakimu. Namun tidak masalah...," Tangannya yang kecil mengelus pelan rambut ku, mencoba menenangkan ku yang sedang menangis.
"Aku akan selalu ada di sisimu, merawatmu, mencintaimu. Kita akan bahagia, aku janji. Tak ada yang bisa memisahkan kita sekarang."
Dalam kegelapan yang mulai menyelimutiku akibat rasa sakit yang tak tertahankan, aku bisa merasakan ciuman lembut Rina di bibirku. Ciuman yang dulu selalu kunantikan, kini terasa seperti segel takdir yang mengerikan.
"Ayo pulang, sayang," ujarnya sambil mengangkat tubuhku dengan kekuatan yang tak kusangka dia miliki. "Aku sudah menyiapkan 'rumah' baru untuk kita. Tempat di mana kita bisa bersama selamanya, tanpa gangguan dunia luar."
Bulu kudukku merinding, jantungku berdebar sangat kencang. Aku ingin meminta bantuan, tapi tempat ini... sangat jauh dari kalangan masyarakat. Seandainya aku tau ini akan terjadi, aku pasti tidak akan menyarankan tempat sepi seperti ini.
Kemudian aku berfikir, bagaimana bisa kotak surat milik Rina ada di apartemen ku? Untuk apa dia meletakkannya disana? Apa dia memang sengaja ingin agar aku mengetahui kebenarannya? Ada begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan pada Rina. Tapi, rasa sakit dari kedua kakiku yang patah membuat ku tak mampu untuk berbicara.
Inilah akhir dari kisah cintaku yang kupikir sempurna. Terjebak dalam pelukan seorang yandere, dengan hati yang tercabik antara cinta dan ketakutan. Aku tahu, mulai saat ini dan seterusnya, hidupku akan dipenuhi oleh cinta yang membelenggu... dan teror yang tak berujung.
Saat Rina membawaku entah ke mana, dengan kakiku yang tak lagi bisa kugerakkan, aku hanya bisa pasrah. Di satu sisi, ada bagian hatiku yang masih mencintainya... gadis manis yang selalu ada untukku. Namun di sisi lain, ketakutan menggerogoti setiap inci tubuhku.
"Kita akan bahagia, Arya," Rina terus berbisik, seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan mencintaimu selamanya. Dan kau... kau akan belajar untuk mencintaiku lagi. Kita masih punya banyak waktu di dunia."
Dalam gendongan Rina, menuju masa depan yang tak pasti dan mengerikan, aku menyadari satu hal: cinta memang buta, tapi obsesi... obsesi adalah kegelapan yang menelan segalanya.