Malam itu, Lena terbangun dengan napas terengah-engah. Mimpi buruk itu datang lagi, membawa kembali kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Ia meraih segelas air di meja samping tempat tidur, berusaha menenangkan diri.
"Ada apa, sayang?" suara berat suaminya, Gio, memecah keheningan. Tangannya yang besar dan hangat mengusap lembut punggung Lena.
Lena menggeleng pelan. "Bukan apa-apa, hanya mimpi buruk."
Gio memeluknya erat. "Tenanglah, aku di sini. Tidak ada yang perlu kau takutkan."
Lena menyandarkan kepalanya di dada bidang Gio, mendengarkan detak jantungnya yang stabil. Namun, jauh di lubuk hatinya, rasa takut itu masih bercokol.
---
Lima tahun lalu, kehidupan Lena berubah total. Sebagai mahasiswi tingkat akhir jurusan Psikologi, ia selalu merasa aman di lingkungan kampusnya. Namun, rasa aman itu hancur ketika ia mulai menerima pesan-pesan aneh dari nomor tak dikenal.
Awalnya, pesan-pesan itu tampak tidak berbahaya. Pujian atas penampilannya hari itu, komentar tentang presentasinya di kelas, bahkan detail tentang makanan yang ia pesan di kantin. Lena mengabaikannya, berpikir mungkin hanya teman yang iseng.
Tapi pesan-pesan itu semakin intens. Foto-fotonya saat di kampus, di jalan, bahkan di depan kos-kosannya mulai bermunculan. Lena mulai merasa diawasi, setiap gerak-geriknya seolah tercatat.
"Kau harus lapor polisi, Lena," saran sahabatnya, Maya, dengan wajah cemas.
Lena mengangguk, tapi ragu. "Bagaimana kalau mereka tidak percaya? Aku bahkan tidak tahu siapa yang melakukan ini."
Suatu malam, ketakutan Lena mencapai puncaknya. Ia pulang larut setelah mengerjakan tugas di perpustakaan. Jalanan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang. Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Lena mempercepat jalannya, tapi suara langkah itu juga semakin cepat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia hampir mencapai gerbang kos-kosannya ketika sebuah tangan menarik tasnya dari belakang. Lena berteriak sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri.
"Hei, tenanglah! Aku hanya ingin mengembalikan dompetmu yang jatuh!"
Lena berbalik, masih gemetar. Di hadapannya berdiri seorang pria muda, tinggi dan tampan, memegang dompet miliknya.
"Oh... maafkan aku," Lena tergagap, wajahnya memerah malu.
Pria itu tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Namaku Gio. Aku mahasiswa Teknik, sering melihatmu di perpustakaan."
Sejak malam itu, Gio menjadi pelindung Lena. Ia selalu ada saat Lena membutuhkannya, menenangkannya ketika ketakutan akan stalker itu kembali muncul. Perlahan tapi pasti, perasaan di antara mereka tumbuh.
Anehnya, setelah Gio hadir dalam hidup Lena, teror dari stalker itu perlahan menghilang. Lena merasa aman, merasa telah menemukan tempat berlabuh.
---
Kembali ke masa kini, Lena memandang wajah suaminya yang tertidur pulas. Lima tahun telah berlalu sejak mereka menikah. Kehidupan mereka sempurna, rumah yang nyaman, karir yang sukses, dan cinta yang semakin dalam setiap harinya.
Namun belakangan ini, bayangan masa lalu mulai menghantuinya lagi. Perasaan diawasi itu kembali. Beberapa kali ia merasa melihat sosok yang mengintai dari kejauhan, tapi selalu menghilang saat ia mencoba melihat lebih jelas.
"Mungkin aku hanya paranoid," gumam Lena pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, saat membereskan lemari pakaian Gio, tangan Lena menyentuh sesuatu di balik tumpukan baju. Sebuah kotak kecil yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Didorong rasa penasaran, ia membukanya.
Napasnya tercekat. Di dalam kotak itu terdapat puluhan foto dirinya, foto-foto lama dari masa kuliahnya dulu. Foto-foto yang sama persis dengan yang dikirimkan oleh stalker lima tahun lalu.
Lena terduduk lemas, pikirannya berkecamuk. Mungkinkah...? Tidak, ini pasti ada penjelasannya. Gio adalah suaminya, pelindungnya, cintanya. Ia tidak mungkin...
Suara mobil Gio memasuki garasi membuyarkan lamunannya. Dengan tangan gemetar, Lena menutup kotak itu dan mengembalikannya ke tempat semula. Ia berdiri, berusaha menenangkan diri.
"Aku pulang, sayang!" suara Gio terdengar dari bawah.
Lena menarik napas dalam-dalam, memaksakan senyum di wajahnya. "Aku di atas, sedang membereskan lemari!"
Saat Gio muncul di ambang pintu kamar, senyumnya yang hangat dan tatapannya yang penuh cinta membuat keraguan Lena sirna. Tidak, pikirnya, Gio-nya tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
"Bagaimana harimu?" tanya Gio, memeluk Lena dari belakang.
Lena bersandar dalam pelukan suaminya, berusaha mengabaikan bisikan kecil di sudut pikirannya. "Baik-baik saja. Sempurna, seperti biasa."
Malam itu, saat mereka berbaring di tempat tidur, Lena menatap langit-langit kamar. Di sampingnya, Gio sudah terlelap. Tangannya yang besar menggenggam tangan Lena, seolah tak ingin melepaskannya bahkan dalam tidur.
Lena memejamkan mata, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang berkecamuk. Ia memilih untuk percaya pada cinta mereka, pada Gio-nya. Karena terkadang, ketidaktahuan adalah berkah. Dan cinta, meski terkadang buta, adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan masa lalunya.
Tanpa Lena sadari, di balik kelopak mata yang terpejam, Gio tersenyum. Senyum yang, jika Lena melihatnya, akan mengingatkannya pada ketakutan lima tahun silam.