Malam itu, lima sahabat memutuskan untuk berkumpul di rumah Mira. Rumah besar, penuh dengan suasana klasik yang berkesan mistik karena sudah lama tidak dihuni. Malam itu mereka berencana mengadakan sesi cerita horor dan menginap bersama. Mereka adalah Mira, Raka, Lita, Adi, dan Dira.
Rumah Mira terletak di pinggiran kota, sedikit terpisah dari tetangga. Rumah itu diwarisi dari nenek Mira yang meninggal setahun lalu. Karena sudah lama kosong, aura rumah tersebut terasa dingin dan sunyi. "Yakin nih kita nginep di sini? Serem banget," kata Lita sambil memeluk dirinya sendiri, merasa udara malam semakin menusuk kulit.
“Kamu takut, Lit? Baru juga mulai,” sahut Adi sambil tertawa kecil. “Kita kan cuma mau cerita-cerita seru.”
Mira yang sedari tadi menyiapkan makanan ringan hanya tersenyum sambil menatap ke arah teman-temannya. "Tenang aja, rumah ini aman kok. Aku sering ke sini sendirian," katanya. Tapi, jauh di lubuk hatinya, Mira tahu, ada sesuatu yang berbeda di rumah ini sejak neneknya meninggal. Setiap kali ia mengunjungi rumah ini, selalu ada rasa seperti diawasi. Namun, ia menepis pikiran itu. "Itu cuma perasaan," pikirnya.
Sesi cerita horor dimulai. Raka memulai dengan cerita hantu sekolah, disusul Adi yang bercerita tentang urban legend kota mereka. Suasana semakin mencekam ketika giliran Mira. Dia duduk di tengah ruangan, lampu sengaja dipadamkan, hanya diterangi senter dari ponsel yang diletakkan di lantai. "Aku ada cerita tentang nenekku," katanya pelan.
“Nenekku dulu sering bicara soal ‘Perempuan dalam Cermin’. Katanya, di rumah ini, ada sebuah cermin yang bisa menampilkan sosok perempuan ketika kita bercermin didepannya. Cermin itu katanya sering digunakan si perempuan yang dulu anak dari pemilik rumah ini untuk berbicara sendiri dengan bayangannya, karena dia tidak memiliki teman. Namun tanpa alasan yang jelas si perempuan itu tiba-tiba mati dihadapan cermin itu karena bunuh diri. Setelah kejadian itu, siapapun yang menatap cermin tersebut di malam hari, akan melihat bayangan si perempuan.”
Lita yang mendengar cerita itu mulai merinding, tangannya mencengkeram lengan Dira. "Mira, kamu nggak bercanda kan?"
“Enggak, aku serius. Nenekku bilang, dia pernah melihatnya sendiri. Waktu itu dia sedang berjalan di lorong malam-malam dan melihat bayangan lain di cermin besar yang ada di kamar utama. Padahal, nggak ada orang lain di situ. Sejak saat itu, nenekku nggak pernah lagi masuk kamar utama.”
Semua terdiam sejenak, menyerap cerita Mira yang terasa begitu nyata dan menakutkan. “Kamar utama itu masih ada?” tanya Dira dengan nada pelan.
Mira mengangguk. "Kamar itu masih ada, dan cerminnya juga masih di sana."
Adi tiba-tiba tersenyum penuh tantangan. "Kenapa kita nggak lihat aja sekarang?"
Raka langsung menimpali, “Jangan bercanda, Di. Kita di sini buat have fun, bukan buat nantangin hantu.”
Namun, Mira tiba-tiba berdiri. "Enggak apa-apa, aku bisa tunjukin cerminnya. Lagian, kalian penasaran kan?"
Semuanya berdiri dan mengikuti Mira ke lantai atas. Langkah kaki mereka terasa berat di atas lantai kayu yang berderit. Setiap suara kecil terdengar jelas di malam sunyi itu. Mira membuka pintu kamar utama, ruangan itu gelap gulita. Dia menyalakan lampu dan di sudut ruangan, ada cermin tinggi yang usianya tampak sangat tua. Bingkai kayunya berukir indah, tapi ada sesuatu yang terasa salah dengan cermin itu.
Mereka berdiri berjejer di depan cermin, melihat bayangan mereka sendiri di kaca. "Nih, nggak ada yang aneh kan?" kata Mira, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Semuanya diam. Satu per satu mereka memandangi pantulan diri mereka. Namun tiba-tiba, Lita mencubit lengan Mira. "Mira... lihat!"
Mira menoleh ke arah Lita, kemudian kembali menatap cermin. Ada bayangan lain di belakang mereka. Bayangan seorang perempuan, berambut panjang, mengenakan gaun putih lusuh, yang seolah mengawasi mereka dari sudut ruangan.
“Siapa itu?!” Raka mundur selangkah, wajahnya pucat.
Mira berbalik dengan cepat, memeriksa ruangan. Tidak ada siapa pun. Hanya ada mereka berlima.
"Udah, balik aja ke bawah!" seru Dira, suaranya gemetar. Mereka semua sepakat dan buru-buru meninggalkan kamar itu. Tapi begitu mereka sampai di pintu, pintu kamar utama tertutup dengan sendirinya, mengunci mereka dari dalam.
“Astaga, apa-apaan ini?!” Lita berusaha membuka pintu, tapi tidak berhasil. Tangannya gemetar, dan dia mulai menangis ketakutan.
Mira mencoba tetap tenang, meskipun hatinya sudah diliputi rasa takut. “Kita harus tetap tenang. Ini cuma pintu, mungkin kuncinya rusak.” Dia mendekati pintu dan mencoba membuka dengan lebih kuat, tapi tetap tidak bisa.
Kemudian, dari cermin, terdengar suara lirih yang membuat bulu kuduk mereka meremang. Sebuah bisikan pelan, seperti suara perempuan yang menggumam. "Kenapa kalian datang?"
Mira menoleh dengan cepat ke arah cermin. Bayangan perempuan itu semakin jelas. Wajahnya tidak terlihat, tertutup rambut panjangnya, tapi tangan-tangannya yang kurus kini menekan kaca, seolah berusaha keluar dari dalam cermin.
"Jangan lihat cerminnya!" seru Raka, menarik Mira menjauh. Namun, saat mereka semua berusaha berpaling, sesuatu yang dingin menyentuh pundak Dira.
Dia berteriak, “Apa itu?!” Tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding. Tubuhnya menegang, matanya membelalak ketakutan, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia terdiam dalam posisi kaku, seperti boneka.
“Dira!” Adi berusaha mendekati Dira, tapi saat dia menyentuh tubuhnya, Dira jatuh ke lantai dengan mata terbelalak kosong.
Lita menangis semakin keras, sementara Mira mencoba berpikir cepat. “Kita harus keluar dari sini, sekarang!”
Namun, saat mereka berusaha mencari cara keluar, bayangan di cermin mulai bergerak. Perempuan itu kini benar-benar tampak keluar dari cermin. Suaranya semakin jelas. “Aku sudah lama menunggu… teman bermain.”
Wajah pucat perempuan itu akhirnya terlihat. Matanya kosong, bibirnya tersenyum tipis, dan dari cermin, dia melangkah menuju mereka. Setiap langkahnya terdengar seperti suara retakan kaca.
Lita tidak bisa lagi menahan diri. Dia berlari ke arah jendela dan mencoba membukanya, tapi tangan dingin perempuan itu tiba-tiba sudah berada di lehernya. Dalam sekejap, Lita terhempas ke lantai, tak bernapas.
“Kita harus melawan!” teriak Adi panik, mencoba menghadapi sosok perempuan itu, tapi begitu dia mendekat, tubuhnya terhenti, seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Perempuan itu tersenyum lebar, menyentuh wajah Adi, dan dalam hitungan detik, tubuh Adi jatuh kaku seperti Dira dan Lita.
Raka dan Mira adalah yang terakhir tersisa. "Kita nggak akan bisa keluar," bisik Raka putus asa.
Mira gemetar, matanya tak lepas dari sosok perempuan itu yang semakin mendekat. "Aku nggak mau mati di sini..." bisiknya, air mata mengalir deras di pipinya.
Namun, perempuan itu kini sudah berdiri tepat di depan mereka. Dengan suara lembut tapi dingin, dia berkata, “Aku butuh teman di sini… kalian akan menemaniku selamanya.”
Seketika itu juga, lampu padam.
Di pagi hari, rumah itu kembali sunyi. Tak ada suara, tak ada tanda kehidupan. Hanya cermin tua di kamar utama yang menampilkan enam bayangan yang kini terjebak di dalamnya, bersama perempuan yang sudah lama menunggu… teman-teman bermain baru.
Lalu? Siapakah selanjutnya yang akan diajak si perempuan dalam cermin bermain? Mungkin.... itu kau...