Anita menghela napas panjang sambil membenamkan wajahnya ke dalam novel tebal yang sedang dibacanya. Perpustakaan kampus selalu menjadi tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu istirahat. Keheningan dan aroma buku-buku tua memberikan rasa nyaman yang tak tergantikan baginya.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
"Hai, Nita! Sedang baca apa?"
Suara keras itu memecah kesunyian, membuat Anita terlonjak kaget. Ia mendongak dan melihat Bimo, mahasiswa jurusan Teknik yang terkenal dengan kelakuannya yang urakan, berdiri di depannya dengan cengiran lebar.
"Ssst!" Anita mendesis, menunjuk tanda 'Harap Tenang' di dinding. "Ini perpustakaan, Bim."
"Oh, iya. Maaf," Bimo berbisik, tapi masih dengan nada ceria yang sama. Ia menarik kursi di sebelah Anita dan duduk tanpa diundang. "Jadi, sedang baca apa?"
Anita menghela napas lagi. "Buku."
"Ya iyalah buku. Maksudku, buku apa?"
"'Sejarah Filsafat Barat'," jawab Anita singkat, berharap Bimo akan bosan dan pergi.
"Wow, kedengarannya... membosankan," Bimo terkekeh. "Eh, ada yang mau kutunjukkan padamu!"
Sebelum Anita bisa protes, Bimo mengeluarkan gitar kecil dari tasnya.
"Bimo, jangan—"
Terlambat. Bimo mulai memetik senar gitarnya dan bernyanyi dengan suara yang (menurutnya) merdu:
"Oh Anita, gadis perpustakaan~
Kau secantik ensiklopedia~
Aku cinta padamu, meski kau pendiam~
Bagai buku tebal yang tak terbaca~"
Wajah Anita memerah, antara malu dan kesal. Beberapa mahasiswa di sekitar mereka mulai terkikik geli.
"Bimo! Hentikan!" Anita berbisik panik, berusaha merebut gitar dari tangan Bimo.
Namun Bimo dengan lincah menghindar, masih melanjutkan lagunya sambil menari-nari di antara rak-rak buku. Pustakawan yang biasanya kalem pun mulai terlihat geram.
"Ayolah Nita, jangan malu-malu~
Kita bisa jadi pasangan buku~
Kau 'Pendiam yang Manis', aku 'Si Konyol Lucu'~
Bersama kita akan jadi bestseller baru~"
Anita, yang biasanya selalu tenang dan terkontrol, akhirnya kehilangan kesabarannya. Ia berdiri, menyambar tasnya, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Namun, ia tidak memperhatikan tumpukan buku di lantai—hasil kekacauan yang dibuat Bimo—dan tersandung.
"Awas, Nita!" Bimo berteriak, melompat untuk menangkapnya.
BRUK!
Mereka berdua jatuh berguling, dengan Bimo berhasil melindungi Anita dari benturan keras. Ketika mereka berhenti, posisi mereka sangat dekat, wajah berhadapan.
"Kau... tidak apa-apa?" tanya Bimo, untuk pertama kalinya terdengar serius.
Anita, masih syok, hanya bisa mengangguk. Untuk sesaat, mata mereka bertemu, dan ada sesuatu yang berbeda di sana.
"KELUAR KALIAN BERDUA!" teriakan pustakawan memecah momen itu.
Sambil terengah-engah, Anita dan Bimo berlari keluar perpustakaan, diiringi tatapan geli dan bingung dari mahasiswa lain.
Di luar, Anita akhirnya bicara, "Kau ini... benar-benar..."
"Keren? Romantis? Penyanyi berbakat?" Bimo menyeringai.
"Gila," Anita menyelesaikan kalimatnya, tapi ada senyum kecil di bibirnya.
"Tapi kau suka, kan?" goda Bimo.
Anita hanya menggelengkan kepala, tapi rona merah di pipinya mungkin bukan hanya karena malu.
"Jadi... mau makan siang bareng? Aku janji tidak akan nyanyi," tawar Bimo.
Anita terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi ingat, tidak boleh nyanyi."
"Siap, bos!" Bimo memberi hormat main-main.
Mereka berjalan bersama menuju kantin, Bimo berceloteh riang sementara Anita mendengarkan dengan senyum kecil. Mungkin, pikir Anita, sedikit kekacauan dalam hidupnya yang teratur tidak terlalu buruk juga.