Mentari pagi menyingsing, lembut menyapa bumi dengan sinarnya yang keemasan. Seperti biasa, Mia memulai harinya dengan menyeduh teh melati kegemaran Suaminya. Harum semerbak menguar di udara, mengingatkannya pada aroma yang selalu mengisi pagi-pagi di rumah kecil mereka.
"Mas, tehmu sudah siap," ujar Mia dengan suara lembut. Ia menuangkan teh itu ke dalam cangkir kesayangan Suaminya yang bergambar burung merak. Kepulan uap mengepul dari bibir cangkir, seolah bernapas mengikuti deru napas Mia saat meletakkannya di meja makan.
Hening sejenak, lalu terdengar sahutan yang amat dikenalnya, "Terima kasih, Dek. Aromanya sangat harum seperti biasa."
Mia tersenyum mendengar suara Dimas sang suami, suara yang selalu membuatnya merasa aman dan tenteram. Ia mendudukkan diri di kursi di seberang meja, seperti kebiasaan yang mereka lakukan selama bertahun-tahun hidup bersama.
Sudan belasan tahun lamanya, tapi rupa sang suami masih gagah semenjak mereka pertama kali menjalin madu.
"Mas mau lauknya dihangatkan dulu? Semalam Adek masak opor ayam kesukaan Mas."
"Tidak usah. Begini saja sudah enak. Adek memang selalu tahu cara membuat makanan favoritku dengan sempurna."
Mereka mulai menyeruput teh dalam keheningan yang nyaman. Di luar, hamparan pagi mulai menampakkan hiruk pikuknya. Kicau burung bersahutan, bak menyanyikan melodi selamat pagi yang riang.
Selepas menghabiskan teh, Mia membuka percakapan seperti biasa, "Mas, hari ini kita mau ke mana?"
"Terserah Adek saja. Ke mana pun Adek mau, Mas ikut." Senyuman menggoda yang selalu dilontarkan setiap hari itu tak pernah membuat Mia kebosanan.
"Kalau begitu, ayo kita jalan-jalan di taman kota saja. Udara pagi sangat segar, pasti menyenangkan untuk dinikmati bersama."
Mia dan Dimas kemudian melangkah bersama menuju taman kota, menikmati semilir angin yang membelai lembut. Sesekali mereka tertawa ceria berbagi kenangan masa lalu yang begitu manis. Rona bahagia terpancar di wajah Mia yang mulai menua. Kehidupan ini terasa sempurna selama Dimas ada di sisinya.
Begitulah rutinitas mereka setiap hari, saling berbincang dan bertukar cerita seperti pasangan yang begitu lengket dan bahagia. Tak ada yang disembunyikan, karena hubungan mereka dibangun di atas kepercayaan dan kesetiaan yang kokoh.
Hari ini mereka menghabiskan waktu di taman sembari menikmati aroma sejuk pepohonan. Seperti biasa, Dimas dengan setia mendampingi di mana pun Mua ingin pergi. Meski hanya duduk di bangku taman, mereka dapat menghabiskan jam demi jam hanya dengan saling bercerita tentang apa saja. Begitu banyak memori yang terjalin dalam dua dekade lebih mengarungi bahtera rumah tangga.
"Adek merindukan anak kita, ya?" tanya Dimas di sela percakapan mereka.
Mia mengangguk, "Tentu saja. Andai saja Anak kita tidak tinggal di luar kota, pasti lebih sering berkumpul bersama."
"Tidak apa, Dek. Anak kita merupakan kebahagian terbesar kita. Selama ia bahagia dengan pilihannya, kita harus mendukung sepenuh hati."
"Benar, Mas. Yang terpenting keluarga kita tetap erat dan saling menyayangi walau terpisah jarak."
Mereka kembali terdiam, hanya menikmati desir semilir bayu yang membelai dedaunan. Ada begitu banyak kenangan terukir di setiap sudut kota ini. Tempat di mana mereka membangun kehidupan, merajut masa depan bersama penuh perjuangan dan pengorbanan. Semuanya terasa begitu nyata dan hidup.
Tanpa disadari, hari telah berganti senja. Mia dan Dimas bergegas pulang, melangkah beriringan dengan jemari saling bertaut erat. Di perjalanan, beberapa tetangga menyapa Mia dengan ramah. Namun, tak seorang pun tampak menyapa atau menyadari keberadaan Dimas yang selalu ada di sisi Mia, seraya membalas sapaan mereka kepada Mia dengan hangat. Seolah dalam pandangan mereka, hanya ada Mia seorang diri yang berjalan di trotoar itu.
Sesampainya di rumah, Mia bersiap menyiapkan makan malam untuk Dimas. Ia memasak dengan penuh cinta seperti biasa, meracik setiap bahan dengan telaten agar rasanya sesuai dengan selera suaminya yang amat dihafalnya.
"Mad mau tambah lagi, tidak? Ini masih banyak, Adek khawatir nanti Mad kurang makan," ujar Ibu saat melihat piring Dimas yang hampir kosong.
Yang dijawab Dimas dengan gelak tawa, "Adek ini selalu saja berlebihan mengkhawatirkan Dimas. Sudah cukup, Dek. Mas kenyang sekali."
Setelah makan malam, Mia mencuci piring sementara Dimas menyalakan televisi menonton acara favoritnya. Malam pun tiba, keduanya beristirahat dengan tenang di ranjang yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Mereka berbagi cerita masa lalu sembari tertawa dan bercanda sampai akhirnya terlelap dalam damainya buaian mimpi.
Selalu begitu, hari demi hari tanpa jeda. Mereka hidup dalam kehidupan yang sederhana namun begitu membahagiakan. Dimana di setiap momen, Mia merasakan kehadiran Dimas sepenuhnya. Mendampinginya dalam suka dan duka, dalam tawa juga air mata. Tidak ada yang mengganjil, semua terasa normal dan utuh seperti seharusnya.
Hingga suatu siang, ketukan di pintu mengejutkan keduanya. Seorang pria paruh baya berdiri dengan raut khawatir. Mia tampak terkejut melihat siapa yang datang.
"Mas Hasan? Sudah lama ya mas?" Dalam perasaan bingung dan tersenyum canggung Mia menyambut Hasan, teman masa kecil suaminya. Ada apa ya, kok sampai repot-repot kemari?"
Hasan menatap Mia dengan sorot iba yang aneh, "Mia...saya...harus bicara sesuatu yang penting denganmu."
Mia mengernyit, lalu menoleh ke arah Dimas dengan bingung. Dimas sendiri hanya terdiam, seperti tidak merasakan firasat aneh apa pun.
"Ya, silakan masuk dulu, Mas," kata Mia sembari mempersilakan Hasan masuk ke ruang tamu. Mereka bertiga lalu duduk di ruang tamu yang sederhana namun tertata rapi.
"Ada apa sebenarnya, Mas? Saya jadi khawatir melihat wajah Mas seperti itu," Mia memulai percakapan dengan nada cemas.
Hasan menghela napas panjang sebelum berkata, "Mia...ini tidak mudah untuk disampaikan. Tapi Kamu harus tahu yang sebenarnya."
Mia mengerutkan keningnya semakin dalam, merasakan firasat buruk yang menyelinap. Di sisinya, Dimas tetap tenang seperti biasa, seolah tidak menangkap atmosfer aneh yang melingkupi ruangan itu.
"Tentang apa, Mas? Katakan saja, jangan membuatku semakin cemas."
Hasan menatap Mia lekat-lekat.
"Ini tentang Dimas. Beliau...beliau sudah tiada 15 tahun yang lalu saat mengemban tugas di medan perang."
Dunia Mia serasa berhenti berputar saat mendengar kalimat itu. Ia membeku di tempatnya dengan pandangan kosong menghujam Hasan.
"Apa... maksud Mas? Mas Dimas ada di sini, duduk di sampingku," Mia berucap terbata dengan suara bergetar.
Hasan menggeleng perlahan, "Maafkan saya, Mia. Tapi yang Kamu lihat itu hanya ilusi. Beliau telah gugur sebagai pahlawan 15 tahun lalu saat menyelamatkan teman-temannya dari serangan musuh."
Air mata mulai membanjiri pelupuk mata Mia yang sembab. Dengan kalut ia menoleh ke arah Dimy yang masih sama seperti biasa, tidak bereaksi apa pun seolah tak mendengar percakapan mereka.
"Tidak...tidak mungkin. Mas Dimas selalu di sini bersamaku! Kami selalu menghabiskan waktu bersama setiap hari! Bahkan Kami sudah memiliki anak yang sedang bersekolah di luar negeri! Ini pasti bohong!" Mia mulai meracau dengan isak tangis yang menyayat hati.
Hasan meraih tangan Mia dengan iba, "Saya tahu ini berat, Mia. Tapi inilah kenyataannya. Dimas telah pergi meninggalkan kita semua dengan cara yang mulia. Selama ini...hanya imajinasi mu Mia yang membuatnya seolah terlihat nyata."
Mia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menolak menerima realita yang begitu kejam. Matanya menatap Dimas dengan pedih, berharap sosok itu bereaksi, berharap semuanya hanya kebohongan belaka.
Namun Dimas tetap seperti tak melihat dan mendengar apa pun, duduk tenang di sana seperti biasa. Hingga perlahan, sosoknya memudar dan akhirnya menghilang dari pandangannya sepenuhnya.
Meninggalkan Mia tenggelam dalam kepedihan yang mendalam atas kehilangan untuk kedua kalinya. Kali ini, ia harus menghadapi kehampaan setelah bertahun-tahun hidup dalam halusinasinya sendiri akibat rasa rindu yang tak tertahankan.
Keheningan melingkupi ruangan itu, hanya ada isak tangis seorang istri yang harus menerima kepergian suami tercintanya sekali lagi. Melepas ilusi terakhir yang membuatnya bahagia untuk memeluk kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
Dalam sepi, Mia teringat masa-masa bahagia bersama Dimas yang kini hanya tinggal kenangan. Selama ini yang membuatnya tetap bisa melanjutkan hidup adalah halusinasinya yang membuatnya seakan Dimas tak pernah pergi meninggalkannya.
Mia benar-benar telah melupakan hari itu, hari dimana pasukan tentara suaminya mendatangi rumahnya untuk mengantar sisa pakaian penuh bercak darah yang berbau anyir dan gosong milik Dimas yang berhasil mereka temukan.
Senyuman terakhir ketika keberangkatannya masih terekam jelas diingatan Mia. Sentuhan telapak tangan yang besar dengan suara merdu yang mengatakan bahwa dia akan segera kembali. Kembali untuk menjalankan bulan madu mereka yang sempat tertunda akibat panggilan perang yang mendadak.
Hingga kini, ketika ilusi itu hancur, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Suaminya telah tiada, dan tak akan pernah kembali lagi untuk menghabiskan waktu bersamanya. Keluarga cemara yang ia rasakan selama 15 tahun itu hanyalah ilusi semata untuk melepas rindu yang tak sanggup tertahan. Meninggalkan hanya kesunyian yang memekakkan di setiap sudut rumah mereka yang dulu dipenuhi tawa dan canda.