Samar-samar, Amelia melihat seorang laki-laki berjalan terseok-seok ke arah motornya, dari kejauhan. Gadis yang menutupi wajahnya dengan cadar itu, reflek menahan napas. Ia takut kalau itu orang jahat. Lalu dia berdo’a meminta perlindungan pada Allah.
Mulutnya terus saja berkomat-kamit membaca do’a memohon perlindungan Allah berulangkali. Matanya terpejam rapat. Tak berani melihat sekitarnya. Ia teramat takut, jika orang yang dalam prasangkanya itu jahat, akan membunuh atau melecehkannya.
Do’anya semakin kencang. Seiring dengan derap langkah kaki yang terdengar kian mendekat.
Namun tiba-tiba..
Bruk..
Amelia hampir saja jantungan saat mendengar bunyi ambruk di dekatnya. Itu bukan suara benda yang terjatuh, tapi manusia. Ya, manusia.
Ia pun membuka matanya secara perlahan. Dan ketika terbuka sempurna, ia pun benar-benar terkejut melihat penampakan mengerikan di hadapannya. Amelia matikan mesin motornya lalu turun tergesa untuk mengetahui kondisi lelaki itu lebih dekat. Seketika Amelia beristigfar karena telah berburuk sangka pada seseorang yang tak dikenalnya ini.
“To..long,” pinta lelaki itu pada Amelia yang ada di dekatnya, dengan suara lirih menahan sakit.
“Aduh, gimana ini,” tanya Amelia panik. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari bantuan. Siapa tahu, ada orang yang lewat.
Tapi tak ada satupun orang yang lewat. Wajar saja, ini sudah pukul 11 malam. Dan jalanan ini memang jarang dilalui. Tak ada yang berani melewati, karena menurut isu yang beredar, tempat ini angker. Tapi, Amelia tak pernah diganggu padahal ia sering pulang lewat sini.
“To..long..” lagi, laki-laki itu meminta tolong pada Amelia.
Laki-laki yang umurnya ditaksir sekitar 25 tahun itu, mendesis menahan sakit di bagian lengan kanannya. Darah sudah membasahi tangan baju kemejanya. Amelia merasa iba melihat pria itu. Namun, ia bingung. Bagaimana cara Amelia menolongnya. Mereka bukan mahram, jadi tak mungkin ia menyentuh lelaki itu.
Amelia semakin panik, kala pandangan lelaki itu meredup, “Hei, jangan mati. Aku nggak mau merasa bersalah, karena gagal menyelamatkan kamu. Eh, bangun, kamu jangan pingsan dulu.” Amelia dorong-dorong lengan kiri pria itu dengan kayu kecil yang ada di sampingnya.
Ah, apes. Padahal ia baru saja pulang lembur dari butik miliknya. Banyak desain baju pengantin yang harus ia selesaikan dalam waktu dekat. Memang begini, nasib jadi desainer busana untuk pernikahan.
Harus merancang baju pengantin untuk orang lain. Padahal, dia sendiri belum menikah. Dan seharusnya usia Amelia yang sudah genap 27 tahun, dianggap umur yang sangat ideal untuk memikirkan pernikahan. Tapi, dia belum ada niat ke arah sana, karena masih fokus dengan karirnya.
Ya, Amelia Azzahra adalah seorang desainer baju pengantin muslim. Dia juga punya team make-up artist yang mengusung konsep syar’i, tanpa cukur alis dan bulu mata palsu. Dan lebih kerennya lagi, teamnya bersedia merias ulang sang pengantin wanita jika sudah selesai sholat.
Amelia memandang gamisnya yang tebal dan keras. Sudah pasti tak bisa dikoyak. Aduh, dia semakin bingung. Pikirannya blank. Satu-satunya yang ada dalam pikiran Amelia adalah, menghentikan sementara darah lelaki itu sebelum membawanya ke rumah sakit. Tak terlalu jauh dari lokasi saat ini mereka berada.
Tapi pakai apa? Tak ada apapun di sini.
“Ya, Allah, aku harus apa ini. Gimana cara aku nolong dia?” Amelia frustasi, ia usap wajah bercadarnya.
Ting.
Satu ide muncul saat Amelia sentuh sepotong kain yang melekat pada wajahnya itu.
Amelia menarik napas dalam-dalam sebelum melakukannya, ‘Ya, Allah.. maaf. Bukan maksud Amelia mau mempermainkan cadar, tapi Amelia lakukan ini demi kemanusiaan.. Maafkan Amelia ya, ya Allah,’ Amel pun perlahan melepas cadarnya. Lalu membungkus erat lengan lelaki yang sedang menatapnya dengan kesadaran yang hampir hilang. Amelia lalu mengambil maskernya dari dalam tas lalu memakai benda tersebut sebagai pengganti cadar.
“Kamu harus tetap sadar. Kita akan segera ke rumah sakit.” Amelia papah tubuh kekar dan tinggi besar lelaki itu naik ke atas motor bebeknya.
Amelia segera naik ke motornya sambil tetap menopang bahu laki-laki asing itu menggunakan sebelah tangannya. Setelah Amelia berhasil naik, ia pun menyandarkan kepala lelaki yang ia tolong ke atas bahunya.
Lagi-lagi Amelia hanya bisa menghela napas. Ia merasa seperti sedang melakukan dosa yang begitu besar sekarang. Tapi, dia tak bisa meninggalkan pria ini begitu saja. Hati nurani Amelia menolak untuk tidak mengacuhkan orang yang membutuhkan bantuannya. Walaupun, mereka bukan mahram.
Jangan salahkan Amelia yang membuka cadarnya. Sebab Amelia masih belajar mendalami hakikat cadar itu sendiri. Baru satu bulan ini ia mencoba tsiqoh memakai secarik kain untuk menutupi wajahnya. Walaupun, kadang Amelia masih lepas pasang dengan masker.
Setelah dirasa posisinya sudah aman. Amelia lajukan motornya dengan sekencang mungkin. Pokoknya, mereka harus sampai ke rumah sakit. Amelia kira akan aman tanpa tangan lelaki yang ternyata sudah pingsan itu, melingkarkan tangannya ke pinggang Amelia.
Amelia salah.
Justru itu makin memperlambat mereka untuk segera sampai ke rumah sakit.
Dengan sangat terpaksa dan berat hati, Amelia genggam tangan lelaki itu dan menariknya ke arah depan agar lelaki itu tak oleng atau jatuh.
Mereka harus segera sampai ke rumah sakit. Amelia semakin mengebut dan tempat yang dituju sudah ada di depan mata.
Begitu sampai di parkirannya, Amelia segera meminta tolong pada petugas rumah sakit yang sedang berjaga malam itu. tim medis pun segera berlari membawa brankar dan menurunkan tubuh pria yang di belakang Amelia.
Amelia akhirnya bisa bernapas lega, saat tim medis membawa pria yang tak Amelia ketahui indetitasnya itu. Langkah kakinya, bergerak mengikuti beberapa perawat lelaki dan perempuan, dari belakang. Sesampainya di depan ruang ICU, salah satu petugas yang menyambut kedatangan Amelia tadi menoleh padanya.
“Tolong segera urus biaya administrasinya dulu ya, Mbak,” ucap perawat ber name Lestari seraya menyerahkan tas kecil milik lelaki itu. Kemudian ia segera masuk ke dalam ruangan bertuliskan ICU.
Amelia baru sadar, jika lelaki itu ada membawa tas. ‘Tapi, buat apa dia bawa tas ini, padahal ia sedang terluka. Apa tas ini begitu penting?’ Gumam Amelia dalam hati.
Ah, Amelia tak ingin ambil pusing tentang tas itu penting atau tidak. Bukan urusannya. Ia pun segera ke bagian administrasi untuk menyelesaikan terkait biaya dan hal yang berkaitan dengan pria itu. Tapi, sesampainya di sana, Amelia malah justru dilanda keraguan. Pasalnya, pihak rumah sakit meminta data pria itu dengan lengkap.
“Siapa nama lengkap suaminya, Mbak?” tanya petugas rumah sakit itu.
“Hah? Suami?” tanya Amelia. Pipinya dibalik masker, tiba-tiba merona mendengar kata ‘suami’. Hatinya bergemuruh salah tingkah dengan pertanyaan si petugas rumah sakit. Ia mendadak lupa dengan keraguan yang melandanya beberapa detik lalu.
“Iya, suaminya mbak. Siapa namanya. Biar didata,” ucap perawat itu lagi.
“Ehm, dia bukan suami saya. Jadi, saya nggak tahu nama lengkapnya siapa” jawab Amelia canggung. “Tapi, mungkin dalam tas kecil ini, ada data-datanya.
Sebentar, ya saya lihat dulu,” ucap Amelia. Petugas itu tersenyum mengerti lalu menggangguk dan kemudian menunggu Amelia memberikan data pasien.
Amelia meminta maaf dalam hatinya karena telah lancang membuka tas milik si pria asing. Ia berjanji setelah laki-laki itu siuman, Amelia akan mengatakan kalau ia memeriksa tasnya untuk mencari data.
Dengan ragu, Amelia membuka tas itu. satu-persatu ia melihat isi tas, beberapa lembar kertas dan sebuah dompet.
Amelia membukanya dan melihat ktp milik lelaki itu.
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Amelia pun segera memberikannya pada si petugas dan menyelesaikan biaya administrasi. Saat sudah selesai, Amelia segera kembali ke depan ruang ICU, menunggu di sana. Ia menanti dengan perasaan gelisah. Berharap laki-laki itu baik-baik saja.
Ia yakin, lelaki itu pasti kehilangan banyak darah.
Tak lama pintu ruang ICU pun terbuka. Dokter keluar bersama satu orang perawat. gegas Amelia hampiri.
“Gimana, Dok keadaannya?” tanya Amelia cemas.
“Alhamdulillah, kondisi suami anda sudah stabil. Anda tidak perlu cemas,” dokter itu tersenyum.
“Alhamdulillah. Terimakasih, Dok,” jawab Amelia dengan pipi yang merona malu. Sayangnya, dokter tak menyadari salah tingkahnya Amelia karena tertutup masker.
“Baiklah. Kalau begitu, saya permisi. Jika ingin melihat suami anda, sebentar lagi sudah boleh, ya,” ucapnya ramah lalu pergi.
Amelia hanya meringis mendengar apa yang tadi sang dokter ucapkan.
Suami lagi.. suami lagi.
Ah, apakah Amelia terlihat seperti wanita yang sudah menikah?
Sepertinya, iya.
**
Bersambung.