Hari itu hujan turun perlahan di Kota Bandung. Di luar kelas, rinai hujan membasahi dedaunan dan membentuk genangan-genangan kecil di halaman sekolah. Aku duduk di pojok kelas, menatap keluar jendela sambil mendengarkan bunyi gemericik air yang menenangkan. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, tampaknya akan berjalan biasa saja—sampai dia masuk ke dalam hidupku.
Namanya Aura. Rambutnya tergerai hitam dan panjang, dengan mata yang berkilau cerah seperti langit pagi yang bersih. Hari pertama dia pindah ke sekolah kami, seisi kelas gempar. Semua orang berbisik-bisik tentangnya, terutama para lelaki. Sementara aku, sebagai siswa yang jarang menonjol, hanya bisa duduk diam di belakang dan mendengarkannya memperkenalkan diri.
"Namaku Aura, baru pindah dari Jakarta. Mohon bantuannya, ya," ucapnya dengan senyum lebar yang menawan. Aku tertegun sesaat. Ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatku lupa untuk bernapas.
Takdir mungkin memang punya rencana aneh. Di sekolah yang besar ini, aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berurusan dengannya lebih jauh. Namun, hidup kadang memberi kejutan tanpa kita duga. Hari itu, saat guru matematika meminta kami berpasangan untuk tugas kelompok, entah bagaimana Aura berjalan ke arahku.
“Kamu mau jadi pasangan kelompokku?” tanyanya dengan suara yang lembut, namun ada nada percaya diri yang tidak bisa kusangkal.
Aku tercekat, setengah bingung setengah tak percaya. Di depan mataku, Aura berdiri dengan senyum hangat, menungguku menjawab. Aku hanya bisa mengangguk, merasa seperti orang bodoh. Aura tertawa kecil. “Sip, nanti kita bahas soal tugasnya sepulang sekolah ya.”
Waktu terasa berlalu begitu cepat setelah itu. Kami sering bertemu untuk mengerjakan tugas, kadang di perpustakaan, kadang di kantin, atau bahkan di taman kecil belakang sekolah. Semakin lama, aku menyadari bahwa bukan hanya tugas yang menjadi alasan kami bertemu. Ada sesuatu yang berbeda setiap kali kami berbicara, sesuatu yang membuat hatiku berdegup lebih kencang dan sulit kulukiskan dengan kata-kata.
Pada suatu sore, setelah hujan reda, kami duduk di bangku taman sekolah. Aura menatap langit yang mulai cerah, sementara aku, dengan canggung, mencoba fokus pada buku catatan kami.
“Kamu suka hujan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Suka, sih. Kenapa?”
“Aku suka hujan. Rasanya menenangkan. Seperti ada jeda di antara waktu, memberikan ruang untuk kita berpikir dan merasakan.” Dia tersenyum, menatap langit dengan tatapan melankolis.
Ada sesuatu dalam cara Aura berbicara yang membuatku selalu merasa tertarik. Bukan hanya kecantikannya, tapi cara dia melihat dunia, cara dia memahami hal-hal kecil yang mungkin orang lain anggap remeh. Setiap kali dia tersenyum, rasanya seperti dunia ikut tersenyum bersamanya.
Sejak saat itu, hujan menjadi sesuatu yang istimewa. Setiap kali langit mulai mendung, aku berharap bisa bertemu Aura, duduk bersamanya di bawah rintik hujan, berbicara tentang hal-hal kecil dan tak berarti, tetapi membuat hatiku hangat.
Namun, seperti semua cerita indah, kisahku dengan Aura tidak selalu berjalan mulus. Ada saat-saat ketika aku meragukan perasaanku sendiri. Apakah ini cinta pertama? Atau hanya kekaguman belaka? Dan yang lebih penting, apakah Aura merasakan hal yang sama?
Suatu hari, saat hujan kembali mengguyur sekolah, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara di bawah pohon besar di belakang gedung olahraga, tempat favorit kami. Hatiku berdegup kencang sepanjang perjalanan menuju tempat itu, penuh keraguan, tapi juga harapan.
“Aura,” panggilku pelan saat kami duduk di bawah pohon itu.
Dia menoleh dengan senyum lembutnya. “Ada apa?”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku mau ngomong sesuatu... sesuatu yang penting.”
Tatapan Aura menjadi lebih serius, namun tetap tenang. “Apa itu?”
“Aku... aku suka sama kamu,” kataku dengan suara hampir berbisik. Aku bisa merasakan wajahku memerah, malu dan gugup, tapi akhirnya kata-kata itu keluar juga.
Aura diam sejenak, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Jantungku berdebar semakin cepat. Aku tak tahu harus berharap apa dari reaksinya.
“Aku... senang kamu jujur,” ucapnya pelan, tapi kemudian dia melanjutkan, “Tapi... aku nggak yakin perasaanku sama dengan kamu.”
Rasanya seperti ada sesuatu yang jatuh di dadaku, menimpa dengan berat. Aku mencoba tetap tersenyum, meski hatiku mulai hancur.
“Kamu itu teman yang baik, dan aku suka menghabiskan waktu denganmu,” lanjut Aura, suaranya lembut namun tegas. “Tapi, mungkin saat ini aku belum siap untuk sesuatu yang lebih. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Aku terdiam, menunduk, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang tiba-tiba menghantam. “Aku... aku ngerti,” jawabku pelan.
Setelah itu, kami duduk dalam keheningan. Hujan turun semakin deras, seolah-olah mengiringi perasaanku yang berantakan. Namun, meskipun sakit, aku merasa lega telah mengungkapkan semuanya. Setidaknya, aku tidak lagi memendam perasaan ini sendirian.
Hari-hari setelah itu terasa sedikit berbeda. Aku masih sering bertemu Aura, tetapi tidak lagi dengan perasaan canggung yang dulu ada. Kami tetap berteman baik, meski aku tahu bahwa sesuatu telah berubah. Ada jarak yang tak terlihat di antara kami, tetapi anehnya, aku bisa menerima itu.
Waktu berlalu, dan semester demi semester berganti. Aura tetap menjadi bagian dari hidupku, meskipun tidak seperti yang dulu kuharapkan. Cinta pertamaku berakhir dengan cara yang mungkin tidak ideal, tapi dari sana aku belajar bahwa cinta bukan selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan dan bersyukur atas momen-momen indah yang pernah ada.
Setelah lulus, kami berpisah mengikuti jalan masing-masing. Aku melanjutkan kuliah di kota lain, sementara Aura pindah kembali ke Jakarta. Sesekali kami masih berkomunikasi, tapi kehidupan membawa kami ke arah yang berbeda.
Namun, setiap kali hujan turun, aku selalu teringat pada Aura dan hari-hari putih abu-abu kami yang penuh dengan kenangan. Cinta pertama, meski tidak selalu berakhir bahagia, akan selalu menjadi bagian yang tak terlupakan dalam hidupku.