Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh hutan lebat, terdapat sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan. Rumah itu milik keluarga Kusuma, yang konon telah meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu. Tak ada yang berani mendekati rumah tersebut, kecuali Sherenata, seorang gadis berusia enam belasan yang baru saja pindah ke desa itu untuk mencari ketenangan setelah kematian orang tuanya.
Sherenata adalah tipe gadis yang tidak mudah percaya pada cerita-cerita hantu atau mitos yang sering dibicarakan penduduk desa. Namun, satu hal yang membuatnya penasaran adalah cermin besar yang diceritakan penduduk desa berada di kamar utama rumah Kusuma. Cermin tua yang, menurut cerita, bisa menunjukkan masa lalu yang mengerikan dari siapa pun yang menatapnya.
Suatu sore yang mendung, sherenata memutuskan untuk mengunjungi rumah tua tersebut. Ia berpikir cerita-cerita tentang cermin itu hanyalah takhayul belaka. Dengan senter di tangan, sherenata memasuki rumah itu melalui pintu depan yang sudah reyot. Bau lembab langsung menyeruak, disertai dengan suara kayu yang berderak di bawah kakinya. Rumah itu gelap, dengan jendela-jendela yang tertutup debu dan sarang laba-laba di setiap sudut.
Sherenata berjalan perlahan ke ruang tamu, melihat perabotan tua yang ditinggalkan begitu saja. Namun, tujuannya jelas—ia ingin melihat cermin yang selalu menjadi topik pembicaraan penduduk desa. Dina menaiki tangga kayu yang berderit menuju lantai dua, di mana kamar utama berada.
Saat ia memasuki kamar itu, di sana, di dinding yang sedikit miring karena tua, tergantung cermin besar dengan bingkai kayu ukir yang indah namun suram. Permukaan kacanya kusam, seperti sudah puluhan tahun tidak pernah dibersihkan. Cermin itu tampak biasa saja, tapi ada sesuatu tentangnya yang membuat bulu kuduk sherenata merinding.
Perlahan, ia mendekat. Tangannya terulur menyentuh permukaan cermin, namun tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk kulitnya. Napasnya tertahan sejenak. Sherenata menatap bayangannya di cermin itu, dan sesuatu yang aneh mulai terjadi. Wajahnya terlihat berubah, perlahan-lahan. Bukan wajahnya yang biasa, melainkan wajah seorang wanita yang pucat dengan mata yang tampak penuh dengan kesedihan dan kemarahan.
Sherenata terkejut, mundur beberapa langkah. Namun, pandangannya tetap tertuju pada cermin itu. Wanita di cermin itu masih menatapnya, namun kini dengan senyum yang menyeramkan. "Siapa kamu?" bisik Sherenata dengan suara bergetar. Tak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin membuat suasana menjadi mencekam.
Kemudian, tiba-tiba ruangan di sekitarnya berubah. Dinding-dinding kamar tampak baru, tidak lagi dipenuhi oleh debu dan lumut. Sherenata menyadari bahwa ia sekarang berada di masa lalu. Di cermin itu, ia melihat adegan-adegan mengerikan—keluarga Kusuma, duduk di ruang makan dengan raut wajah tegang. Seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah kepala keluarga sedang berdebat dengan seorang wanita muda, mungkin anak perempuannya.
Sherenata merasakan napasnya semakin berat saat adegan terus berlanjut. Wanita muda itu menangis, memohon sesuatu kepada ayahnya, namun pria itu tampak keras kepala. Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar, diikuti dengan teriakan nyaring. Sherenata melihat pria itu menghempaskan tubuh anak perempuannya ke lantai. Dengan amarah yang tidak terkendali, ia mengambil sebuah benda tajam dan—tanpa ragu—menikam putrinya sendiri.
Sherenata menjerit, namun suaranya tak keluar. Ia terpaku di tempat, dipaksa untuk menyaksikan pembunuhan brutal itu. Darah mengalir deras, membasahi lantai kayu, dan mata si gadis muda perlahan-lahan kehilangan cahayanya. Pria itu berdiri di atas mayat putrinya, wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah apa yang baru saja dilakukannya hanyalah hal sepele.
Adegan itu menghilang, dan ruangan kembali menjadi kamar tua yang kosong dan suram. Sherenata terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ia mundur menjauh dari cermin itu, tapi matanya tetap tertuju pada permukaannya yang kusam. Wanita yang tadi ia lihat di dalam cermin kini berdiri di belakangnya, tidak lagi sekadar pantulan. Sosoknya nyata, dengan mata kosong dan senyum mengerikan.
“Kenapa kamu di sini?” suara itu bergema di telinga sherenata. Suara wanita muda yang baru saja terbunuh, tapi kini terdengar penuh dendam. Sherenata berbalik dengan cepat, namun sosok itu sudah hilang. Hanya kegelapan yang menyelimuti ruangan itu sekarang. Ia menoleh kembali ke cermin dan wanita itu muncul lagi, wajahnya semakin mendekat, seolah-olah ingin keluar dari dalam kaca.
Panik, sherenata mencoba lari, tapi kakinya terasa berat. Tiba-tiba, ia merasakan tangan dingin mencengkeram lengannya, menariknya kembali ke depan cermin. "Kamu harus membebaskan aku," bisik wanita itu, suaranya memohon sekaligus mengancam. "Hanya dengan cara itu aku bisa pergi."
Sherenata mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman itu semakin kuat. Ia tersandung dan jatuh ke lantai, tepat di depan cermin. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan wanita itu semakin mendekat, kini seperti hantu yang benar-benar keluar dari cermin. Sherenata berteriak, mencoba merangkak menjauh, tapi sia-sia. Hantu itu terus mengikutinya.
"Aku tidak ingin mati di sini!" teriak sherenata, tapi suaranya hanya bergema dalam kehampaan ruangan.
Seketika, pintu kamar terbanting terbuka. Angin dingin masuk, dan dengan kekuatan yang tidak terlihat, hantu itu ditarik kembali ke dalam cermin. Sosok wanita itu menghilang perlahan-lahan, meskipun wajahnya yang penuh dendam tetap menatap sherenata hingga ia benar-benar lenyap.
Sherenata duduk terengah-engah di lantai. Ia menatap cermin itu sekali lagi, namun kini yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya yang ketakutan. Dengan gemetar, ia bangkit dan berlari keluar dari rumah itu, meninggalkan segalanya di belakangnya—termasuk cermin tua yang kembali diam dalam kegelapan.
Keesokan harinya, penduduk desa menemukan sherenata pingsan di dekat gerbang rumah tua itu. Mereka membawanya kembali ke desanya, tapi sejak saat itu, sherenata tidak pernah sama lagi. Ia sering bergumam tentang wanita di cermin dan pembunuhan yang disaksikannya, membuat banyak orang mulai percaya bahwa ia telah kehilangan akal.
Namun, tak ada yang tahu bahwa di dalam rumah tua itu, cermin lama masih tergantung di dinding, menunggu seseorang yang baru untuk mengungkapkan rahasia kelam yang tersimpan di dalamnya.