“Bismillahirrahmanirrahiim ... Almira terima lamaran ini karena Allah.”
Dua bulan lalu, saat sang ayah bertemu teman lama dan timbul niat menjodohkannya dengan pria bernama Rey, ia tak ingin menolak.
“Jangan tergesa-gesa, Nduk. Lebih dulu libatkan Allah dalam setiap urusan kita. Termasuk jodoh. Istikharahlah terlebih dahulu.” Pesan Abdullah saat mereka tiba di kediaman. Padahal, jika saja ayahnya memerintahkannya untuk menikah hari ini, pun besok, Almira tanpa ragu akan melakukannya. Ia hanya ingin patuh dan berbakti.
Setelah kehilangan ibu di usia kanak-kanak, membuat Almira tak ingin mengecewakan Abdullah sedikitpun. Apapun yang ayahnya inginkan, Almira akan berusaha untuk mengabulkannya. Termasuk saat memintanya menikah.
Dua pekan berlalu seperti biasa dan hidup mereka berjalan dengan santai. Abdullah yang seorang pensiunan Kereta Api, setiap hari selalu menyibukkan diri dengan memelihara tanaman. Walau tak banyak yang beliau miliki di rumah, setidaknya tempat tinggal yang mereka punya menjadi tampak lebih hijau dan nyaman. Sedangkan tak lama setelah Almira lulus, ia menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar tak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya. Almira bahagia menjalaninya sebab sebagai Guru, ia telah mengabulkan cita-cita almarhum sang ibu.
“Nduk, temuilah dulu tamu di depan.”
Suara lembut dan penuh kasih milik Abdullah seketika membuat Almira menghentikan kegiatannya. Di hari Ahad, seperti biasa ia memang tak pernah absen membersihkan ruangan di seluruh rumah. Gadis yang baru menginjak usia dua puluh tiga tahun itu menoleh dan mengangguk. “Nggih, Pak.”
Sebelum beranjak, Almira mencuci tangan terlebih dahulu, lalu membawakan air serta kudapan yang ayahnya perintahkan. Namun, ketika dirinya tiba di ambang pintu, langkahnya seketika terhenti.
“Maaf Mah, Rey gak bisa nikah sama dia.”
Deg!
Suara yang berasal dari pemilik sepertiga malam yang selalu Almira sebut namanya. Setiap malam, seperti keinginan ayahnya. Namun kini, suara pria–calon suaminya tersebut begitu terdengar putus asa. Gadis itu membeku untuk beberapa saat.
“Tolong bujuk Papa, supaya pernikahannya batal,” lanjut pria jangkung itu, “Rey gak bisa nikah sama Almira.”
Suara Rey terdengar getir dan berhasil membuat hati Almira pilu karena tersirat kerasnya penolakan. Namun, Almira tak ingin menyerah. Pernikahan ini harus terjadi. Keinginan ayahnya harus dikabulkan.
“Maaf mas, kamu gak bisa membatalkan pernikahan kita.”
Almira yang kini berada di sisinya seketika membuat Rey terlonjak kaget. Ia mendapati gadis berkerudung putih itu menatap dalam ke arahnya. Dan setelah hilang fokus untuk sesaat, Rey berdehem pelan demi berusaha mengalihkan kegugupannya. Sedangkan Almira masih setia di tempatnya. Pun tatapan yang sedari tadi tak lepas dari raut wajah ayu nya.
“Maafkan saya,” Rey mulai berani menatap Almira. Jujur saja, sebenarnya gadis di hadapannya itu begitu sederhana. Tanpa polesan make up maupun perhiasan. Bahkan busana dan hijab yang Almira kenakan benar-benar tak menarik dirinya sama sekali. Seluruh kain tersebut menjuntai hampir menutupi bentuk tubuhnya.
“Pernikahan ini harus terjadi, mas!” Almira menyela dan membuyarkan lamunan Rey.
“Kita harus menikah. Saya mohon, demi Bapak …!”
Wajah Rey nampak bingung, merasa ucapan gadis itu terdengar ambigu.
“Almira, kita bahkan hanya bertemu dua kali!” tukas Rey menegaskan. “Apakah kamu yakin, pernikahan kita bakalan langgeng?”
Almira bergeming. Ia paham apa maksud perkataan Rey–calon suaminya. Dua orang asing yang mengharuskan tinggal bersama dalam ikatan pernikahan tanpa cinta. Apakah akan berjalan lancar?
Tapi menurut Almira, bukankah cinta tersebut bisa muncul seiring berjalannya waktu?
“Kamu tidak usah khawatir, Almira.” Suara Rey kembali mendominasi. “Saya akan bertanggung jawab dan bicara pada Bapak untuk mengganti semua kerugian yang kalian alami.”
Almira masih diam sembari berpikir. Dirinya tak ingin pasrah begitu saja. Pernikahan ini harus terjadi agar ayahnya bahagia. Pun baktinya sebagai seorang anak harus dilakukan.
“Maaf mas, bolehkah saya mengajukan permintaan?” tanya Almira, suaranya nyaris berbisik.
“Katakan,” jawab Rey datar. Pria itu ingin segera menyelesaikan pembicaraannya.
“Setelah perjodohan kita dimulai dua bulan yang lalu, saya tak pernah berhenti meminta petunjuk pada Allah dengan mas Rey sebagai jodoh saya.”
“Lalu?”
“Kita harus menjadi suami-istri. Dan mas Rey silahkan menceraikan saya setelah enam bulan pernikahan.”
☘️
Dalam pantulan cermin besar di hadapannya, Almira terdiam cukup lama. Ia bersyukur, Rey menyetujui permintaannya hingga perjodohan pun dapat terlaksana. Almira yang kini mengenakan busana pengantin muslim berwarna putih, pun hijab yang senada, merasa lega, sebab ia berhasil membuat keinginan ayahnya terkabul.
“Nduk, sudah siap?” Abdullah datang setelah Almira selesai dengan riasannya. Beliau terus memuji putrinya yang terlihat cantik dan berbeda. Namun lama-kelamaan raut wajahnya berubah sendu. Guratan di dahi pria berusia lima puluh empat tahun itu tampak menebal.
“Bapak kenapa?” Almira lantas bangkit dan mendekati sang ayah. Laki-laki yang begitu ia sayangi dan hormati. Hatinya tak mampu jika melihat Abdullah bersedih. Karena itu ia berusaha agar semua keinginan ayahnya terpenuhi. Abdullah merupakan dunianya.
“Bapak hanya bahagia,” sanggah Abdullah dengan gelengan pelan, tak ingin putrinya khawatir. “Rasanya baru kemarin Bapak antar kamu pergi ke sekolah. Dan hari ini, Bapak antar kamu menuju kehidupan baru. Ibumu pasti bahagia jika masih ada, Nduk.”
Almira meraih tangan Abdullah dan menciumnya penuh kasih. “Matur nuwun Pak, sudah sayang sama Almira.” Ia lalu memeluk ayahnya bersamaan dengan aliran air mata yang tak bisa dibendung.
Beberapa menit keduanya hanyut dalam momen kehangatan tersebut, hingga akhirnya surut oleh ketukan di pintu. Almira dengan sigap menyeka jejak linangan air mata dan berusaha menguasai emosinya.
“Maaf, Pak. Penghulunya sudah tiba.”
Abdullah mengangguk, “Baik, saya segera kesana.”
Kemudian pandangannya beralih kembali pada putrinya, “Nduk, tunggulah disini sampai ijab qobul diucapkan.”
“Nggih, Bapak.” Almira patuh. Dan setelah ayahnya menghilang di balik pintu, ia tergesa menuju lemari untuk meraih mukena. Gadis itu terbiasa melaksanakan shalat dua rakaat di waktu pagi. Pun selalu menjaga wudhunya.
Meskipun Almira menyadari pernikahannya terbentuk sebab perjanjian. Namun tentu saja ia ingin mengharapkan keridhoan dan keberkahan meliputi pernikahannya. Merayu Raja dari segala Raja agar kelak Rey dapat membuka hati kepadanya. Pun berusaha menjadi istri yang sholehah untuk siapapun jodohnya. Sebab dirinya yakin, takdir Lauhul Mahfudz ialah yang terbaik. Apapun yang Allah rencanakan, ia ikhlas menjalaninya.
Pertemuannya dengan Sang Khaliq begitu khusyuk, hingga Almira tak menyadari jika ijab qobul tengah diikrarkan. Namun saat memasuki rakaat terakhir, entah mengapa d*da nya terasa nyeri. Almira menghela napas dan sekuat tenaga melanjutkan seraya menahan sakit.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."
Belum sempat dirinya terbangun dari sujud, jiwanya kini terlepas dari raga. Pun tubuhnya kehilangan ruh-nya. Almira menutup mata.