Breeett!!
Dengan gerakan kasar, Ari merobek kain berukuran panjang dihadapannya. Tatapannya kosong, pun tangannya terlihat gemetar serta benaknya dipenuhi rasa takut yang luar biasa.
“Maafkan saya Ibu, Bapak …, ” ucapnya pilu.
Kakinya lalu bergerak dan menarik kursi yang terletak dua langkah darinya. Lalu membawa kain yang telah ia genggam untuk dimasukkan pada lubang di atas pintu dengan membentuk simpul mati.
Tangannya yang gemetar, melilitkan kain tersebut dengan ragu-ragu pada lubang ventilasi sekaligus beralih pada lehernya yang kehitaman. Bisikan demi bisikan jahat memenuhi jiwa dan raganya. Pikirannya kalut, seakan dunia tak henti-hentinya mengusik ketenangan jiwanya.
Sebelum memulai aksinya, pemuda berusia dua puluh dua tahun itu melirik sekilas pada benda pipih di atas kasur. Bagai alarm, notifikasi pesan tak henti-hentinya berbunyi membulatkan tekad keputusannya. Kelap-kelip nama sang kekasih di ponsel miliknya, membuat hatinya sedikit tercubit. Ari menunda niatan nya.
“Ha-hallo–,”
“ARI …! Lo dimana!? Banyak yang telepon gue! Lo yang punya hutang kenapa gue yang diteror sih!?” pekik suara wanita di seberang sana.
“Ma-maaf.” Ari terhenyak, nadanya lembut namun kontras dengan ritme jantungnya yang berdetak tak karuan.
“Gue gak mau dibawa-bawa karena hutang lu, Ari!” Lagi, perempuan yang begitu ia kasihi terus memojokkan dirinya.
Setelah Ari tiba di kota metropolitan, Mita ialah wanita pertama yang membuat hatinya nyaman. Hingga ia berhasil memilikinya.
"Gue muak sama lo!" cecar Mita seraya meremas ujung telepon di tangannya, "kenapa, Ari?! Kenapa Lo kayak gini?!"
Ari terdiam. Namun kepala serta napasnya bertambah berat. Pun keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Detik selanjutnya mendadak lidahnya kelu. Ia bahkan tak menyadari jika dirinya tengah menahan napas.
“Sayang … aku minta maaf. Aku nyesel,” lirih Ari pelan. Berusaha agar kekasihnya mau mengerti dan berharap menguatkan hati, pikiran serta jiwanya yang saat ini hancur berantakan.
Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
Ia berkali-kali merutuki kebodohannya karena tergiur mencicipi judi online yang tengah marak di sosial media. Berawal dengan coba-coba hingga membuatnya ketagihan. Ari tak menyangka hidupnya kini jungkir balik berubah mengerikan. Hutangnya hampir mencapai puluhan juta. Dan tak tahu harus bagaimana ia membayar hutang yang menumpuk dimana-mana. Sedangkan dirinya hanyalah seorang pegawai kontrak yang baru satu tahun bekerja. Ia tak menyangka, ternyata judi online bisa membuatnya hilang akal, hingga candu dan terjerumus dalam jerat lingkaran setan.
“Gue capek, Ri. Gue mau putus!”
“Tu-tunggu, Mit. Dengarkan aku dulu …!” sergah Ari berusaha membujuk, nadanya sarat akan keputusasaan. “Please … jangan tinggalin aku, Sayang.”
Ari marah sekaligus kecewa. Dadanya bergemuruh hebat. Mita bahkan tak mau mendengar kepiluan hidupnya yang mungkin hanya tersisa di detik-detik terakhirnya.
Namun, apakah pantas ia menyalahkan orang lain?
Padahal semua kesalahan dan kesengsaraannya mutlak karena perbuatannya sendiri. Setiap menit pemuda itu selalu merasa dirinya bodoh dan tak berguna. Tapi terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Menurutnya tak ada lagi alasan untuknya tetap hidup.
Dua hari lalu, Ari merasa seolah secercah cahaya merasuki jiwanya. Mengajaknya bertaubat dan berharap ada kesempatan kedua yang akan ia dapatkan. Namun nyatanya sulit. Tidak ada yang bisa ia andalkan. Termasuk dirinya sendiri.
“Cukup, Ari!” sentak Mita final. Suaranya makin melengking di ujung telepon. “Tolong jangan hubungi gue lagi. Urus masalah lo sendiri, kita putus!”
Itu bukanlah sebaris kalimat yang ingin Ari dengar. Melainkan kekecewaan yang semakin meningkat. Ternyata perempuan yang telah bersamanya selama ini tega mengabaikannya. Mita tak segan menutup sambungan telepon di saat pemuda itu begitu mendamba dukungannya.
“AKH! BERENGS*K …!!” Ari histeris, pemuda itu berdiri lalu melempar ponsel ke sembarang arah beserta benda yang berada disekitarnya. Bahkan sebuah kaca yang sejak awal kokoh di tempatnya, kini pecah berserakan dimana-mana.
Kamar kost yang ia sewa berukuran 2 x 3 meter tersebut kini tak berbentuk. Semua barang yang Ari miliki, rusak sebab emosi yang tak pernah surut menggerogoti akal, pun otaknya seakan meledak hingga kembali menemui jalan buntu.
Apakah sudah seharusnya dirinya lenyap dari dunia ini?
Satu detik kemudian, timbul keraguan yang merambati sanubarinya. Harus kemana ia meminta pertolongan?
Sekilas, iris hitam miliknya memandang ke arah nakas. Dimana terdapat sajadah pemberian ibunya tergeletak disana. Ari tertegun. Sudah bertahun-tahun dirinya tak pernah mengadu pada Sang Pencipta.
Salahkan ia jika selama ini tak pernah kenal dengan Tuhan-nya? Dan mungkinkah kegelapan yang ia alami saat ini merupakan teguran untuknya?
“Ah, sial …!” Ari tak mengerti. Mengapa hidupnya kini mengerikan.
Rasanya ingin sekali ia berkeluh-kesah pada ibu dan bapak di kampung. Namun, ia tak tega. Tak sanggup bila harus menyusahkan keluarganya. Dadanya kembang kempis, pun denyutan di kepalanya makin bertambah. Sekelebat kenangan tiba-tiba muncul saat Ari mendapatkan pekerjaan dan membuat kedua orang tuanya sangat bahagia.
“Terima kasih, Nak. Maaf, karena kami selalu membuatmu susah.”
Suara bapak yang terdengar bangga memenuhi pikirannya. Namun kini berganti dengan rasa bersalah yang semakin kentara menyergap dalam benaknya.
Bapak dan ibunya sangat bergantung kepadanya. Berharap di masa depan, ia bisa meraih kesuksesan hingga mampu merubah keadaan. Namun, impian kedua orangtuanya secara sadar malah dihancurkan oleh dirinya sendiri.
"Imah janji, akan belajar yang rajin biar Bapak, Ibu dan Bang Ari bangga."
Malah saat ini suara adiknya pun menggema di otaknya. Gadis remaja yang ia sayangi. Adik satu-satunya yang mengaharapkan dirinya bisa menjaga dan menjadi panutannya, raib tak bersisa.
"Payah ...!! Gak berguna!"
Perlahan tapi pasti, air mata yang selama ini Ari tahan, kini mengalir deras tak dapat dihentikan. Tetesan air penyesalan yang membabi buta itu menghancurkan mimpi orang-orang yang ia cintai. Seharusnya ia bersyukur, apapun yang diberikan Tuhan kepadanya. Bukan malah terjerumus pada lubang kemaksiatan.
“Sial …!!” desis Ari kembali dengan ingatan pahit masa kecil. Hidupnya yang serba kekurangan, membuatnya tersihir bermain judi online. Pun saat ini terlilit banyak hutang akibat pinjaman yang mendesak agar hutang-hutangnya dilunasi. Namun nyatanya, gali lubang tutup lubang yang dirinya lakukan. Sekarang, rasa bersalahnya kembali menggiringnya menuju kegilaan.
☘️
Ari perlahan menutup matanya. Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya semakin menyesakkan. Ia hanya ingin pergi, hilang dari dunia yang membuatnya frustasi.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi dengan gunting miliknya. Awalnya, ia pun tak ingin membuat bapak, ibu dan Imah menangis. Namun rasa malu, pun bersalahnya mengalahkan iman yang tersisa dalam hatinya. Hingga akhirnya iblis tertawa mengelabuinya.
Namun Ari tak peduli, ia hanya ingin merasakan gema bebas dan damai. Sekarang, dirinya tak akan membuat keluarganya susah lagi. Menurutnya, ia telah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.