Dino menatap gitar tua itu dengan raut wajah campuran antara penasaran dan ragu. Gitar kayu dengan goresan dan retakan di beberapa bagian, serta senar yang tampak usang, tergantung di dinding kios barang antik di sudut jalan. Meski tampak tak terurus, ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat.
"Apa kau mau membeli itu, Nak?" suara berat seorang pria tua terdengar dari balik meja kasir. Rambutnya sudah memutih, dan tatapan matanya terlihat menyimpan rahasia kelam.
"Berapa harganya, Pak?" tanya Dino, masih terus menatap gitar itu.
Si pria tua tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang aneh di balik senyumannya. "Gitar ini bukan untuk sembarang orang. Harganya murah, tapi yang kau bayar mungkin lebih dari sekadar uang."
Dino mengernyitkan kening. "Maksud Bapak?"
"Ah, tidak perlu kau pikirkan. Kau hanya perlu tahu, gitar itu... punya cerita," jawab si penjual dengan nada misterius. "Lima puluh ribu, kalau kau berani membawanya pulang."
Meski ada perasaan tak nyaman yang menggelayut di benaknya, Dino mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya dan menyerahkannya pada si penjual. Dengan hati-hati, ia mengambil gitar itu dan keluar dari kios.
Malam itu, Dino membawa gitar tua itu ke kamarnya. Ia meletakkannya di sudut ruangan, sementara pikirannya masih memikirkan perkataan pria tua tadi. Ada sesuatu yang ganjil, tapi Dino menepisnya, menganggap mungkin itu hanya trik si penjual untuk membuat barangnya terdengar lebih istimewa.
Saat malam semakin larut dan suasana di luar semakin sunyi, Dino merasa dorongan untuk memetik gitar itu. Dia duduk di kursinya, mengambil gitar tua itu dan mulai mencoba menyetemnya. Meski senarnya terlihat usang, suaranya masih cukup baik. Dino mulai memetik senar, memainkan beberapa nada. Anehnya, meski baru saja ia menyetel gitar itu, nada yang keluar seolah-olah sudah tersetel sempurna. Setiap petikan terasa begitu alami, seolah-olah gitar itu "hidup" di tangannya.
Namun, saat dia mulai memainkan sebuah lagu, suasana di dalam kamar berubah drastis. Udara menjadi lebih dingin, dan lampu di meja belajarnya mulai berkedip-kedip. Dino berhenti sejenak, menoleh ke jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya kegelapan malam yang sunyi.
Dengan sedikit gemetar, Dino mencoba melanjutkan permainan gitarnya. Namun, semakin lama ia bermain, suasana semakin aneh. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan gelap bergerak di pojok kamar. Tangannya tiba-tiba berhenti, namun suara gitar itu masih terdengar—seperti ada yang memetiknya, meski Dino sudah tidak menyentuh senarnya lagi.
Jantungnya berdebar kencang. Dino memandang gitar itu dengan penuh kengerian. Tangan-tangan tak terlihat seolah terus memainkan gitar tersebut, mengeluarkan melodi yang tidak pernah Dino dengar sebelumnya—melodi yang gelap, suram, dan penuh dengan keputusasaan.
"Dino..." suara lembut memanggil namanya dari arah jendela. Suara itu seperti bisikan, tetapi jelas dan menusuk telinganya.
Dengan penuh ketakutan, Dino menoleh. Di jendela, dia melihat sosok samar, bayangan seorang wanita dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Tubuhnya tampak melayang, dan meski wajahnya tersembunyi, Dino bisa merasakan tatapannya yang menusuk.
"Dino..." sosok itu kembali berbisik, lebih keras kali ini. Gitar di tangannya tiba-tiba jatuh ke lantai dengan bunyi dentuman yang keras, memecah kesunyian malam.
Dino berlari ke pintu kamar, mencoba membukanya, tetapi pintu itu terkunci dengan sendirinya. Napasnya memburu, sementara suara gitar itu terus bergema di dalam ruangan, semakin keras dan semakin menakutkan. Bayangan wanita itu semakin mendekat, mengisi ruangan dengan hawa dingin yang membuat tulang belakang Dino bergetar.
Tiba-tiba, gitar yang tergeletak di lantai bergerak sendiri. Senarnya bergetar, menghasilkan suara yang semakin aneh dan mengerikan. Dino mundur, menabrak meja belajarnya. Keringat dingin membasahi dahinya.
Wanita itu sekarang berdiri di depan gitar. Matanya yang sebelumnya tak terlihat, kini menyala merah, menatap langsung ke arah Dino. "Kembalikan... milikku..." bisiknya, suaranya penuh dengan kebencian.
Dino tak bisa bergerak, tubuhnya terasa beku. Dia ingin berteriak, tapi suaranya seakan tersangkut di tenggorokan. Saat wanita itu mendekat, tangan transparannya terulur ke arah gitar tua tersebut. Gitar itu mulai bergetar hebat, seperti bereaksi terhadap kehadirannya.
Tiba-tiba, ingatan perkataan pria tua di kios barang antik terngiang di benak Dino. "Yang kau bayar mungkin lebih dari sekadar uang."
Dino mencoba mengumpulkan keberanian. "Apa... apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara gemetar.
Wanita itu tersenyum menyeramkan, memperlihatkan deretan gigi yang tampak tak alami. "Gitar itu... milikku. Suaraku... terkunci di dalamnya. Selama bertahun-tahun aku mencari... dan kau membebaskannya."
Dino menggelengkan kepala, matanya penuh ketakutan. "Aku... aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa-apa!"
"Terlambat." Suara wanita itu semakin menggema di seluruh ruangan. Ia mengangkat tangannya, dan gitar itu melayang ke udara, berputar-putar di sekitar wanita tersebut. Suaranya menjadi semakin mengerikan, seperti jeritan ribuan jiwa yang tersiksa.
Dino menjerit, mencoba melarikan diri, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Gitar itu tiba-tiba berhenti, dan dengan satu hentakan, senar-senarnya terputus satu per satu, mengeluarkan bunyi nyaring yang membuat telinga Dino terasa perih. Setiap senar yang putus, semakin membuat ruangan itu dipenuhi dengan aura kematian.
Pada detik terakhir, wanita itu melompat ke arah Dino, dan segalanya berubah menjadi gelap.
Keesokan paginya, penduduk setempat menemukan Dino tergeletak di kamarnya. Tubuhnya kaku, dengan mata terbuka lebar seolah-olah telah melihat sesuatu yang begitu mengerikan. Di sudut ruangan, gitar tua itu tergeletak tanpa senar, terlihat seperti barang tak berharga. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Kabar kematian Dino menyebar cepat, namun tak ada yang bisa menjelaskan keanehan di baliknya. Satu-satunya petunjuk yang tersisa adalah gitar tua tersebut—gitar yang tak pernah lagi dipetik, dan kini hanya menjadi benda mati yang menyimpan cerita menyeramkan di balik suaranya yang dahulu memikat.
Bulan-bulan berlalu, dan kios barang antik di sudut jalan tetap buka seperti biasa. Pria tua di balik meja kasir duduk tenang, tersenyum saat seorang pemuda lain masuk ke dalam toko.
"Ada yang menarik perhatianmu, Nak?" tanyanya dengan senyum penuh arti, memperhatikan bagaimana pemuda itu terpaku menatap gitar tua yang tergantung di dinding.