Bima selalu menyukai hujan. Baginya, hujan membawa ketenangan yang sulit ia dapatkan dari hal lain. Saat rintik air jatuh dari langit dan memukul kaca jendela, dunia seolah melambat. Kehidupan di luar menjadi samar, hanya ada suara hujan yang mengisi pikirannya. Dan itu cukup.
Setiap pagi, Bima menjalani rutinitas yang sama. Dia bangun pukul enam, meminum secangkir kopi sambil melihat hujan yang hampir selalu turun di kota kecilnya, lalu pergi bekerja. Pekerjaannya sederhana, menjaga perpustakaan tua di sudut kota yang sepi pengunjung. Tak banyak orang yang datang ke sana. Mungkin karena perpustakaan itu sudah mulai rapuh, dengan cat yang mengelupas dan jendela yang berembun. Atau mungkin karena perkembangan teknologi yang membuat orang lebih memilih membaca dari layar gawai daripada dari halaman buku yang berdebu.
Namun, Bima tak pernah keberatan. Justru dia menyukai kesunyian yang ditawarkan perpustakaan itu. Setiap sudut ruangan menyimpan cerita, buku-buku yang tersusun rapi seperti sahabat lama yang setia menemaninya.
Hari itu tak berbeda. Hujan turun perlahan sejak pagi, membasahi jalanan kota. Bima memasuki perpustakaan, menyalakan lampu kuning temaram yang memberikan kesan hangat meski udara di luar begitu dingin. Dia menghela napas panjang, menikmati aroma buku-buku tua yang menyambutnya seperti biasa. Tak ada suara lain selain detak jam dinding dan sesekali tetesan air dari atap yang bocor.
Sekitar pukul dua siang, ketika Bima sedang merapikan buku-buku di rak belakang, pintu perpustakaan terbuka perlahan. Suara bel kecil di atas pintu berbunyi, menandakan ada seseorang yang masuk. Bima menoleh, melihat siapa yang datang.
Lara, perempuan yang selalu datang pada sore hari, muncul di ambang pintu. Dia mengenakan mantel cokelat dan memegang payung merah yang basah kuyup. Rambutnya sedikit berantakan, tampak terkena hujan meski sudah berusaha terlindungi oleh payung. Seperti biasa, senyum kecil tersungging di bibirnya saat matanya bertemu dengan pandangan Bima.
“Selamat sore,” sapanya lembut.
“Selamat sore,” balas Bima sambil tersenyum.
Lara langsung berjalan menuju rak yang biasa dia kunjungi. Tanpa berkata banyak, dia mengambil beberapa buku dan duduk di pojok ruangan, tepat di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Dari tempat itu, dia bisa melihat hujan yang masih turun tanpa henti.
Bima memperhatikannya dari balik meja kerjanya. Sudah hampir sebulan Lara rutin datang ke perpustakaan, dan entah kenapa, Bima merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali perempuan itu ada di sana. Bukan hanya karena perpustakaan itu terasa lebih hidup, tetapi juga karena kehadirannya membawa suasana yang tenang, seolah hujan di luar dan keheningan di dalam menjadi satu harmoni yang sempurna.
Namun, Bima selalu ragu untuk memulai percakapan. Setiap kali dia berpikir untuk menghampiri dan menanyakan tentang buku yang sedang dibaca Lara, rasa ragu dan canggung melingkupinya. Dia khawatir akan merusak keheningan yang nyaman itu.
Pada sore itu, ketika hujan semakin deras, Bima memutuskan untuk mencoba. Dia merasa ini mungkin kesempatan yang tepat. Mungkin, hujan akan menjadi alasan yang cukup untuk memulai percakapan.
Setelah menunggu beberapa saat, Bima bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan menuju tempat Lara duduk. Perempuan itu sedang membaca buku puisi, sesekali menoleh ke luar jendela, memperhatikan tetesan hujan yang membasahi kaca.
“Hujannya tak berhenti ya?” Bima berkata, suaranya pelan namun cukup untuk menarik perhatian Lara.
Lara menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, sepertinya hari ini lebih deras dari biasanya.”
Bima merasa lega. Setidaknya, Lara menyambut sapaannya dengan ramah. “Kamu sering datang ke sini saat hujan. Suka suasana seperti ini, ya?”
Lara mengangguk. “Aku suka hujan. Ada sesuatu yang menenangkan saat hujan turun. Rasanya seperti semua hal yang ada di luar sana melambat, dan kita diberi waktu untuk berhenti sejenak, merenung.”
Bima merasakan hal yang sama. “Aku juga suka hujan. Rasanya seperti memberikan jeda dari kesibukan yang kadang tak pernah berhenti.”
Lara tersenyum, kali ini lebih lebar. “Benar sekali. Itulah kenapa aku sering datang ke sini. Perpustakaan ini memberikan suasana yang damai, ditambah dengan suara hujan di luar, rasanya sempurna.”
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Bima merasa nyaman berbicara dengan Lara, meskipun baru kali ini mereka berbincang lebih dari sekadar sapaan biasa. Lara bercerita bahwa dia seorang penulis lepas, sering mencari tempat yang tenang untuk mencari inspirasi. Perpustakaan ini, katanya, adalah salah satu tempat favoritnya.
“Aku suka suasana yang tenang seperti ini,” kata Lara sambil menatap rak buku yang berderet rapi. “Rasanya aku bisa mendengar suara buku-buku ini bercerita.”
Bima tertawa kecil. “Mungkin karena mereka memang punya cerita yang ingin dibagikan, hanya saja kita harus siap mendengarnya.”
Lara mengangguk setuju. “Betul. Setiap buku punya cerita, bukan hanya dari isinya, tapi juga dari bagaimana mereka sampai ke rak ini, siapa yang pernah membacanya, dan bagaimana mereka menyentuh kehidupan seseorang.”
Bima terdiam sejenak, merenungi kata-kata Lara. Ada kebenaran yang mendalam dalam ucapan perempuan itu. Selama ini, dia hanya melihat buku-buku sebagai benda mati yang harus dirapikan dan dijaga. Tapi sekarang, dia melihatnya dengan cara yang berbeda, seolah setiap buku adalah penjaga kenangan dan pengalaman hidup banyak orang.
“Kalau kamu boleh tahu,” tanya Bima dengan sedikit ragu, “apa yang sedang kamu tulis sekarang?”
Lara tersenyum simpul. “Aku sedang mencoba menulis novel. Tapi jujur saja, aku masih belum yakin dengan ceritanya. Rasanya ada yang kurang.”
“Kurang bagaimana?” tanya Bima penasaran.
Lara menghela napas pelan. “Aku ingin menulis sesuatu yang punya kedalaman, sesuatu yang bisa menyentuh hati orang-orang. Tapi setiap kali aku menulis, rasanya ceritanya tidak sampai ke sana. Seperti ada sesuatu yang hilang.”
Bima mengangguk. “Mungkin kamu belum menemukan elemen yang tepat. Atau mungkin… kamu belum benar-benar melihat dari sudut pandang yang berbeda.”
“Sudut pandang berbeda?”
“Iya. Kadang, kita terlalu fokus pada satu cara berpikir, padahal ada banyak cara lain untuk melihat suatu cerita. Mungkin kalau kamu mencoba melihatnya dari perspektif baru, ceritanya bisa berkembang lebih jauh.”
Lara terdiam, merenungi kata-kata Bima. “Mungkin kamu benar. Aku terlalu terpaku pada satu cara pandang. Mungkin aku harus mencoba sesuatu yang baru.”
Hujan di luar semakin deras, menambah keintiman percakapan mereka. Waktu terasa berjalan lebih lambat, dan Bima merasa bahwa ini adalah salah satu momen langka di mana dia bisa merasakan kedekatan dengan seseorang. Biasanya, dia adalah orang yang pendiam, tidak banyak berbicara dengan orang lain. Tapi dengan Lara, semua terasa alami, seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Ketika hari mulai gelap dan hujan belum juga berhenti, Bima menyadari bahwa sudah waktunya perpustakaan tutup. Dia berdiri dan berkata, “Sepertinya kita harus menutup perpustakaan.”
Lara melihat ke luar jendela. “Tapi hujannya masih deras. Mungkin aku harus menunggu sebentar.”
“Tak masalah. Kamu bisa menunggu di sini sampai hujannya reda,” kata Bima sambil tersenyum.
Lara mengangguk, tampak lega. Dia melipat tangan di depan dada dan menatap ke arah Bima. “Terima kasih sudah menemaniku hari ini. Aku merasa lebih baik setelah berbicara denganmu.”
“Senang bisa membantu,” jawab Bima.
Mereka berdua duduk di perpustakaan yang sepi, hanya ditemani suara hujan yang masih deras di luar. Waktu berlalu tanpa mereka sadari, dan ketika akhirnya hujan mulai reda, Lara bersiap-siap untuk pulang.
“Terima kasih lagi,” kata Lara sambil merapikan payungnya yang sudah kering. “Aku pasti akan datang lagi.”
Bima tersenyum. “Aku akan menunggumu.”
Dan sejak hari itu, perpustakaan tua di sudut kota itu menjadi tempat yang lebih berarti bagi Bima. Setiap kali Lara datang, mereka akan berbicara tentang banyak hal—tentang buku, kehidupan, dan mimpi-mimpi yang belum tercapai. Mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan, dengan hujan sebagai saksi dari setiap pertemuan mereka.