Langit sore berwarna jingga kemerahan, seolah-olah meneteskan warna dari langit senja. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Sherenata, gadis berusia 16 tahun yang kini duduk sendiri di bangku kayu tua di halaman rumahnya. Rumah itu, yang dulunya penuh dengan tawa, kini terasa sepi dan hampa. Di dalam hati, rasa kangen bergejolak, meremas-remas batinnya hingga sesak.
Sudah tiga tahun sejak kecelakaan itu terjadi. Tiga tahun sejak keluarganya hancur dalam hitungan detik. Sherenata kehilangan papah, mama, dan kakak laki-lakinya, Naskala, dalam kecelakaan mobil yang tragis. Hanya ia yang selamat dari tragedi itu. Dan hingga hari ini, ia masih bertanya-tanya, mengapa ia yang selamat? Kenapa bukan mereka yang masih di sini, bersama?
Sherenata menundukkan kepala, memandangi rerumputan yang bergerak lembut diterpa angin. Hari ini, ulang tahun Naskala yang ke-20. Kakaknya selalu menjadi pelindung dalam hidupnya, sosok yang selalu memastikan ia baik-baik saja, yang selalu ada untuknya. Tapi kini, kakaknya hanyalah kenangan yang tersimpan dalam benak, tak lagi bisa dipeluk atau didengar suaranya.
Di tangannya, ia menggenggam selembar foto keluarga. Foto yang diambil saat mereka berlibur ke pantai dua tahun sebelum kecelakaan itu terjadi. Di dalam foto, papahnya tertawa lebar sambil merangkul mamanya yang tersenyum hangat, sementara Naskala berdiri di samping Sherenata, tersenyum cerah. Semua tampak sempurna kala itu. Tak ada yang tahu bahwa itu akan menjadi salah satu momen terakhir mereka bersama.
Malam itu, setelah kecelakaan, Sherenata terbangun di rumah sakit. Cahaya putih menyilaukan matanya, dan suara monitor detak jantung menggema di ruangan. Ketika ia sadar sepenuhnya, dokter datang dan memberitahukan kabar paling mengerikan dalam hidupnya. "Maaf, keluargamu... mereka tidak selamat." Kalimat itu masih terngiang jelas dalam benaknya hingga saat ini.
Tangannya meremas foto itu erat-erat. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun ia berusaha menahannya. Sudah terlalu banyak air mata yang ia tumpahkan selama tiga tahun terakhir. Ia ingin kuat, seperti yang selalu dikatakan oleh kakaknya. "Jangan pernah menyerah, Sher. Apa pun yang terjadi, kamu harus kuat."
Namun, sulit untuk melupakan mereka. Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada kenangan bersama keluarganya. Dapur di mana mamanya biasa memasak makanan favorit mereka, ruang tamu di mana papahnya suka bercerita tentang masa kecilnya, dan kamar Naskala yang kini selalu tertutup, seolah-olah dengan menutup pintu itu, Sherenata bisa menahan rasa sakit karena kehilangannya.
Malam semakin larut, namun Sherenata masih duduk di bangku itu, menatap bintang yang mulai muncul di langit. “Kak Naskala,” bisiknya pelan, “aku kangen.”
Sherenata tak pernah benar-benar mengungkapkan rasa kangen ini pada siapa pun. Kepada teman-temannya, ia selalu tampak tegar, seolah-olah hidup terus berjalan seperti biasa. Tapi di dalam hatinya, ada lubang besar yang tidak pernah bisa terisi lagi. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu teringat kembali pada saat-saat indah bersama keluarganya. Mereka adalah segalanya baginya, dan sekarang, mereka hilang, lenyap begitu saja.
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, membuat Sherenata merapatkan jaketnya. Ia bangkit perlahan dari bangku, berjalan menuju kamar Naskala. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu yang sudah lama tertutup itu. Udara di dalam kamar terasa lebih dingin, seperti ruang yang sudah lama tidak diisi oleh kehidupan. Sherenata melihat ke sekeliling, semuanya masih sama seperti saat Naskala pergi. Poster-poster band favoritnya masih tertempel di dinding, gitar kesayangannya tergeletak di sudut, dan buku-buku yang ia sukai tertata rapi di rak.
Ia duduk di tepi ranjang Naskala, merasakan kelembutan selimut yang dulu sering digunakan kakaknya. Di atas meja kecil di samping ranjang, ada sebuah jurnal kecil. Jurnal itu adalah milik Naskala, tempat di mana kakaknya menuliskan pikiran dan perasaannya. Sherenata tahu Naskala suka menulis, tapi ia tak pernah benar-benar tahu apa yang ditulis kakaknya di dalam jurnal itu.
Dengan ragu, Sherenata membuka halaman pertama jurnal tersebut. Tulisan tangan naskala yang rapi menyambutnya. Beberapa halaman pertama berisi catatan tentang kehidupan sehari-hari, cerita tentang kuliahnya, teman-temannya, dan rencana-rencananya ke depan. Namun, pada halaman-halaman selanjutnya, Sherenata menemukan sesuatu yang lebih mendalam.
“Kehidupan ini tidak pernah pasti. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk Sherenata. Dia gadis yang kuat, meskipun kadang dia tidak menyadarinya. Aku berharap dia selalu tahu bahwa aku akan selalu ada untuknya, dalam bentuk apa pun. Aku akan selalu menjaga dia, meskipun dari kejauhan.”
Mata Sherenata berkaca-kaca membaca tulisan itu. Naskala selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik, bahkan ketika ia tak lagi di sini. Kata-kata kakaknya terasa seperti pelukan hangat yang ia rindukan. Sherenata menutup jurnal itu perlahan, memeluknya erat ke dada.
“Aku kangen, Kak. Aku kangen sama Papah, Mama, dan kamu,” gumamnya pelan, membiarkan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya mengalir deras di pipinya.
Namun di balik air mata itu, ada perasaan lega. Meskipun mereka tak lagi bersamanya, Sherenata tahu keluarganya selalu ada di sisinya, dalam kenangan, dalam cinta yang tak pernah pudar. Mereka adalah bagian dari dirinya, dan mereka akan selalu hidup di dalam hatinya.
Dengan senyuman kecil yang tersungging di bibirnya, Sherenata bangkit dari tempat tidur. Ia menutup pintu kamar Naskala dengan lembut, seolah berkata selamat tinggal, namun juga selamat datang pada kehidupan baru yang akan ia jalani. Kehidupan yang penuh dengan rasa kangen, namun juga penuh dengan kenangan indah.
Langit malam semakin gelap, bintang-bintang berkelip di angkasa. Sherenata menatap langit untuk terakhir kalinya malam itu. Ia tahu, di suatu tempat di sana, keluarganya sedang melihatnya. Dan meskipun rasa kangen ini tidak pernah benar-benar hilang, ia tahu bahwa mereka selalu bersamanya.
"Sampai jumpa, Papah, Mama, Kak Naskala," bisiknya sebelum masuk ke dalam rumah.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sherenata tidur dengan damai.