Bab 1 Nestapa
Aku berdiri di balik meja bar, mengusap cangkir kopi dengan gerakan pelan. Rasanya sia-sia, karena cangkir itu sudah bersih sejak tadi, tapi aku terus melakukannya mencari pelarian dari kegelisahan yang tak pernah hilang. Suara deru mesin espresso, tawa pelanggan, dan obrolan ringan di kafe ini tak mampu menembus kebisingan di kepalaku. Rasanya semua berlalu begitu saja, tanpa arti.
Sudah delapan bulan sejak aku mengetahui bahwa aku hamil. Delapan bulan sejak aku mengambil alih kafe keluarga yang terancam bangkrut. Orangtuaku menyerah, mereka tak lagi sanggup menghadapi beban ini. Dan aku? Aku tak punya pilihan lain. Dengan bayi di dalam kandunganku, aku mencoba bertahan, menjalankan kafe ini sebaik mungkin meski setiap hari terasa semakin berat. Kafe yang dulu menjadi tempat penuh kenangan manis, kini hanyalah ruang penuh tekanan.
Aku memegang perutku yang semakin membesar, merasakan gerakan lembut dari bayi di dalamnya. Anak ini adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih bertahan. Aku sendirian, tapi aku akan melakukan segalanya untuk melindunginya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Mira, sahabat dan karyawan setiaku di kafe ini, yang selalu tahu kapan aku butuh didampingi.
“Baik,” jawabku pendek, mencoba tersenyum, meski aku tahu senyumku tak sampai ke mataku. “Hanya sedikit lelah.”
Mira menatapku dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Kamu harus istirahat, Anna. Dengan kondisi kamu sekarang, jangan terlalu memaksakan diri.”
Aku mengangguk pelan. “Aku tahu, tapi... kita butuh uang. Aku tak bisa istirahat begitu saja.”
Mira terdiam, tahu bahwa aku tak akan mau mendengar saran lain. Dia selalu ada untukku, tapi ada hal-hal yang tak bisa dia bantu. Tanganku bergetar saat menaruh cangkir di rak, perasaan lelah bukan hanya fisik, tapi juga mental. Rasanya semua ini terlalu berat, tapi aku tak punya pilihan.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka. Angin dingin dari luar menerobos masuk, membuatku menggigil sedikit. Aku mengangkat kepala, mataku terpaku pada sosok yang baru saja masuk. Detik itu juga, dunia serasa berhenti berputar. Sosok yang tak pernah kuharapkan untuk muncul lagi dalam hidupku kini berdiri di depan pintu.
Jefri.
Aku terdiam, napasku tercekat di tenggorokan. Pria itu berjalan masuk dengan langkah penuh percaya diri, seolah tak ada apa-apa. Seolah tak ada yang pernah terjadi di antara kami. Wajah yang pernah kucintai begitu dalam kini menjadi bayang-bayang dari rasa sakit yang belum sembuh. Jefri adalah ayah dari bayi yang sedang kukandung, pria yang pernah mengisi hari-hariku dengan tawa, cinta, dan janji-janji manis.
Tapi kemudian, dia pergi.
Dia meninggalkanku dengan sebuah pesan singkat yang menghancurkan segalanya: “Aku tidak pernah mencintaimu. Kau hanya pelarian sementara.”
Kalimat itu terus terngiang di kepalaku hingga hari ini. Selama berbulan-bulan, aku mencoba melupakan Jefri, membuang kenangan tentangnya, dan fokus pada anak ini. Aku mencoba kuat, tapi kehadirannya di sini membuat segalanya runtuh kembali.
Aku berbalik, berharap bisa kabur sebelum dia menyadari keberadaanku. Namun, terlambat. Tatapan kami bertemu. Matanya yang dulu selalu penuh cinta kini dingin dan tajam, seolah tak ada lagi yang tersisa dari kami.
"Anna," panggilnya, suara rendah dan serak. Dia berjalan mendekat, sementara aku tetap berdiri kaku, tak mampu bergerak.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku dengan suara yang kuusahakan tetap stabil, meski sebenarnya aku gemetar. Hatiku berdebar begitu keras, penuh dengan kemarahan dan rasa sakit yang telah kusimpan selama ini.
“Kita perlu bicara,” katanya.
Aku tertawa pendek, sinis. “Bicara? Setelah apa yang kau lakukan? Apa yang tersisa untuk dibicarakan, Jefri?”
Dia terdiam, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menghela napas. “Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan, tapi aku tidak pernah menulis pesan itu.”
“Jangan bohong,” kataku tajam. “Aku masih ingat dengan jelas kata-katanya. Itu tulisan tanganmu.”
“Bukan, Anna,” katanya dengan nada putus asa. “Itu bukan aku. Aku tak pernah ingin meninggalkanmu begitu saja. Ada masalah yang harus aku selesaikan di Italia, keluargaku”
“Masalah keluargamu?” potongku, nadaku naik. “Itu alasanmu? Kau menghilang begitu saja, Jefri. Kau tinggalkan aku dengan pesan yang menyakitkan, lalu sekarang kau datang dan berharap aku percaya bahwa itu bukan kau?”
Dia tampak gelisah. “Aku menyesal, Anna. Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Kalau aku bisa kembali, aku akan melakukan segalanya dengan berbeda.”
Aku menggeleng, air mata mulai menggenang di mataku. “Terlambat, Jefri. Kau sudah pergi. Kau sudah meninggalkanku. Aku sendirian... hamil dengan anakmu.”
Jefri menatap perutku, untuk pertama kalinya menyadari apa yang terjadi. Matanya melebar, tampak terkejut. “Kau... hamil?”
“Ya,” jawabku, suaraku bergetar. “Anakmu. Delapan bulan, Jefri. Delapan bulan aku harus melalui semua ini sendirian.”
Dia tampak terpukul, wajahnya penuh penyesalan. “Anna... aku tidak tahu...”
“Kau tidak tahu karena kau tak pernah peduli untuk mencari tahu,” kataku lirih. “Kau menghilang, Jefri. Aku sendirian, dan aku harus menjalani semua ini tanpa bantuan siapa pun.”
Jefri mencoba mendekat, tangannya terulur seolah ingin menyentuhku, tapi aku mundur. “Aku di sini sekarang, Anna. Aku ingin bertanggung jawab. Aku akan melakukan apa
saja untukmu dan anak kita.”
Air mataku mengalir, rasa sakit di dadaku semakin dalam. "Terlambat," ucapku pelan. “Terlambat, Jefri. Kau meninggalkanku saat aku paling membutuhkanku. Dan sekarang? Aku tak bisa mempercayaimu lagi.”
Jefri terdiam, tampak terjebak dalam penyesalan yang tak bisa dia perbaiki. “Aku akan melakukan apa saja...”
“Tapi aku tak bisa,” potongku. “Aku tak bisa memaafkanmu. Kau menghancurkanku, Jefri. Setiap hari, aku bangun dengan perasaan takut dan sendirian. Anak ini adalah satu-satunya yang membuatku bertahan. Dan kau… kau sudah tidak ada lagi dalam hidupku.”
Aku berbalik, meninggalkannya berdiri di sana. Aku tak ingin melihat wajahnya lagi, tak ingin mendengar permintaan maafnya yang terlambat. Hatiku terlalu hancur untuk memberikan kesempatan kedua.
Saat aku melangkah keluar dari kafe, air mata semakin deras mengalir. Rasa sakit itu masih menggerogoti hatiku. Tak ada yang bisa menghapus luka yang sudah begitu dalam. Aku harus menghadapi semuanya sendirian dan itu yang akan kulakukan. Aku akan membesarkan anak ini tanpa dia.
Jefri mungkin menyesal, tapi penyesalan tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Bab 2: Kejatuhan
Sudah dua minggu sejak pertemuanku dengan Jefri di kafe itu. Dua minggu penuh dengan kebingungan, kemarahan, dan perasaan yang terus menghantui. Setiap malam aku terjaga, memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan. Apakah aku terlalu keras padanya? Apakah aku seharusnya memberinya kesempatan untuk menjelaskan?
Tapi bagaimana mungkin aku bisa memaafkan seseorang yang meninggalkanku begitu saja? Seseorang yang menyakitiku pada saat aku paling membutuhkan dukungannya? Pikiranku terus berkecamuk, berusaha mencari jawaban yang tak kunjung kutemukan.
Kafe semakin sepi akhir-akhir ini. Mungkin karena aku tak lagi punya energi untuk benar-benar fokus pada pekerjaan. Setiap langkah terasa berat, dan rasa lelah semakin menguasai tubuhku. Perutku semakin membesar, dan bayi di dalamnya tampak semakin tak sabar untuk melihat dunia.
“Kamu baik-baik saja?” Mira bertanya, lagi-lagi dengan nada khawatir. Dia mulai curiga dengan perubahan suasana hatiku yang semakin tidak stabil.
Aku tersenyum samar, berusaha meyakinkannya. “Aku baik, hanya sedikit lelah.”
Mira mengangguk, meski aku tahu dia tidak percaya sepenuhnya. Namun, dia tak menekan lebih jauh. Kami berdua sibuk dengan pekerjaan di kafe, berusaha menjalani hari sebaik mungkin. Tapi aku tahu, di dalam hatiku, ada sesuatu yang salah. Ada perasaan cemas yang terus tumbuh.
Hari itu, kafe terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara di luar semakin dingin, pertanda bahwa musim gugur sudah semakin dekat. Hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi jalanan. Aku memandang ke luar jendela, perasaanku semakin suram seiring dengan turunnya hujan.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka. Angin dingin menyelusup masuk, dan bersamaan dengan itu, Jefri kembali muncul di hadapanku.
Hatiku seakan terjatuh. Rasa sakit yang kutekan selama ini muncul kembali dengan tiba-tiba, menghantamku seperti badai. Aku belum siap untuk bertemu dengannya lagi. Aku belum siap untuk menghadapi kenyataan yang terlalu pahit ini.
"Anna," katanya dengan suara lembut, seperti mencoba meredakan keteganganku. "Aku datang untuk bicara."
Aku terdiam, jantungku berdegup kencang. Tangan-tanganku gemetar, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang mau kau bicarakan, Jefri?”
Dia menghela napas, tampak berat. “Aku ingin kita memperbaiki semuanya. Aku ingin bertanggung jawab. Aku tahu aku membuat kesalahan, tapi aku tidak bisa hidup tanpa tahu bagaimana keadaanmu... bagaimana keadaan anak kita.”
Kata-katanya menghantamku lagi, dan kali ini aku merasa lebih lelah dari sebelumnya. Aku memandang ke arahnya, mencoba mencari sisa-sisa perasaan yang dulu pernah ada. Tapi yang kutemukan hanyalah luka.
“Jefri, aku sudah bilang... aku tidak bisa mempercayaimu lagi,” jawabku, suaraku parau.
Dia melangkah maju, tatapannya penuh permohonan. “Tolong, Anna. Beri aku kesempatan. Aku benar-benar menyesal. Aku ingin ada di sini untukmu dan anak kita. Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.”
Aku merasakan dorongan air mata, tapi aku menahannya. “Kau bilang kau ingin ada di sini sekarang, tapi di mana kau saat aku paling membutuhkanku, Jefri? Di mana kau saat aku hamil sendirian, ketakutan, tanpa tahu harus bagaimana? Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan. Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi?”
Jefri terdiam. Wajahnya penuh rasa bersalah, tapi aku tak bisa membiarkan diriku terjebak dalam penyesalannya. Dia terlalu terlambat. Hatiku sudah terlalu hancur untuk diperbaiki lagi.
“Anna, aku mohon...”
Aku menggeleng, air mata mulai mengalir tanpa bisa kutahan. “Jangan, Jefri. Aku sudah terlalu lelah untuk ini. Aku sudah terlalu lama berusaha bertahan sendirian. Kau tidak tahu bagaimana rasanya...”
Bab 3: Kepedihan yang Tak Terucapkan
Rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba, seolah menyambar dari dalam tubuhku. Aku menggenggam pinggiran meja bar untuk menopang diriku, namun nyeri yang menjalar dari perutku begitu kuat hingga lututku terasa lemas. Bayangan Jefri yang berdiri di hadapanku seolah kabur di antara rasa sakit yang kian memuncak.
“Anna?” Jefri tampak panik, suaranya terdengar jauh meski dia hanya beberapa langkah dariku. Aku ingin menjawab, ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanyalah kontraksi biasa, tapi rasa sakitnya begitu menyiksa.
Aku mencoba menarik napas, tapi itu pun terasa sulit. Udara di sekitarku mendadak terasa berat, dan rasa cemas yang sejak tadi membayangiku berubah menjadi ketakutan murni. Ada yang salah. Sesuatu tidak beres.
“Anna!” Jefri kini berada di sampingku, menahan tubuhku yang hampir terjatuh. Matanya melebar penuh kekhawatiran. Aku tak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya, ketakutan yang sesungguhnya terpancar dari wajahnya, namun aku tidak bisa merasakan apa-apa selain rasa sakit yang menyengat.
“Jefri… ada yang salah,” suaraku bergetar, hampir seperti bisikan. Aku menatapnya dengan tatapan memohon, berharap dia mengerti betapa seriusnya situasi ini. Mataku dipenuhi air mata yang tidak bisa kutahan lagi. “Aku... sakit sekali.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Jefri dengan cepat meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Aku tak mendengar jelas percakapannya, tapi aku tahu dia sedang memanggil ambulans. Suasana di kafe yang tadinya sepi kini terasa seperti neraka pribadi. Setiap detik berjalan seperti mimpi buruk yang perlahan menjadi kenyataan.
Mira bergegas menghampiri kami. Tatapan cemasnya membuatku semakin takut. “Anna, kau harus duduk. Aku akan ambilkan air,” katanya sambil buru-buru menuju dapur.
Sementara itu, Jefri masih menahanku, membisikkan kata-kata yang entah apa. Aku hanya bisa fokus pada rasa sakit yang terus mendera, semakin kuat setiap menitnya. Aku menggenggam perutku, mencoba meredakan ketegangan yang terasa seperti badai dalam tubuhku.
“Aku di sini, Anna. Aku tidak akan pergi,” Jefri berkata pelan, berusaha menenangkan, tapi kata-katanya seperti angin yang berlalu tanpa arti. Terlalu banyak rasa sakit, terlalu banyak hal yang belum terselesaikan di antara kami. Apa pun yang dia katakan sekarang, tidak bisa menghapus semua luka yang dia tinggalkan.
Tak lama kemudian, suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan. Mira berlari kembali dengan segelas air, tapi aku terlalu lemah untuk meneguknya. Tubuhku mulai gemetar, dan rasa sakit yang semakin intens membuatku nyaris tak bisa berpikir jernih lagi.
Saat petugas medis masuk, dunia terasa semakin kabur. Mereka bergerak cepat, berbicara dengan Jefri dan Mira, tapi aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Semua terasa jauh, seperti aku sedang berada di dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Di dalam ambulans, rasa sakit itu semakin tak tertahankan. Nafasku mulai tersengal, dan aku menggenggam tangan Jefri dengan sisa tenaga yang kumiliki. Untuk sesaat, aku tak peduli tentang masa lalu, tentang pengkhianatannya. Saat ini, aku hanya ingin bertahan. Aku hanya ingin selamat, aku dan anakku.
“Bertahan, Anna. Kita akan segera sampai,” suara Jefri terdengar di telingaku, tapi terasa sangat jauh. Matanya menatapku dengan intens, seolah berharap bisa menyalurkan kekuatan melalui genggaman tangan kami. Tapi mataku mulai berat. Kesadaranku mulai memudar.
“Jefri… aku takut…” aku berbisik, nyaris tak terdengar.
Dia mengepalkan tanganku lebih erat, dan air mata mengalir di pipinya. “Jangan bicara seperti itu. Kamu akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.”
Tapi rasa sakit itu tidak hilang. Sebaliknya, semakin kuat hingga tubuhku terasa seperti hancur dari dalam. Rasa takut yang selama ini terpendam muncul ke permukaan. Apakah ini akhirnya? Apakah aku akan kehilangan segalanya?
Ketika kami tiba di rumah sakit, semuanya bergerak cepat. Aku langsung dibawa ke ruang darurat, dan Jefri harus menunggu di luar. Suara-suara di sekitarku terdengar samar, para dokter berbicara dengan nada tegas namun aku tak bisa mengerti apa yang mereka katakan. Tubuhku mulai lemas, rasa sakit itu mulai berganti dengan kelelahan yang luar biasa.
“Bertahan, Anna. Kami akan melakukan yang terbaik,” suara salah satu dokter terdengar dekat di telingaku. Aku hanya bisa mengangguk pelan, berusaha keras untuk tetap sadar.
Tapi tak lama kemudian, semuanya menjadi gelap.
---
Saat aku membuka mata, hal pertama yang kurasakan adalah keheningan. Tidak ada suara mesin, tidak ada suara orang berbicara. Hanya ada keheningan yang dingin dan menusuk.
Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi terasa berat. Tubuhku begitu lemah, seolah setiap ototku kehilangan kekuatannya. Aku berusaha untuk memahami apa yang terjadi, tapi pikiranku masih terasa kabur.
Lalu, aku mendengar suara pintu terbuka. Jefri masuk, wajahnya penuh dengan kesedihan yang tak terkatakan. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, menunjukkan bahwa dia belum tidur selama berjam-jam, mungkin berhari-hari. Dia berjalan pelan mendekatiku, duduk di samping ranjangku.
“A-apa yang terjadi?” tanyaku dengan suara serak. Aku mencoba mencari kejelasan di matanya, tapi hanya menemukan bayangan duka yang mendalam.
Jefri menunduk, menggenggam tanganku dengan lembut. “Anna… maafkan aku. Maafkan aku… semuanya.”
Aku terdiam, dadaku terasa semakin sesak. Sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, dan aku tahu itu. “Anak kita… di mana dia?”
Air mata mulai mengalir di pipi Jefri, dan dia tak mampu menjawab pertanyaanku. Tatapannya penuh dengan rasa sakit yang tak terucapkan, dan itu sudah cukup untuk membuat duniaku runtuh seketika.
“Tidak…” bisikku, kepalaku mulai bergetar. “Tidak mungkin…”
Jefri menggeleng, suaranya pecah ketika akhirnya berbicara. “Anna… dia… dia tidak bisa diselamatkan.”
Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku begitu keras, memutuskan setiap harapan yang tersisa dalam hidupku. Aku terisak, mencoba menolak kenyataan yang baru saja Jefri katakan. "Tidak… ini tidak mungkin. Anak kita… dia…"
Tangisan Jefri semakin keras, dan dia memelukku dengan erat, berusaha menahan kepedihan yang tak mampu lagi dia sembunyikan. Tapi aku? Aku hanya merasa kosong. Rasa sakit di tubuhku yang tadi begitu menyiksa sekarang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehancuran di hatiku.
Aku kehilangan segalanya. Anak kami… satu-satunya alasan aku terus bertahan selama ini… telah pergi.
Dan kini, tak ada lagi yang tersisa.
Aku terbaring di sana, tanpa air mata, tanpa kata-kata. Dunia di sekitarku seolah berhenti. Hanya ada kekosongan yang tak terhingga, meninggalkanku dalam kegelapan yang seakan tak berujung
Bab 4: Ilusi Harapan
Aku memandang wajah kecil yang tertidur di pelukanku. Bayi perempuan yang sangat cantik, dengan rambut lembut yang sedikit ikal dan kulit yang lembut seperti kapas. Namanya Nesha, seperti nama yang kupilih sejak dulu, bahkan sebelum aku tahu apakah bayiku perempuan atau laki-laki. Nesha terlihat begitu damai, seolah dunia di sekitarnya adalah tempat yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan.
Di sampingku, Jefri duduk dengan senyum yang begitu lembut, matanya penuh cinta saat menatapku dan Nesha. Dia menunduk sedikit, membelai rambutku, dan dengan suara penuh kasih berkata, “Aku sangat mencintai kalian berdua. Kamu adalah segalanya bagiku, Anna.”
Aku tersenyum. Hati ini terasa begitu penuh dengan kebahagiaan yang tak bisa kuungkapkan. Semua rasa sakit, semua kesedihan yang pernah ada, seolah lenyap. Dunia kami terasa sempurna, dan aku tak ingin ada yang mengganggunya. Aku menatap Jefri dengan mata yang dipenuhi cinta, dan kami bertiga, aku, Jefri, dan Nesha, terasa seperti keluarga kecil yang sempurna.
“Kita akan selalu bersama, kan?” tanyaku dengan suara lembut, menatap Jefri dengan harapan di mataku.
Dia mengangguk, tersenyum, dan mengulurkan tangannya untuk mengusap pipiku. “Ya, Anna. Selalu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Aku berjanji.”
Nesha mulai menggeliat di pelukanku, dan aku mencium keningnya dengan lembut. Aku ingin menjaga kebahagiaan ini selamanya, ingin tetap dalam momen ini tanpa peduli apa pun di luar sana. Segala sesuatu terasa begitu benar, begitu tenang.
Tapi tiba-tiba, ruangan di sekitar kami terasa aneh. Cahaya yang tadinya hangat dan nyaman mulai memudar, dan suara Jefri terdengar semakin jauh. Aku merasa cemas, tapi aku mencoba mengabaikannya. Aku hanya ingin terus berada di sini, bersama Jefri dan Nesha.
Namun, bayangan itu semakin gelap. Ruangan yang tadi begitu cerah berubah menjadi suram, seperti diselimuti kabut. Nesha, yang tadinya tertidur tenang di pelukanku, mulai memudar. Aku mencoba menggenggamnya lebih erat, tetapi tubuh mungilnya terasa seperti pasir yang perlahan-lahan hilang di antara jariku.
“Tidak! Tidak, Jefri! Nesha!” aku berteriak, panik, mencoba menggapai mereka. Aku menoleh ke arah Jefri, tapi dia juga mulai memudar. Senyum yang tadinya penuh cinta di wajahnya berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Dia menatapku dengan mata yang basah oleh air mata.
“Maafkan aku, Anna… Maafkan aku…” suaranya terdengar parau, hancur oleh rasa bersalah yang tak tertahankan.
Aku merasakan dunia di sekitarku runtuh, seperti segala sesuatu yang kusayangi ditarik dari genggamanku. Suara tawa Nesha yang sebelumnya lembut dan menghangatkan hatiku kini hilang, dan Jefri, yang tadinya bersamaku, juga menghilang dalam bayangan gelap. Aku terjatuh, tenggelam dalam kegelapan yang pekat.
---
Ketika aku membuka mata, semuanya berbeda. Tidak ada lagi cahaya hangat dari matahari yang menyinari wajahku. Tidak ada Jefri di sampingku, dan tidak ada bayi kecil yang tidur dalam pelukanku. Sebaliknya, aku berada di sebuah ruangan putih yang dingin, penuh dengan bau antiseptik. Dindingnya kosong dan suram, dan suara-suara samar terdengar dari kejauhan tawa kecil yang terdengar aneh, derit ranjang, dan langkah kaki yang bergaung.
Aku mencoba duduk, tapi tubuhku terasa lelah dan berat. Ketika aku melihat sekeliling, ada tirai yang menggantung, memisahkan ruanganku dengan sesuatu di luar. Hanya ada satu jendela kecil di dinding yang terbuat dari kaca tebal, dan di baliknya aku bisa melihat langit yang mendung.
Apa yang terjadi? Di mana Jefri? Di mana Nesha?
Aku merasa kebingungan dan ketakutan. Aku mulai memanggil, “Jefri! Nesha!” Tapi tidak ada yang menjawab. Suaraku hanya terpantul di dinding-dinding dingin ini.
Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, dan Jefri masuk. Namun, kali ini dia tidak tersenyum. Matanya bengkak, penuh dengan air mata yang tak bisa lagi dia tahan. Langkahnya berat, dan wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang tak terhingga. Dia duduk di samping tempat tidurku, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunduk, menutup wajahnya dengan tangan, dan mulai menangis.
“Jefri… apa yang terjadi? Di mana Nesha? Apa ini?” aku bertanya, mencoba meraih tangannya, tapi dia tidak bereaksi.
Air mata mengalir dari matanya. “Maafkan aku, Anna… Maafkan aku… Ini semua salahku. Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku tidak bisa menyelamatkan anek kita.”
Aku terdiam. Rasa sakit itu kembali, tapi kali ini bukan dari tubuhku, melainkan dari hati yang hancur, dari kenyataan yang terlalu pahit untuk diterima. Perlahan, ingatanku kembali. Nesha… bayi kami… dia tidak pernah ada di sini. Tidak pernah ada.
Aku tidak pernah melahirkan. Tidak pernah memiliki kesempatan untuk menggendong putriku. Semuanya hanya ilusi. Kenyataan yang hancur itu menyerangku dengan kejam, dan aku tak mampu lagi menahannya.
“Tidak… ini tidak benar. Jefri, ini tidak mungkin…” Aku berbisik, mencoba menyangkal kenyataan yang perlahan-lahan menghisapku ke dalam jurang kegelapan.
Jefri menatapku, matanya penuh air mata. “Anna, kau harus terima.”