Aku laki-laki kuat dan cerdas. Orang-orang sering mengandalkanku untuk membantu mereka saat berada di keadaan sulit. Aku selalu bangga karena hal itu. Tapi orang-orang tidak pernah tahu kalau aku bertahan hidup dengan perempuan yang terang-terangan mencintai laki-laki lain walau sudah punya suami yang bisa diandalkan sepertiku.
Aku laki-laki yang terkenal kuat, tapi itu hanya karena orang-orang tidak melihat kelemahanku. Sebenarnya kadang aku ingin menangis di pelukan seorang wanita yang kucintai dan mencintaiku. Aku ingin mengandalkan seorang wanita dalam keadaan seperti sekarang. Sayangnya aku menikahi perempuan seperti istriku. Aku tergoda dengan kecantikannya. Dulu aku berpikir kalau aku menikah dengan wanita secantik dia aku akan bahagia.
Sekarang aku sadar aku salah. Tapi aku terlanjur tidak bisa memperbaikinya karena bercerai bukanlah sebuah pilihan. Ada anak yang telah di titipkan Allah SWT pada kami dan aku tidak ingin dia jadi korban dari perceraianku dan istriku. Seorang gadis kecil yang selalu menjadi pengobat lelahku saat pulang kerja. Gadis yang sangat ingin kujaga dari kejamnya dunia.
“Papa, Mama pergi kemana, sih? Kok nggak pulang-pulang?”tanya putriku, Yana dengan suara bergetar karena menahan tangis.
Aku mengelus rambutnya, mencoba tersenyum walau hatiku ikut menangis seperti dia. Sudah 2 minggu istriku meninggalkan kami berdua untuk pria yang ia cintai. Mereka berdua kabur entah kemana setelah pria itu bertengkar hebat dengan istrinya. Dari omongan orang-orang aku tahu mereka berdua sering bertemu belakangan ini sebelum kabur berdua. Sepertinya akhir-akhir ini istriku berselingkuh dengan dia.
“Mama ada di suatu tempat, Yana. Dia lagi kerja,”kataku dengan hati tabah. Sepanjang hidupku baru kali ini aku berbohong pada putriku. Rasanya tidak pantas membohonginya karena jika dia tahu kebenarannya ia akan belajar berbohong juga. Kali ini aku benar-benar terpaksa berbohong, karena kejujuranku hanya akan membuat putriku semakin bersedih.
“Kerja apaan, sih, Pa. Kok sampai ninggalin kita?”tanyanya lagi. Air matanya sudah berkumpul di sudut matanya.
“Papa nggak tau, Nak.”
Tangis Yana pecah. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memeluknya.
Dalam hati aku merutuki Vira, istriku karena lebih memilih kebahagiaannya sendiri dari pada keutuhan keluarga kami. Tapi aku juga merasa kalau aku tidak bisa menyalahkannya. Dia jatuh cinta. Apa yang salah dari jatuh cinta?
∞
“Pusing aku, Ton. Anakku jadi sering nangis karena kangen ibunya,”curhatku pada Toni, rekan kerjaku, pada saat kami sedang istirahat siang.
Toni mengulurkan sekaleng kopi padaku. Aku menerimanya dan berusaha memberi Toni senyum terbaikku. Rasanya tidak berhasil. Aku terlalu gundah untuk bisa memberi seseorang seulas senyum. Menyadari hal ini membuatku tertunduk tanpa bisa berkata apa-apa.
“Kamu harus tetap semangat buat anakmu. Kalo kamu tumbang, anakmu nggak punya siapa-siapa lagi buat bergantung,”katanya menasehati.
Aku terkekeh. “Aku nggak sakit fisik karena Vira pergi. Aku cuma patah hati, Ton. Patah hati nggak akan bikin aku tumbang.”
Toni mengedikkan bahu. “Siapa tahu fisikmu ikut drop. Aku cuma ngasih saran.”
“Makasih buat sarannya. Kalo ada apa-apa sama aku, aku bisa percayain Yana sama kamu, kan?”
Toni terlihat khawatir. “Jangan ngomong seolah-olah kamu bakalan pergi. Kamu berencana bunuh diri?”
Aku terbahak. “Maksudku kalo aku sakit gara-gara masalah ini. Bukannya mau bunuh diri.”
Toni mendengus. “Kirain,”katanya, terdengar lega.
∞
Saat aku pulang, Yana sedang tidur di sofa dengan Mamaku di sampingnya. Mamaku tersenyum tapi matanya memancarkan kesedihan. Aku balas tersenyum. Aku tidak menyangka akan melihat Mamaku berkunjung ke rumahku hari ini. Aku tidak tahu apa yang membuat Mama datang. “Apa kabar, Ma?”tanyaku dengan nada tenang.
“Mama baik-baik aja. Kayaknya kamu yang nggak baik-baik aja.”
“Bagian mananya?”tanyaku lelah. Bukan Mama orang yang pertama berkata begitu. Rekan kerjaku akhir-akhir ini sering mengatakan hal yang mirip. Bahkan lebih kasar dari pernyataan halus Mama.
“Kenapa kamu nggak bilang kalo istri kamu kabur?”tanya Mama tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aku nggak mau bikin Mama pusing karena mikirin Vira. Dia nggak betah jadi istriku, jadi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak ada gunanya maksa dia tetap sama aku. Aku nggak bisa bikin dia cinta sama aku, jadi buat apa lagi dipertahanin?”kataku, berharap Mama menyetujui pandapatku.
“Mama nggak bisa bilang nyesel ngejodohin kamu sama dia. Mama bahagia punya Yana sebagai cucu. Maaafin Mama karena nggak bisa nyesel,”katanya lembut.
Aku cuma bisa tersenyum. Sebuah senyum yang terasa hambar bagiku sendiri. “Vira itu menantu kesayangan Mama, kan. Nggak mungkin Mama nyesel ngejodohin aku sama dia,” kataku setengah menyindir.
Mama menatapku dengan wajah yang menyiratkan kalau ia tidak terima dengan omonganku. “Dulu kan kamu yang ngebet mau sama dia. Mama cuma nawarin perempuan yang Mama kira pantas sama kamu. Mama nggak pernah maksa kamu sama Vira.”
Aku mendesah, malas sekali rasanya membahas masa lalu. Kami hanya bisa menyalah-nyalahkan satu sama lain tanpa bisa menyelesaikan masalah. “Udah lah,”kataku pasrah.
“Kamu yang mulai,”kata Mama dengan nada menuduh yang terkesan kekanak-kanakan sekali.
“Terserah,”kataku. Mama cuma bisa diam, membuatku merasa menang dalam perdebatan kali ini.
∞
Vira pulang, diantar 2 orang polisi berseragam lengkap. Wajahnya terlihat kelelahan dan juga lecek. Ada lebam di sudut bibirnya. Ia tidak berani menatap wajahku dan terus-terusan meremas telapak tangannya.
“Selamat malam. Kami dari kepolisian mengantar istri anda,”kata seorang polisi.
“Dari mana aja kamu Vira?”tanyaku, mengabaikan polisi di depanku.
Air mata bergulir di pipi Vira. Ekspresinya menunjukkan kalau ia pasrah menerima apa pun yang akan terjadi. “Aku salah. Maaf,”katanya.
Aku tertawa. “Kamu berharap aku mau terima maaf kamu?”tanyaku tanpa bisa menyembunyikan kemarahanku. “Nggak. Kamu nggak punya tempat lagi di rumah ini. Pergi!”
Tanpa kuduga, Vira menangis keras. “Aku nggak punya tempat pulang lagi selain rumah ini,”katanya sambil terisak.
Hati nuraniku terusik mendengar tangisannya. Aku menatap polisi yang berada di belakang Vira. “Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?”tanyaku pada salah seorang polisi yang ada tepat di belakang Vira.
“Istri anda di jual oleh seorang laki-laki yang menipunya ke negara tetangga. Kami menemukan dia saat akan di kirim ke luar negeri. Untungnya kami menemukannya. Kondisi psikologi istri anda agak terguncang. Mohon di pahami,”jelas polisi itu.
“Ini semua salah Mamaku. Dia yang nyuruh aku bertemu mantanku,”katanya dengan suara bergetar. “Aku minta maaf, Bang. Semua ini bukan salahku sepenuhnya.”
Vira terlihat kacau sekali, membuatku merasa iba. Aku memeluknya, berharap pelukanku bisa membuatnya tenang. Vira menangis terisak-isak di pelukanku. “Tenang aja. Sekarang kamu sudah aman.”
Para polisi pamit, lalu aku membawa Vira masuk. Aku dan Vira duduk di ruang makan setelah aku menyeduh teh untuk kami berdua. Vira bercerita tentang semuanya. Tentang dia yang sudah tidak mencintai laki-laki itu lagi dan tentang bagaimana ketulusanku berhasil membuatnya mencintaiku dengan hatinya. Malam itu, pertama kalinya dalam kehidupan pernikahan kami Vira bisa bercerita sebanyak itu. Aku juga lega karena akhirnya istriku membuang laki-laki dari masa lalunya.
Mungkin kejadian ini adalah jawaban dari Allah atas harapan dan doa-doa-ku.
~Selesai~