Di sekolah SMA Jaya Bangsa, kehidupan siswa-siswinya tak jauh berbeda dari sekolah-sekolah lain. Ada kegembiraan, kecemasan akan ujian, dan tentu saja, drama remaja yang tak pernah berakhir. Salah satu siswa yang tengah berada di pusat perhatian adalah Nisa, seorang siswi kelas 11 yang dikenal cerdas dan penuh potensi. Namun, di balik citranya sebagai murid berprestasi, Nisa sedang menghadapi masalah yang jauh lebih besar dari sekadar pelajaran.
Semua dimulai dari sebuah pilihan kecil. Saat itu, di awal semester baru, Nisa diberi kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri. Ini adalah kesempatan emas yang sangat jarang didapatkan. Bagi Nisa, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Namun, ada satu hal yang mengganjal—dalam program ini, Nisa harus meninggalkan sahabat-sahabatnya dan, yang paling penting, Ibunya yang sedang sakit.
•••
"Jadi, kamu akan ambil tawaran itu?" tanya Adi, sahabat Nisa, saat mereka sedang duduk di kantin. Udara siang itu cukup panas, tapi kantin tetap ramai dengan siswa-siswi yang sibuk menikmati istirahat makan siang mereka.
Nisa mengangkat bahu, menggigit sandwich yang ada di tangannya. "Aku belum tahu, Di. Maksudku, ini kesempatan yang bagus, tapi aku nggak yakin."
Adi menatapnya dengan alis terangkat. "Nggak yakin? Kamu udah dari dulu pengen belajar di luar negeri, kan? Ini kesempatan yang mungkin nggak akan datang dua kali."
"Aku tahu. Tapi... Ibu. Dia sedang sakit, dan aku nggak yakin ini waktu yang tepat buat ninggalin dia."
Adi terdiam sejenak. Ia tahu betul kondisi ibu Nisa yang semakin hari semakin memburuk. Kanker yang dideritanya membuat Nisa terikat tanggung jawab besar di rumah. Meskipun ada ayah dan saudara Nisa yang juga membantu, Nisa merasa dirinya lah yang harus selalu ada di sisi ibunya. Apalagi, mereka sudah sangat dekat sejak dulu, sejak ayahnya sering pergi untuk bekerja di luar kota.
"Kamu bisa bicara sama Ibu tentang ini, kan? Mungkin dia bakal ngertiin," saran Adi dengan suara pelan.
Nisa menghela napas panjang. "Ibu selalu bilang aku harus ngejar mimpi-mimpi aku. Tapi kalau aku pergi dan sesuatu terjadi sama dia... Aku nggak tahu, Di. Aku nggak mau nyesel di kemudian hari."
Adi terdiam. Ia ingin memberi saran, tapi ia juga tahu betapa sulitnya posisi Nisa saat ini. Tak ada jawaban mudah.
•••
Sore itu, sepulang sekolah, Nisa memutuskan untuk mengunjungi ibunya di rumah sakit. Ruangan rumah sakit selalu membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Ibunya, meskipun terlihat lemah di tempat tidur, tetap tersenyum ketika melihat Nisa datang.
"Sudah pulang, Nak?" tanya ibunya dengan suara lembut.
Nisa mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang menghantui pikirannya. "Ibu, ada hal yang mau aku omongin."
Ibunya menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Apa itu, sayang?"
Nisa menarik napas dalam-dalam. "Aku dapat tawaran untuk ikut program pertukaran pelajar ke luar negeri. Ini kesempatan yang bagus, tapi... aku nggak yakin apa aku harus pergi atau nggak."
Ibunya terdiam sebentar, lalu tersenyum hangat. "Nak, aku tahu betapa kerasnya kamu bekerja untuk mencapai impianmu. Ibu selalu ingin kamu melakukan yang terbaik untuk masa depanmu. Kalau ini yang kamu inginkan, Ibu akan selalu mendukungmu."
"Tapi, Bu... bagaimana kalau sesuatu terjadi selama aku pergi? Aku nggak mau meninggalkan Ibu saat seperti ini."
Ibunya menggenggam tangan Nisa, meskipun tangannya lemah. "Kamu tahu, Nak, hidup itu penuh dengan ketidakpastian. Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Tapi yang pasti, kamu tidak boleh hidup dalam ketakutan akan hal-hal yang mungkin tidak pernah terjadi. Ibu akan baik-baik saja."
Meskipun kata-kata ibunya terdengar meyakinkan, hati Nisa tetap dipenuhi keraguan. Ia tahu betapa beratnya penyakit ibunya, dan meskipun ibunya selalu mencoba terlihat kuat, Nisa bisa merasakan ketakutan yang terselip di balik senyuman itu.
•••
Hari-hari berlalu, dan keputusan Nisa semakin mendesak. Program pertukaran pelajar akan segera dimulai, dan Nisa harus segera memberikan jawabannya. Setiap kali ia berbicara dengan teman-temannya, semuanya mendukungnya untuk pergi. Bahkan Adi, yang pada awalnya ragu, sekarang justru mendorongnya untuk mengambil kesempatan ini.
"Ini kesempatan langka, Nis. Kamu nggak bisa terus-terusan hidup dengan rasa takut. Kamu harus percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja," kata Adi suatu hari saat mereka sedang belajar bersama di perpustakaan.
Nisa hanya bisa mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia masih merasa bimbang. Apakah ia egois jika pergi dan mengejar mimpinya? Apakah ia akan menyesal jika sesuatu terjadi pada ibunya saat ia tidak ada di sisinya?
Pada malam sebelum ia harus memberikan keputusan akhir, Nisa duduk di kamar, menatap jendela yang memperlihatkan langit malam yang penuh bintang. Di luar, dunia tampak tenang, tapi di dalam dirinya, badai besar sedang berkecamuk.
"Ibu," bisik Nisa kepada dirinya sendiri, "apa aku egois kalau aku memilih untuk pergi?"
Telepon di samping tempat tidur Nisa berbunyi, memecah keheningan. Itu adalah Adi.
"Nis, besok adalah hari besar. Gimana perasaanmu?"
Nisa tersenyum samar. "Masih bingung, Di."
"Aku ngerti. Tapi apapun yang kamu pilih, aku yakin itu adalah keputusan terbaik buat kamu."
Setelah mengakhiri telepon dengan Adi, Nisa duduk di depan meja belajarnya. Di depannya, ada dua surat: satu adalah formulir yang harus diisi untuk menerima tawaran program pertukaran pelajar, dan yang lainnya adalah surat dari rumah sakit yang menjelaskan perkembangan terbaru kondisi ibunya.
Nisa menatap kedua surat itu selama beberapa saat, lalu dengan tangan gemetar, ia mengambil pena. Detik itu, ia tahu bahwa hidupnya akan berubah, apa pun keputusannya.
•••
Keesokan harinya, di sekolah, Nisa menemui konselor program pertukaran pelajar. Hatinya berdebar-debar saat ia memberikan formulir yang telah ia isi. Di dalam ruangan itu, Nisa membuat keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Setelah menandatangani formulir, ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Keputusan ini akan membawanya ke jalan yang baru—jalan yang penuh tantangan, tetapi juga peluang.
"Terima kasih, Nisa. Kami akan mengurus semua persiapan. Selamat atas keputusanmu," kata konselor dengan senyum lebar.
Nisa mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, keputusan ini adalah langkah pertama menuju masa depannya. Namun, ia juga tahu bahwa perpisahan dengan orang-orang yang ia cintai akan menjadi ujian yang sangat berat.
•••
Dua minggu kemudian, Nisa berada di bandara. Ia akan terbang ke negara yang jauh, meninggalkan keluarga, sahabat, dan tentu saja ibunya. Sebelum berangkat, Nisa memeluk ibunya erat-erat di ruang tunggu.
"Ibu selalu bangga padamu, sayang," bisik ibunya sambil menahan air mata. "Jadilah yang terbaik."
Nisa mengangguk, mencoba menahan air matanya. "Aku akan selalu ingat pesan Ibu."
Saat pesawat lepas landas, Nisa menatap keluar jendela, melihat kota tempat ia dibesarkan semakin mengecil di kejauhan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang panjang—perjalanan yang akan membentuk siapa dirinya di masa depan. Namun, ia juga menyadari bahwa setiap pilihan yang ia buat akan membawa konsekuensi. Sekarang, ia hanya bisa berharap bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat.
***
Tamat.