Panggung itu terlihat megah dari kejauhan. Lampu sorot menyinari setiap sudut, menciptakan bayangan dramatis yang membingkai para pemain di atas panggung. Penonton bersorak, memenuhi seluruh aula konser dengan tepuk tangan yang menggema. Mereka tidak tahu, bahwa di balik tawa dan senyum yang ditampilkan para selebriti di atas panggung, ada cerita yang jauh lebih gelap dan rumit—cerita tentang tekanan, ambisi, dan pengorbanan di dunia hiburan yang penuh gemerlap.
Satu di antara mereka yang berdiri di atas panggung malam itu adalah Reina, seorang penyanyi muda yang baru beberapa tahun terakhir meniti karir di dunia musik. Di usianya yang masih 23 tahun, Reina sudah menjadi salah satu bintang yang paling bersinar di industri hiburan. Suaranya yang merdu dan penampilannya yang anggun telah menarik jutaan penggemar, dan setiap lagu yang ia rilis selalu menduduki puncak tangga lagu. Namun, apa yang dilihat orang di luar hanyalah separuh dari kenyataan.
Malam itu, Reina menyelesaikan penampilannya dengan sempurna. Ia membungkukkan badan, mengucapkan terima kasih kepada penonton, dan berjalan ke belakang panggung. Saat pintu menutup di belakangnya, sorakan dan tepuk tangan berubah menjadi keheningan yang pekat. Reina menghela napas panjang, melepaskan senyum palsu yang selama ini ia pertahankan.
"Bagus sekali, Reina! Kau benar-benar menguasai panggung!" ucap manajernya, Riko, dengan senyum lebar.
Reina mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, ia merasa jauh dari kata bahagia. Di belakang gemerlap lampu panggung, Reina telah kehilangan banyak hal yang tak bisa dikembalikan. Dunia hiburan yang penuh persaingan dan ambisi telah mengubah dirinya menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri sulit untuk dikenali.
•••
Tiga tahun yang lalu, ketika Reina pertama kali memasuki dunia hiburan, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dia baru saja lulus dari sekolah seni, dan dengan suaranya yang unik, ia berhasil menarik perhatian seorang produser besar. Ia diberi kesempatan untuk merekam lagu dan debut sebagai penyanyi solo. Popularitasnya langsung melejit. Namun, seiring waktu, Reina mulai merasakan bahwa dunia yang dulu ia impikan ternyata tidak seindah yang dibayangkan.
Hari-harinya dipenuhi dengan jadwal padat yang menguras tenaga dan emosi. Setiap langkah yang ia ambil diawasi oleh media, dan setiap gerakan diatur oleh tim manajemennya. Ia tidak bisa lagi menikmati hal-hal sederhana seperti pergi ke taman atau menikmati kopi di kafe favoritnya tanpa harus khawatir akan diburu oleh paparazzi. Kebebasannya hilang, dan hidupnya terasa seperti boneka yang diatur oleh benang-benang tak terlihat.
"Reina, kamu harus lebih hati-hati dengan cara kamu berbicara di depan media," kata Riko suatu hari setelah sebuah wawancara. "Mereka selalu mencari celah untuk menjatuhkanmu. Ingat, image itu segalanya."
Reina hanya mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia merasa muak. Ia tidak bisa lagi menjadi dirinya sendiri. Setiap kata, setiap ekspresi, semuanya harus diperhitungkan dengan cermat agar tidak memberikan kesan yang salah kepada publik. Ia tidak lagi tahu mana yang benar-benar dirinya dan mana yang hanya sebuah topeng yang ia kenakan untuk bertahan di dunia yang penuh kepalsuan ini.
Namun, yang paling menyakitkan bagi Reina adalah hubungannya dengan keluarga dan teman-teman lama yang semakin menjauh. Sebagai seorang selebriti, ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengaku sebagai teman, tetapi di balik senyum mereka, Reina tahu ada ambisi dan niat tersembunyi. Dunia hiburan tidak pernah benar-benar tulus, dan Reina merasa semakin kesepian meskipun selalu dikelilingi oleh banyak orang.
Salah satu momen terburuk dalam hidup Reina terjadi ketika ibunya meninggal dunia. Saat itu, Reina sedang berada di tengah tur nasional yang besar. Ketika kabar itu sampai padanya, ia ingin segera pulang dan berada di sisi keluarganya. Namun, manajemennya mengatakan bahwa ia tidak bisa membatalkan tur yang sudah dijadwalkan berbulan-bulan sebelumnya. Mereka meyakinkan Reina bahwa "ini adalah bagian dari profesionalisme" dan bahwa penggemarnya akan kecewa jika ia membatalkan konser.
Reina tahu dalam hatinya bahwa ia tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak ada di sana saat ibunya pergi. Namun, ia terpaksa menahan air matanya dan naik ke panggung, menyanyikan lagu-lagu ceria seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ketika konser berakhir, ia berlari ke belakang panggung dan menangis sendirian di ruang ganti, merasakan kekosongan yang begitu besar di hatinya.
•••
Hari demi hari berlalu, dan Reina semakin terjebak dalam rutinitas yang menghancurkan jiwanya. Lagu-lagu yang dulu ia nyanyikan dengan penuh cinta kini terasa hambar dan kosong. Ia menyadari bahwa semua yang ia lakukan hanya untuk memenuhi harapan orang lain—manajemennya, penggemarnya, media—tetapi tidak ada yang benar-benar untuk dirinya sendiri.
Satu-satunya pelarian Reina dari semua tekanan itu adalah Dimas, seorang penulis lagu yang bekerja dengannya sejak awal kariernya. Dimas adalah satu-satunya orang yang tidak pernah memperlakukan Reina sebagai bintang, melainkan sebagai teman. Mereka sering berbicara panjang lebar tentang mimpi-mimpi mereka, tentang dunia yang ingin mereka ciptakan melalui musik, jauh sebelum Reina tenggelam dalam gemerlap dunia hiburan.
Namun, bahkan hubungan dengan Dimas pun tidak bisa bertahan dari tekanan dunia hiburan. Suatu hari, setelah salah satu sesi rekaman, Dimas mendekati Reina dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Reina, aku tahu kau sedang mengalami banyak hal. Kau terlihat lelah," kata Dimas dengan lembut.
Reina tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Dimas. Ini hanya sementara. Nanti pasti akan lebih baik."
Tapi Dimas menggeleng. "Tidak, Reina. Kau sudah terlalu lama berusaha menjadi orang lain. Aku bisa melihat itu. Ini bukan lagi tentang musik. Ini tentang bertahan hidup di dunia yang tidak peduli padamu."
Kata-kata Dimas menusuk hati Reina. Ia tahu bahwa Dimas benar. Musik, yang dulu menjadi pelarian dan cintanya, sekarang hanya menjadi alat untuk mempertahankan popularitas dan memenuhi ekspektasi. Namun, Reina tidak tahu bagaimana caranya keluar dari jebakan ini. Semua yang ia miliki sekarang—ketenaran, uang, dan status—adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkannya begitu saja?
"Apa yang harus aku lakukan, Dimas?" suara Reina terdengar patah.
Dimas menatapnya dengan penuh simpati. "Hanya kau yang bisa memutuskan, Reina. Tapi ingat, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menjadi seseorang yang bukan dirimu."
•••
Waktu berlalu, dan Reina semakin merasa tertekan oleh dunia yang selama ini ia huni. Setelah pembicaraannya dengan Dimas, ia mulai memikirkan segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia tidak bisa terus hidup untuk orang lain, menampilkan citra yang sempurna sementara hatinya hancur berkeping-keping.
Pada suatu malam, setelah menyelesaikan konser yang lain, Reina membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Ia berjalan ke ruang ganti, melepaskan gaun gemerlap yang ia kenakan, dan memandang dirinya sendiri di cermin. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia melihat seorang perempuan muda yang lelah dan hancur, tetapi juga seorang perempuan yang berani.
Dengan tangan gemetar, Reina mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Riko, manajernya. "Aku berhenti. Mulai hari ini, aku tidak lagi menjadi boneka kalian."
Reina menekan tombol kirim, dan sebuah beban besar terasa terangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa keputusannya akan mengundang kontroversi besar, dan media pasti akan mengejar-ngejarnya. Namun, untuk pertama kalinya, Reina tidak peduli. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan barunya—sebuah perjalanan yang tidak lagi ditentukan oleh sorotan lampu atau suara penonton, tetapi oleh dirinya sendiri.
Malam itu, Reina berjalan keluar dari gedung konser dengan langkah yang ringan, meninggalkan gemerlap panggung di belakangnya, dan menuju kehidupan yang benar-benar miliknya.
***
Tamat.