Darah di ujung jarinya masih terasa hangat ketika Dara melepaskan genggaman terakhirnya dari pisau kecil yang ia sembunyikan di balik jaket. Malam sudah jatuh, menyelimuti kota kecil itu dengan kegelapan pekat. Hujan turun deras, seolah membersihkan jalanan yang sunyi, tapi tidak bisa menghapus noda yang tertinggal di hati Dara. Ini adalah akhir dari perjalanan panjangnya—sebuah perjalanan yang dipenuhi oleh luka, penyesalan, dan keinginan membara untuk membalaskan dendam yang telah ia simpan selama bertahun-tahun.
Dua tahun lalu, hidup Dara tampak sempurna. Ia adalah seorang mahasiswi yang cerdas dan memiliki masa depan cerah di hadapannya. Namun, semuanya hancur dalam semalam. Malam itu, ia dan adiknya, Ayu, baru pulang dari sebuah acara keluarga. Keduanya menaiki taksi untuk pulang, tanpa menyadari bahwa mereka akan terjebak dalam mimpi buruk yang akan mengubah hidup Dara selamanya.
Sopir taksi itu, seorang pria dengan wajah licik yang namanya bahkan Dara tidak pernah tahu, menghentikan mobil di sebuah jalanan sepi. Tanpa peringatan, ia menyerang mereka berdua. Dara berhasil melarikan diri setelah terkena pukulan di kepala, tetapi Ayu, yang saat itu baru berusia 17 tahun, tidak seberuntung itu. Ketika Dara akhirnya berhasil mendapatkan bantuan, ia menemukan Ayu sudah tak bernyawa, tubuhnya penuh luka dan trauma yang tidak terbayangkan.
Sejak saat itu, Dara hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Meskipun polisi mencoba menyelidiki kasus itu, si pelaku berhasil lolos begitu saja, seakan menguap tanpa jejak. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menangkapnya, dan kasus tersebut perlahan ditinggalkan begitu saja oleh pihak berwajib. Namun, bagi Dara, luka di hatinya tidak pernah sembuh. Setiap hari, ia dihantui oleh bayangan Ayu, oleh ketidakberdayaannya, dan oleh pria yang merenggut nyawa adiknya.
Selama berbulan-bulan, Dara mencoba mencari cara untuk melanjutkan hidup, tetapi setiap langkah yang diambil terasa berat. Ia tidak bisa fokus pada studinya, tidak bisa tidur di malam hari tanpa mimpi buruk yang menyakitkan, dan tidak bisa melepaskan pikiran tentang pembalasan dendam. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian adalah dengan mencari keadilan—keadilan yang gagal diberikan oleh hukum.
Dara mulai mencari pria itu sendiri. Ia mendatangi setiap tempat yang mungkin dikunjungi si pelaku, menggali informasi dari dunia bawah tanah, menghubungi orang-orang yang berurusan dengan kriminalitas, apa pun yang bisa memberinya petunjuk. Setiap malam, ia merasakan kepedihan yang semakin tajam, membuatnya semakin keras dan dingin, seperti baja yang ditempa oleh api.
Hingga suatu malam, setelah berbulan-bulan penelusuran tanpa hasil, Dara menemukan sesuatu. Seorang kenalannya di dunia bawah memberitahunya tentang seorang pria yang mirip dengan deskripsi pelaku, yang sekarang tinggal di sebuah daerah terpencil di pinggiran kota, bersembunyi di balik identitas palsu. Pria itu tampaknya menjalani hidup baru, bebas dari dosa-dosa masa lalunya. Informasi itu seperti bara api yang meledak di dalam diri Dara. Ia tidak bisa membiarkan pria itu hidup tanpa mendapat balasan atas apa yang telah ia lakukan pada Ayu.
Dara mempersiapkan rencana dengan hati-hati. Ia tahu bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan. Pria itu harus membayar, dan ia akan menjadi algojonya. Dalam pikirannya, tidak ada lagi kata maaf, tidak ada lagi belas kasihan. Apa yang pria itu lakukan tidak bisa dimaafkan, dan keadilan harus ditegakkan, bahkan jika itu berarti Dara harus mengotori tangannya sendiri.
•••
Malam itu, Dara berdiri di depan pintu rumah sederhana di ujung jalan yang gelap. Rumah itu tampak sepi, tidak ada cahaya yang keluar dari jendelanya. Dara menarik napas dalam-dalam, merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang sudah lama ia pendam. Ia memegang pisau kecil di balik jaketnya, merasa beratnya seolah menyatu dengan hatinya yang dipenuhi oleh rasa dendam.
Dara mengetuk pintu, tiga kali, seperti yang direncanakan. Tidak ada jawaban pada awalnya, tetapi ia tidak menyerah. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Pintu terbuka, dan di hadapannya berdirilah pria itu—pria yang selama ini mengisi setiap mimpi buruk Dara. Meski terlihat lebih tua dari yang ia ingat, wajah itu masih sama. Mata yang dingin, senyum licik yang tidak pernah terlupakan.
Pria itu tampak terkejut melihatnya. "Siapa kamu?" tanyanya, suaranya kasar dan penuh kecurigaan.
Dara menahan amarah yang meluap-luap di dalam dirinya. "Apakah kamu ingat aku?" suaranya tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Pria itu mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Tidak, aku tidak mengenalmu. Apa yang kamu inginkan?"
Dara tersenyum dingin. "Kamu tidak mengenaliku, tapi aku mengenalmu. Dua tahun lalu, malam di jalan sepi. Taksi. Adikku."
Wajah pria itu berubah seketika. Dari tatapan bingung menjadi ketakutan yang dalam. Ia mundur beberapa langkah, sadar bahwa bayangan masa lalunya kini kembali menghantuinya. "Itu... itu kecelakaan... aku tidak—"
"Tidak!" Dara memotongnya, suaranya tajam. "Kamu tahu persis apa yang kamu lakukan. Dan sekarang, saatnya kamu membayar."
Sebelum pria itu sempat melarikan diri, Dara menarik pisau dari balik jaketnya dan menyerang. Pria itu mencoba melawan, tetapi Dara sudah siap. Semua pelatihan yang ia lakukan selama berbulan-bulan membuahkan hasil. Pisau itu mengenai targetnya dengan presisi. Darah mengalir, melumuri lantai kayu di bawah mereka. Pria itu terjatuh, matanya membelalak, tubuhnya mengejang.
Namun, di saat terakhirnya, pria itu hanya tertawa pelan. "Kamu pikir ini akan mengubah sesuatu? Kamu sudah terlambat... semuanya sudah selesai untukmu juga..."
Dara terpaku. Tawa pria itu terdengar nyaring di tengah kesunyian malam. "Apa maksudmu?" teriaknya, mengguncang tubuh pria yang sekarat itu, berharap ada penjelasan.
Tapi jawabannya tak pernah datang. Pria itu tersenyum dingin, sebelum napas terakhirnya habis.
Dara berdiri di sana, terengah-engah, darah pria itu masih di tangannya. Dia merasa hampa. Dendam yang selama ini ia bawa seolah menguap bersama hilangnya nyawa pria itu. Namun, kata-kata terakhir pria itu terus menggema di benaknya. Apa yang dia maksud? Apa yang sudah terlambat?
Saat Dara berbalik untuk pergi, dia merasakan dingin yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya. Di luar, hujan semakin deras. Kilatan petir menerangi malam, dan Dara melihat bayangan seorang gadis kecil berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip. Dara membeku. Itu adalah Ayu—atau setidaknya, bayangan dari Ayu, menatapnya dengan tatapan hampa.
Dan di saat itu, Dara menyadari bahwa balas dendamnya tidak pernah bisa mengembalikan apa yang sudah hilang.
***
Tamat