Fajar baru saja menyingsing di kota kecil itu ketika Radit terbangun dengan rasa asing yang menyelimuti pikirannya. Tidak ada yang aneh di sekitar—kamarnya masih sama, alarm berbunyi seperti biasa, dan suara kendaraan di jalan terdengar seperti hari-hari sebelumnya. Namun, ada sesuatu yang sangat berbeda di kepalanya, meski ia tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.
Radit adalah seorang mahasiswa Fisika yang selalu tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan realitas, ruang, dan waktu. Malam sebelumnya, ia tertidur di tengah membaca artikel ilmiah tentang teori multiverse dan dimensi paralel. Namun, perasaan yang ia alami pagi ini bukan hanya tentang sekadar membaca teori. Ini lebih seperti ia baru saja mengalami atau menyadari sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahamannya.
Ketika ia bangun dan bersiap untuk kuliah, bayangan-bayangan aneh melintas di benaknya—gambar-gambar kabur tentang tempat-tempat yang tidak pernah ia kunjungi, tetapi terasa sangat akrab. Seperti sebuah mimpi yang terus menerus mengintai di batas ingatannya, siap menerobos kapan saja. Sesampainya di kampus, suasana semakin aneh. Bukan karena hal-hal yang berbeda secara kasat mata, tetapi justru karena semuanya tampak terlalu sempurna, terlalu teratur. Teman-temannya tersenyum dan menyapa seperti biasa, namun ada sesuatu yang membuat Radit merasa mereka tidak benar-benar 'nyata.'
Di ruang kelas, Profesor Anwar sedang memberikan kuliah tentang teori relativitas umum. Ini seharusnya menjadi rutinitas biasa bagi Radit, tetapi hari ini, ia tidak bisa fokus. Setiap kata yang keluar dari mulut profesornya terasa menggema dalam pikirannya, seolah-olah ada pesan tersembunyi di balik setiap kalimat.
"Sekarang, jika kita berbicara tentang kemungkinan dimensi keempat atau kelima, di mana waktu bukanlah satu-satunya variabel, melainkan ada juga ruang lain yang belum bisa kita jangkau, apa yang kita anggap sebagai 'realitas' mungkin hanya salah satu dari banyak lapisan," kata Profesor Anwar sambil menunjuk diagram rumit di papan tulis.
Radit tertegun. Tiba-tiba, seluruh ruangan terasa berubah. Suara profesor memudar, dan dia merasakan sesuatu menariknya keluar dari tubuhnya sendiri, seakan pikirannya meluncur ke tempat lain. Dia masih duduk di kelas, namun pada saat yang sama, dia merasa berada di tempat yang berbeda—tempat yang tak terdefinisikan oleh logika.
Kemudian, Radit merasakan seolah-olah dia menembus batas-batas antara dimensi, terhisap ke dalam ruang yang tak terbatas, sebuah tempat yang penuh dengan garis-garis cahaya dan energi yang berkelindan. Dia tidak tahu di mana dia berada, namun ada satu hal yang pasti: dia bukan lagi di dunia yang ia kenal.
Wajah-wajah asing muncul dalam pikirannya, wajah-wajah orang-orang yang tampak akrab tetapi pada saat yang sama tidak dikenalnya. Mereka berbicara kepadanya, namun tanpa kata-kata—hanya melalui getaran dan perasaan. Mereka seolah mencoba memberitahunya sesuatu yang sangat penting.
"Realitas ini hanya satu dari sekian banyak. Kau sudah terlalu lama tertidur," kata salah satu dari mereka dalam pikirannya. "Dunia yang kau kenal hanyalah ilusi yang disusun oleh kesadaranmu."
Radit merasa ingin bertanya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sosok-sosok itu semakin mendekat, membawa pesan yang membuat otaknya berputar cepat. "Kau sudah pernah berada di sini sebelumnya, Radit. Kau hanya lupa."
"Di mana ini? Apa maksud kalian?" pikir Radit, akhirnya menemukan cara untuk berkomunikasi.
"Ini adalah jembatan antara dimensi. Kau sudah melintasinya berkali-kali, namun setiap kali kau kembali, memori tentang tempat ini dihapus. Kau adalah satu dari sedikit orang yang bisa melihat melampaui realitas yang palsu. Itulah sebabnya kau selalu merasa ada yang salah di dunia sekitarmu."
Radit merasa kepalanya nyaris pecah oleh beban informasi yang mendadak masuk. Semua ini tidak masuk akal, tetapi pada saat yang sama, terasa sangat nyata. Ketika ia mencoba mengingat kembali, fragmen-fragmen ingatan kabur mulai muncul. Ingatan-ingatan tentang dunia yang berbeda—dimensi lain—yang pernah ia singgahi.
Di dunia lain, ia bukan seorang mahasiswa. Di dunia lain, ia adalah seorang ilmuwan terkemuka, penjelajah dimensi, yang mencoba memahami alam semesta yang jauh lebih luas daripada yang bisa dilihat dengan mata manusia biasa. Dunia yang ia anggap nyata hanyalah satu lapisan dari teka-teki besar yang membentang di seluruh multiverse.
"Saatnya untuk bangun, Radit," kata salah satu sosok itu. "Kau harus kembali ke peranmu yang sebenarnya."
Radit merasakan tarikan yang kuat pada kesadarannya. Tubuhnya terasa ringan, seolah-olah gravitasi tidak lagi bekerja pada dirinya. Ia melihat dunia yang biasa ia kenal memudar, dan realitas baru—atau mungkin realitas asli—perlahan terkuak di hadapannya.
Ketika ia terbangun, Radit tidak lagi berada di ruang kelas kampusnya. Ia berada di sebuah ruangan futuristik, dikelilingi oleh peralatan canggih dan layar holografik yang menampilkan data-data tak terbaca. Di sudut ruangan, terdapat cermin besar, tetapi yang terpantul bukanlah dirinya sebagai mahasiswa. Ia melihat sosok dirinya yang lebih tua, lebih bijaksana, mengenakan pakaian ilmiah yang asing namun terasa familiar.
Radit tersentak. "Apa yang terjadi? Di mana aku sebenarnya?"
Seorang pria mendekatinya, mengenakan jubah putih, dengan senyum yang tenang. "Kau sudah kembali, Doktor Raditya. Kami sudah menunggumu. Percobaan terakhirmu berhasil. Kau berhasil melintasi batas kesadaran antar-dimensi. Tapi, seperti yang sudah kami duga, memori kehidupanmu di sana terkunci."
Radit, atau Doktor Raditya, perlahan mulai memahami. Semua ini adalah bagian dari eksperimen besar. Ia bukan hanya mahasiswa biasa—ia adalah seorang penjelajah dimensi yang mencoba membuktikan bahwa realitas bukanlah satu lapisan statis, melainkan kumpulan dimensi yang bisa dilintasi oleh kesadaran. Kehidupannya di dunia sebelumnya hanyalah simulasi, sebuah percobaan untuk melihat bagaimana otaknya bereaksi terhadap ilusi kehidupan sehari-hari.
“Berapa lama aku ada di sana?” tanyanya.
“Lima tahun, menurut hitungan dunia simulasi. Tapi di sini, hanya beberapa menit yang berlalu.”
Radit duduk di kursi, menghela napas panjang. Realitas, yang ia kira solid, hanyalah sebuah simulasi. Ia kini kembali ke dunia aslinya, tetapi apa arti semua itu? Apakah ada dunia yang benar-benar nyata, atau semuanya hanya lapisan demi lapisan ilusi?
Pertanyaan itu terus menggelayuti pikirannya saat ia menatap cermin di depannya. Di sana, bukan hanya pantulan dirinya, tetapi semua versi dirinya dari berbagai dimensi, menatap balik dengan rasa ingin tahu yang sama.
Dan kali ini, ia tahu, tidak ada jawaban yang mudah.
***
Tamat.