Di sebuah kota kecil yang tenang, sebuah misteri besar sedang berkembang. Seorang pengusaha kaya, Bapak Setiawan, ditemukan tewas di rumahnya yang mewah, tepat di depan cermin besar yang menghiasi ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada barang yang hilang, dan yang paling aneh, tidak ada saksi mata yang melihat atau mendengar sesuatu. Polisi kebingungan, dan kasus ini mulai menjadi buah bibir warga kota.
Detektif Ardi, seorang pria berpengalaman dengan insting tajam, ditugaskan menangani kasus ini. Meski usianya sudah mendekati 50 tahun, pengalamannya di dunia kriminal membuatnya dikenal sebagai salah satu detektif terbaik. Ketika dia tiba di rumah Setiawan, dia langsung merasakan ada sesuatu yang salah. Bukan sekadar pembunuhan biasa—ini lebih dalam, lebih gelap.
Ardi memulai penyelidikan dengan memeriksa TKP. Tubuh Setiawan terbaring tepat di depan cermin besar, seolah dia sedang melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Di permukaan, tidak ada tanda kekerasan yang jelas, hanya sedikit bekas di lehernya—seperti bekas cekikan, tapi sangat halus. Hal yang paling menarik perhatian Ardi adalah cermin besar itu. Ada sesuatu yang aneh tentang cara cermin itu memantulkan ruangan, seakan ada sesuatu yang bersembunyi di baliknya.
“Apakah ada yang memeriksa cermin ini?” tanya Ardi kepada petugas forensik yang sedang memeriksa tubuh korban.
Petugas itu menggeleng. “Tidak ada yang mencurigakan dari cermin. Ini hanya cermin biasa, Pak.”
Ardi mendekat, menatap cermin dengan seksama. Dari sudut pandang tertentu, pantulan cermin tampak sedikit tidak sejajar, seperti ada distorsi halus. “Bisa kau bongkar cermin ini? Aku ingin tahu apa yang ada di baliknya.”
Tim forensik mulai melepaskan cermin dari dinding. Di balik cermin, ternyata terdapat sebuah ruang kecil, seperti lemari rahasia. Di dalamnya, Ardi menemukan setumpuk buku catatan tua dan beberapa foto lama yang usang.
Salah satu foto itu menunjukkan Setiawan bersama seorang wanita muda yang cantik. Di belakang foto tertulis, *"Untuk Setiawan, dengan cinta. – Amara, 1982."* Nama itu, Amara, langsung menarik perhatian Ardi. Dia mengenal nama itu—wanita itu pernah menjadi terkenal sebagai aktris pada awal 80-an, namun tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
“Siapa Amara ini?” gumam Ardi, lebih kepada dirinya sendiri.
Ardi membawa buku catatan dan foto-foto itu kembali ke kantornya untuk diselidiki lebih lanjut. Malam itu, di apartemennya yang kecil, Ardi membuka salah satu buku catatan. Tulisan tangan yang rapi memenuhi setiap halaman, seolah mencatat setiap detik kehidupan Setiawan dan hubungannya dengan Amara. Di halaman-halaman awal, buku itu berisi tentang cinta mereka yang berkembang pesat, namun seiring waktu, tulisannya berubah menjadi lebih gelap. Ada catatan tentang kecemburuan, pengkhianatan, dan akhirnya, tentang sebuah kematian.
Pada catatan terakhir, Setiawan menulis: *"Amara tidak akan pernah pergi. Aku membuat kesalahan besar, tapi aku bisa memperbaikinya. Dia akan selalu bersamaku... di balik cermin."*
Ardi merasa merinding. Setiawan mengindikasikan bahwa Amara, wanita yang diduga hilang bertahun-tahun yang lalu, masih ada di sini—di dalam rumah itu, mungkin di balik cermin. Tapi bagaimana mungkin?
Keesokan harinya, Ardi kembali ke rumah Setiawan dan memeriksa lebih lanjut ruang rahasia di balik cermin. Di dalam ruangan kecil itu, dia menemukan sebuah petunjuk penting: sebuah surat kontrak kuno yang ditandatangani oleh Setiawan dan Amara. Surat itu berbicara tentang perjanjian yang aneh, di mana Amara setuju untuk menyerahkan "jiwanya" kepada Setiawan dengan syarat bahwa dia akan selalu berada di sisinya, tidak peduli apa yang terjadi.
“Ini gila,” pikir Ardi, “tapi ini mungkin alasan mengapa dia menghilang.”
Ardi mulai merangkai potongan-potongan misteri ini. Setiawan, dalam kecemburuan dan ketakutannya kehilangan Amara, membuat semacam perjanjian gelap untuk memastikan dia selalu bersama. Namun, ada harga yang harus dibayar—dan cermin itu adalah kuncinya. Setiawan hidup dengan rasa bersalah dan ketakutan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya perjanjian itu berbalik padanya.
Saat Ardi terus mencari, dia menemukan bahwa Setiawan sering berbicara kepada cermin itu seolah-olah Amara ada di sana, berbicara balik kepadanya. Dia menjadi terobsesi, dan semakin lama, semakin tersiksa oleh kehadiran yang tidak terlihat.
Suatu malam, Ardi kembali ke rumah Setiawan untuk mencoba satu hal terakhir. Dia menatap cermin itu, mencoba membayangkan apa yang dilihat Setiawan pada malam kematiannya. “Jika benar ada sesuatu di balik cermin ini, aku harus melihatnya,” pikirnya.
Ardi menyalakan lampu senter dan memfokuskan cahaya ke cermin. Pantulan ruangan tampak normal pada awalnya, tapi kemudian, bayangan samar mulai muncul. Ardi tertegun, seolah-olah ada seseorang yang berdiri di dalam cermin, menatap balik kepadanya.
Tiba-tiba, udara di sekelilingnya terasa lebih dingin, dan bisikan-bisikan halus terdengar di telinganya.
“Amara…” bisik suara itu, pelan tapi jelas.
Ardi melangkah mundur, tapi cermin itu seperti menyedot perhatiannya. Wajah samar seorang wanita muncul di balik bayangan, menatapnya dengan mata penuh kebencian. Itu Amara.
Seketika, cermin itu retak, pecah berhamburan. Ardi terjatuh, mencoba melindungi dirinya dari serpihan kaca. Ketika semuanya tenang, sosok Amara menghilang, seolah-olah tertelan oleh kegelapan yang sama misteriusnya dengan kematiannya.
Setelah kejadian itu, rumah Setiawan ditutup, tidak ada yang diizinkan masuk. Kasus kematian Setiawan dinyatakan sebagai bunuh diri, meski Ardi tahu ada lebih dari itu—lebih dari sekadar kematian. Setiawan membayar harga atas perjanjian yang dia buat, dan Amara, pada akhirnya, bebas dari cermin yang mengurungnya selama bertahun-tahun.
***
Tamat.