Berakhir di sebuah perahu kecil bersama seorang lelaki yang baru dikenal sekaligus penyebab utama ia terjebak dalam situasi ini benar-benar suatu bencana. Seharusnya mungkin Marine sedang bersenang-senang atau setidaknya bersantai di sebuah yacht. Namun yang terjadi kini malah berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan.
Marine panik setengah mati, perahu yang ia tumpangi terombang-ambing di atas lautan yang bisa saja menenggelamkan perahu kecilnya kapan saja. Jangan tanya bagaimana keadaan wanita itu saat ini, meski malam, namun cahaya bulan dan cahaya lampu senter di bagian sisi perahu sudah cukup menyorot penampilannya, samar gelap tak mampu menyembunyikan kondisi Marine. Ia sangat lusuh dengan make-up luntur dan rambut yang berantakan, pakaiannya hanya baju tidur yang terbuat dari sutra diselimuti kimono selutut.
“Ck, diam! Lebih baik bantu aku mendayung! Kamu tidak capek mengomel dan mengeluh dari tadi?” ucap lelaki di sisi lain perahu.
Marine kesal. “Mendayung? Kamu penyebab aku berada di sini! Aku tidak disewa untuk keadaan seperti ini! Tidak ada yang bilang aku akan berakhir mati dan hilang di lautan tertelan ombak!”
“Kamu belum mati! Tapi kalau kamu tidak membantuku mendayung mungkin saja kamu akan mati karena aku yang akan mendorongmu ke lautan,” ucap Serga kesal, nyaris tak tahan mendengar suara berisik Marine lagi. Ia juga sudah agak kelelahan mendayung dan mengendalikan perahu.
“Jangan macam-macam!” Marine tiba-tiba bergerak mencabut pisau dari sepatu lelaki itu, entah sejak kapan ia menyadari keberadaan pisau lipat di sepatu Serga, mungkin Marine sudah mengincarnya sejak tadi.
Perahu sempat sedikit bergoyang karena gerakan Marine. Kemudian, wanita itu mengarahkan pisau ke arah Serga. Menyaksikan kelakuan Marine, Serga menghela napas entah untuk ke berapa kalinya. Selain berisik, pelacur ini merepotkan dan menyebalkan. Serga bisa saja membuangnya ke laut sedari pertama mereka berada di perahu. Keberadaan Marine juga tak lagi berguna, tapi itu tidak akan menyenangkan.
"Seharusnya aku membiarkanmu terbakar di kapal bersama yang lainnya." Serga berucap dengan nada datar.
"Dasar tidak berperi kemanusiaan!" hardik Marine.
"Turunkan pisau itu, kamu tak akan bisa bertahan hidup lebih lama jika aku kenapa-napa. Lebih baik kamu juga diam daripada merengek. Itu akan lebih membantu."
Marine akhirnya mengalah, ia mau diam dan tak lagi menodongkan pisau. Namun pisau itu masih ia genggam.
Harus diakui, Marine tak akan ada di sini jika bukan karena Serga. Wanita itu tidak tahu jika lelaki yang menyewanya merupakan salah satu pembunuh bayaran dan Marine hanya pengalihan agar ia bisa menjalankan rencana memberantas awak kapal dan pengedar obat-obatan terlarang sekaligus menenggelamkan yacht-nya juga. Mereka tak sempat memakai pelampung, tapi masih ada perahu yang bisa digunakan. Dalam pekerjaannya, Serga seharusnya tak meninggalkan jejak, dalam hal ini termasuk Marine.
Serga menatap sekitar, sejauh mata memandang hanya ada lautan.
"Seharusnya tak lama lagi, ada kapal nelayan yang lewat. Kita akan selamat."
"Dari mana kamu tahu? Lihat langit saja masih gelap, orang gila mana yang akan berlayar di lautan lepas saat ini?!"
"Kamu tidak tahu apa-apa, lebih baik diam saja."
Lalu tak lama kemudian, di kejauhan terlihat ada cahaya.
"Kurasa itu kapalnya," kata Serga.
"Hah?! Mana?!"
Seketika harapan bertahan hidup Marine langsung meningkat. Ia refleks mengikuti arah pandang Serga.
"Hei!!! Sebelah sini!!! Tolong kami!!! Kami di sebelah sini!!!" teriak Marine, tak hanya itu, ia mengambil senter kecil yang berada di bagian samping perahu lalu mengangkat itu sambil menggerakkannya secara acak.
"Sebelah sini!!!"
Setelah beberapa saat berlalu, Marine dan Serga berhasil diangkut ke kapal itu. Tapi anehnya, Serga terlihat akrab dengan awak kapal yang ada di sana.
"Bagaimana, Bos? Berhasil?"
Serga hanya menganggapi dengan anggukan. Kening Marine mengernyit, curiga jika awak kapal ini merupakan komplotan Serga juga.
"Nggak nyangka ternyata kau nepatin janji buat nyelamatin pelacur itu juga."
Serga tertawa. "Sengaja, ambil saja jika kalian mau," ucapnya tanpa dosa.
Marine melotot, ia berteriak. "Apa maksud kalian?! Sialan! Kalian pikir aku barang yang bisa seenaknya dipakai?!"
"Memangnya bukan?" Serga menyeringai.
Marine mendelik, ia tak menjawab lelaki itu dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, salah satu awak kapal tertawa. "Kalian seperti pasangan suami istri yang bertengkar."
"Aku tidak sudi memperistri seorang pelacur."
"Aku juga tidak sudi memiliki suami brengsek yang membunuh orang lain."
Seketika kapal hening.
"Aku memang bejat, tapi tak sampai membunuh orang lain," ucap Marine.
Serga mendengus. "Merasa paling suci sekarang? Aku hanya membasmi sampah."
Marine diam selama beberapa saat. Ia menghela napas, bersyukur dirinya masih hidup walau selama ini hidupnya hanya kesia-siaan belaka. Entah bagaimana nanti, ia masih berada di tangan lelaki yang tak segan menghilangkan nyawa orang lain. Marine masih agak kaget jika membayangkan Serga berkelahi melawan beberapa orang sebelumnya di yacht.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanya Marine akhirnya menyampaikan pertanyaan yang mengganjal di kepalanya sedari tadi.
“Semakin banyak yang kamu tidak ketahui tentangku, semakin baik. Setelah ini berakhir, kamu tidak akan pernah bertemu denganku lagi. Bukankan itu cukup? Kamu tidak perlu tahu siapa aku."
“Kau tidak akan selamat jika tahu siapa dia sebenarnya,” ucap salah seorang lelaki yang ada di sana.
Marine tak menanggapi itu dengan serius. Ia lupa masih memegang pisau milik Serga. Jika lebih diperhatikan, pisau itu memiliki sebuah tanda yang tak asing baginya.
“S-satir Utara? Hantu lautan?”
Bulu kuduk Marine terasa berdiri, jantungnya mulai berdegup kencang dan adrenalinnya meningkat. Ia bahkan tak yakin bisa menyaksikan hari esok setelah melihat seringai orang-orang yang ada di kapal, khususnya Serga. Mungkin lebih baik ia tenggelam saja di lautan.
“Kamu Hantu Lautan, kelompok ... pembunuh bayaran?”
Serga menggeleng. “Bukan aku, tapi kami. Seperti yang aku katakan tadi. Setelah ini berakhir, kamu tidak akan pernah bertemu denganku lagi dan ... ini akhirnya, kan? Kita tidak akan bertemu lagi, setelah salah seorang di antara kita mati. Tentu saja, orang itu bukan aku."
Malam yang kelam, lautan pun menjadi saksi bisu bahwa manusia bisa begitu berbahaya dan kejam. Mereka tak segan merenggut apa yang dimiliki orang lain, bukan lagi soal jabatan, kekuasaan, kehormatan dan harta, namun juga nyawa. Lautan yang menelan ribuan jiwa, menampung mayat dan bangkai, debur ombak yang menyembunyikan siulan kematian, meredam rintihan. Laut yang kejam, bertanya-tanya ..., siapakah iblisnya?