Hujan turun tak henti-hentinya sejak pagi, menciptakan suasana sendu di kota. Suara tetesan air yang bocor dari atap rumah kontrakan Raka menjadi latar belakang monoton yang mengiringi kegundahannya. Rumah kecil itu sudah mulai terasa sempit, bukan hanya karena ruangnya yang terbatas, tapi juga karena beban pikiran yang semakin menyesakkan. Sudah lebih dari sebulan ia menganggur setelah dipecat dari pekerjaannya sebagai desainer grafis. Perusahaan tempat ia bekerja sedang merampingkan karyawan, dan Raka termasuk yang harus pergi.
Di depan laptopnya yang sudah mulai usang, ia menatap layar kosong. Berbagai situs freelance sudah ia telusuri, tapi tak ada satu pun pekerjaan yang sesuai. Tabungannya mulai menipis, sementara tagihan terus menumpuk. Rasa putus asa perlahan menggerogoti semangatnya. Ia merasa dirinya gagal, tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk Dika, adiknya yang masih kuliah.
“Bang, makan dulu, nanti sakit kalau terus ngelamun,” ujar Dika yang baru saja keluar dari kamar. Dika adalah satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Mereka hanya saling punya satu sama lain setelah orang tua mereka meninggal beberapa tahun yang lalu. Bagi Raka, tanggung jawab untuk menjaga dan membiayai Dika adalah beban, tapi juga satu-satunya alasan yang membuatnya terus berjuang.
Raka tersenyum tipis, menutupi kegelisahan yang mendalam. “Iya, sebentar lagi.”
Sambil menyesap kopi hitam yang mulai dingin, Raka membuka folder lama di laptopnya. Ia melihat kembali karya-karya desain yang pernah ia buat. Sekilas, semuanya terlihat bagus, tapi di dalam dirinya ada suara kecil yang selalu berkata, "Kamu nggak cukup baik." Selalu ada rasa ragu yang menyelimuti, apakah dirinya benar-benar berbakat atau hanya beruntung bisa bekerja selama ini.
Tiba-tiba sebuah notifikasi email muncul di layar. Dari Bimo, sahabat lamanya.
> “Bro, lama nggak ketemu. Gua denger kabar lo lagi lowong, gimana kalau lo join ke project gua? Gue lagi butuh desainer buat platform edukasi baru. Ini startup kecil, tapi kita punya mimpi besar. Kalau lo tertarik, kabarin ya.”
Raka terdiam, memandangi layar. Ingatannya kembali ke masa kuliah ketika ia dan Bimo sering nongkrong di kafe kecil, membahas berbagai ide gila tentang masa depan. Bimo selalu ambisius, selalu punya mimpi besar. Tapi sekarang, di tengah krisis yang Raka alami, ide untuk memulai sesuatu yang belum jelas keuntungannya terasa sangat berisiko. Raka butuh kepastian, sesuatu yang bisa langsung menghasilkan uang.
Tapi di saat yang sama, ada dorongan kecil dalam dirinya untuk tidak menyerah begitu saja. Rasa ingin mencoba, rasa ingin kembali berkarya. Dengan perasaan campur aduk, ia membalas email Bimo. “Oke, gue tertarik. Ayo ngobrol lebih lanjut.”
---
Seminggu kemudian, mereka bertemu di sebuah kafe. Suasananya tidak banyak berubah dari dulu—sepi dan nyaman. Tapi kali ini, perasaan yang Raka bawa berbeda. Ada beban berat di pundaknya yang membuat setiap langkahnya terasa lebih berat.
Bimo langsung menjelaskan idenya dengan penuh semangat. “Gue mau bikin platform edukasi yang fokus ngajarin skill-skill praktis. Kayak desain grafis, editing video, coding—yang nggak banyak diajarin di sekolah formal. Targetnya orang-orang yang pengen belajar mandiri, yang mungkin nggak punya akses ke pendidikan tinggi.”
Mendengar itu, Raka sedikit tertarik. Namun, pikiran praktisnya segera muncul. “Bim, lo yakin ini bisa berhasil? Maksud gue, saingan lo banyak. Ada banyak platform edukasi di luar sana, dan mereka udah gede. Terus, lo punya modal? Ini kan nggak murah buat dijalanin.”
Bimo menghela napas, sedikit senyum pahit terlihat. “Gue tau, Rak. Gue juga nggak punya modal banyak. Gue baru mulai, dan investor juga belum ada yang deal. Tapi gua butuh orang yang ngerti soal desain buat bikin platform ini menarik. Kalau lo mau bantu, gue janji kita bakal jalanin ini bareng-bareng. Tapi gue nggak bisa jamin soal gaji gede dulu.”
Di dalam hati, Raka merasa bingung. Bagian dari dirinya ingin mundur, mencari pekerjaan yang lebih pasti. Tapi ada rasa yang kuat bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri. Bukan hanya untuk membantu Bimo, tapi untuk mengatasi rasa takutnya sendiri. Setelah terdiam beberapa saat, ia akhirnya bicara.
“Gue akan coba, Bim. Tapi jujur aja, kalau ini nggak jalan dalam beberapa bulan, gue nggak bisa terus-terusan.”
Bimo tersenyum lega, “Gue ngerti. Kita coba dulu, Rak. Langkah kecil, tapi mimpi kita besar.”
---
Bulan-bulan berikutnya dipenuhi dengan kerja keras. Raka terjun langsung mendesain interface, memilih warna, membuat identitas visual platform mereka. Sementara itu, Bimo sibuk mencari konten untuk kursus dan berusaha meyakinkan beberapa institusi pendidikan untuk bekerja sama. Di balik layar, mereka juga harus menghadapi masalah teknis yang terus muncul—server down, bug di sana-sini, dan target pengguna yang tidak kunjung naik.
Satu malam, Raka pulang dalam keadaan letih luar biasa. Hatinya mulai lelah menghadapi segala ketidakpastian ini. Di meja dapur, ia melihat Dika sedang belajar, tapi Dika juga memperhatikan kakaknya dengan cermat.
“Kak, lo nggak apa-apa?” tanya Dika pelan.
Raka tersenyum lemah, “Iya, cuma capek aja. Gue kadang ragu, Dik. Gue takut ini cuma buang-buang waktu.”
Dika menghentikan kegiatannya dan mendekat. “Gue tau lo takut, Bang. Tapi dari dulu lo selalu bilang sama gue, jangan pernah berhenti kalau lo belum nyoba sampai akhir. Gue percaya lo bisa, lo cuma butuh waktu.”
Kata-kata itu menghantam Raka tepat di dadanya. Dika, meskipun masih muda, selalu bisa menenangkan Raka dengan caranya yang sederhana. Raka merasakan kehangatan kembali ke dalam dirinya, sebuah dorongan untuk terus mencoba meski rasanya berat.
---
Minggu berikutnya, sebuah email dari investor besar tiba-tiba muncul. Raka dan Bimo hampir tidak percaya ketika mereka membaca bahwa investor tersebut tertarik untuk berinvestasi dalam jumlah besar di platform mereka. Itu adalah titik balik yang telah mereka tunggu-tunggu.
Raka terdiam, memandang layar laptop. Pikirannya melayang kembali ke semua keraguan dan ketakutannya. Tapi kali ini, ia tersenyum. Langkah kecil yang mereka ambil, meski penuh rintangan, telah membawa mereka mendekati mimpi besar mereka.
Malam itu, di depan laptopnya, Raka tahu satu hal: kadang, semua dimulai dari langkah kecil, meskipun jalannya penuh ketidakpastian.