"Selamat datang, Bu. Cari apa?"tanyaku pada Ibu-Ibu paruh baya yang masuk ke toko jilbab tempatku bekerja.
Wanita paruh baya itu menengok kiri kanan sebelum menatapku dan memberi seulas senyum. "Di sini jual jibab untuk anak usia dibawah tiga tahun? Saya mau ngasih buat cucu saya,"katanya ramah.
Aku panik, mencoba mengingat di mana benda itu di etalase di depanku. "Sebentar, Bu. Saya cari dulu."
Wanita paruh baya itu mengangguk.
Aku membuka pintu geser etalase lalu berjongkok untuk mencari-cari. Etalase ini kecil, jadi aku bisa mengeceknya dengan cepat. Di rak paling bawah, aku menemukan jilbab kaos berwarna-warna cerah dan berukuran mini. Aku menghela nafas lega.
Aku memberi wanita itu senyuman. "Adanya yang kayak gini, Bu,"kataku sambil menjejerkan jilbab mungil itu di atas etalase.
Wanita itu mengambil selembar jilbab berwarna kuning. "Wah, ini terlalu kecil. Nggak ada yang lain?"
Aduh! "Sebentar, saya lihat lagi, Bu," kataku lalu meletakkan jilbab yang tidak sedang ia pegang ke rak etalase paling atas yang kosong. Itu pesan bosku untuk tidak meletakkan tumpukan barang di depan pembeli saat mencari barang lagi. Takutnya nanti aku harus mengganti barang yang hilang.
"Yang ini, ya, Bu?"kataku sambil menata tiga lembar jilbab yang agak lebih besar.
"Ada warna lain?"tanyanya.
Aku mengecek di tumpukan barang. "Wah, adanya cuma ini, Bu."
Ia membolak balik jilbab itu. "Saya ambil warna coklat muda dan ungu muda ini. Cantik modelnya. Berapa?"
"Satunya 35 ribu, Bu."
"Nggak bisa kurang?"
"Jangan lah, Bu. Sudah murah itu."
"Kurangi lah,"tawarnya lagi.
Aku menggeleng. Aku memberi harga pertengahan. Kalau ditawar lebih murah, nanti untungnya terlalu sedikit dan bosku bisa marah.
"Ya sudah. Saya ambil satu aja,"kata Ibu itu sambil mengulurkan selembar uang lima puluh ribu.
Aku mengambil uang yang Ibu itu berikan. "Saya bungkus, ya, Bu."
Ibu itu mengangguk. Aku memasukkan jilbab itu ke kantong plastik berlogo toko lalu memberikannya bersama uang kembali. Ibu itu pergi, membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. Akhirnya setelah berjam-jam menjaga toko ini aku mendapat pembeli juga. Syukurlah.
###
Jam menunjukkan pukul satu siang lewat beberapa menit saat bosku kembali. Ia membawakan cemilan berupa gorengan seperti yang ia janjikan tadi di telepon. "Berapa pemasukan sesiangan ini?"tanyanya.
"Tiga ratus dua puluh lima ribu, Bu,"kataku yang sedang merapikan jilbab yang baru selesai kuperlihatkan pada pembeli.
Bosku tersenyum lebar. "Lumayan. Nih gorengan buat kamu. Udah makan siang?"
"Udah, Bu. Aku bawa bekel. Makasih gorengannya. Nanti aku makan."
"Eh, buat berdua ini. Mulai dari siang, saya ikut jualan sama kamu. Nanti kalau udah jam setengah 5, kita langsung tutup tokonya,"terangnya.
Aku jadi malu. Kesannya aku jadi serakah sekali. Akhir-akhir ini aku jarang jajan karena suamiku lebih butuh biaya untuk pengobatannya. Aku lebih memilih mementingkannya dari pada memenuhi keinginanku yang bisa di tunda.
"Suamimu gimana, Ta? Luka kecelakaannya udah sembuh?"tanya bosku.
"Sudah agak mendingan, Bu. Setidaknya dia udah bisa gerakin tangannya buat makan sendiri. Makanya sekarang aku bisa kerja. Selama dia belum bisa balik kerja, akulah yang harus usaha, Bu,"terangku.
Bosku menatapku iba. "Maaf kalau ibu cuma bisa gaji kamu 35 ribu sehari, Ta. Untung dari jualan juga nggak banyak. Tiap bulan ibu juga harus bayar sewa toko dan listrik. Belum lagi kalau banyak jilbab yang nggak laku, ibu harus merugi."
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa, kok, Bu. Ibu mau ngasih aku kerjaan aja aku udah bersyukur banget. Setidaknya aku sama Ari masih bisa makan karena pertolongan Ibu."
"Yang sabar, ya. Semoga suamimu cepat sembuh."
"Amin." Aku lalu mencomot satu tahu isi lalu mengunyahnya perlahan. Akhirnya aku bisa menikmati jajanan lagi.
###
"Assalamualaikum. Ri, kamu udah makan?"tanyaku pada suamiku yang sedang duduk di teras.
Suamiku tersenyum. "Udah, Ta. Aku makan masakanmu tadi. Gimana hari pertamamu bekerja?"
Aku duduk di sampingnya untuk melepas lelah di kakiku. "Lancar. Banyak yang beli dan aku dibeliin gorengan tadi sama bosku. Ada lebihnya, nih. Dimakan, ya,"kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi gorengan.
"Alhamdulilah,"ucap Ari. Ia mengambil kantong plastik itu dari tanganku. "Kamu udah dapat gaji? Beli mi instan buat makan malam, yuk. Beras kita habis soalnya. Nasi di rice cooker cuma cukup buat satu orang."
Aku tertunduk. "Udah gajian, sih. Ya udah. Nanti aku beli beras sama mi instan. Besok aku harus bawa bekal. Nggak mungkin kalo nggak masak nasi besok pagi."
Ari tidak merespon kata-kataku. Saat aku meliriknya, raut wajah Ari terlihat sedih.
"Kenapa?"tanyaku.
"Maaf karena udah bikin kamu berjuang untuk kita, Sayang. Seharusnya aku yang menghidupi kamu, tapi sekarang malah kamu yang ngurus kebutuhan kita dan cari makan. Aku ngerasa nggak berguna banget,"katanya, terdengar getir.
Aku memeluknya. "Aku cuma lagi ngegantiin kamu. Selama ini kamu udah berusaha keras demi hidup kita. Saat ini kamu lagi sakit, Ri. Sudah sewajarnya aku menyokong keluarga kecil kita. Toh, kita belum punya anak. Aku nggak harus selalu ada di rumah sekarang."
Ari membuang nafas. Tatapannya terarah ke depan tapi matanya terlihat melamun.
"Jangan jadikan beban, Ri. Kita jalani aja. Semuanya akan lebih mudah kalau kita menjalaninya dengan lapang dada,"kataku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Makasih, Sayang."
"Iya,"kataku.
Aku menatap langit sore yang menjingga tanpa melepas pelukan pada suamiku. Dalam hati aku berdo'a semoga suamiku kembali sehat dan bisa bekerja lagi. Aku tidak tega melihatnya mengalami krisis kepercayaan diri.
###
Aku turun dari angkutan umum lalu berjalan menuju toko jilbabku di blok barat pasar Payakumbuh. Pagi ini aku membawa lauk telur dadar buatanku dan nasi putih untuk makan siang. Bukan menu yang istimewa, tapi sudah cukup untuk mengganjal perutku sampai sore. Dengan diantar senyum suamiku aku melangkahkan kaki menuju jalanan tadi, sehingga pagi ini hatiku sedikit ceria. Setidaknya dia memulai hari dengan hati senang, membuatku ikut senang menjalani hari yang masih jadi misteri kisahnya hari ini.
Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Orang sepertiku tidak butuh kejutan dari hidup. Menjalani hari yang tenang saja sudah jadi anugerah yang sangat aku syukuri. Bisa mendapat pelanggan yang tidak cerewet saja aku sudah senang sekali. Hatiku sudah cukup lelah dengan masalah yang ada. Semuanya sudah cukup rumit untuk ditambah dengan kejutan yang membuat lelah hati dan pikiran.
Aku sampai di toko saat bosku sedang membuka roling door toko. "Pagi, Bu,"sapaku.
Bosku tersenyum. "Pagi, Ta. Udah sarapan? Ibu bawa roti bakar. Mau?"
Ah, betapa perhatiannya Bosku. Menyenangkan sekali bisa bekerja untuknya. "Udah, Bu. Makasih tawarannya."
"Siap bekerja untuk hari ini?"
"Siap!" Ya. Aku lebih dari siap untuk berjuang hari ini. Hidupku dan suamiku tergantung pada kerja kerasku. Tentu saja aku harus siap berjuang.
#Tamat#