Seorang lelaki baru saja keluar dari toko bunga. Namanya adalah Aksen Putra Praja. Di tangan lelaki itu, ada sebuket bunga edelweis yang sudah ia pesan dari kemarin. Kini, ia melangkah menuju parkiran motor dimana seorang temannya sedang menunggu.
"Hari ini cewek penjaga toko bunga yang satu lagi nggak ada, sia-sia gue ikut lo ke sini. Kenapa dia nggak ada, ya?" ucap teman Aksen setelah ia sampai di dekatnya.
Aksen mengangkat bahu.
"Mana gue tahu. Lo pikir gue bapaknya? Salah lo kenapa nggak dari kemarin ajak kenalan. Bukan cuma dilihatin kaya pajangan. Diambil orang lain mampus lo."
Temannya—Gamma—mendecak kesal sambil melempar gagang permen lolipop yang sedari tadi ia gigiti pada Aksen.
"Ya kan gue mau mantau dulu. Nggak asal gas, bahaya kalau dia udah punya cowok."
"Kalem. Dia baru aja putus."
Gamma memicingkan kedua matanya ke arah Aksen. "Darimana lo tahu?"
"Nggak sengaja nguping, waktu itu dia cerita ke temannya."
Kedua mata Gamma sontak melotot. "Kok lo nggak cerita ke gue?!"
"Barusan gue bilang."
"Ya dari kemarin kek!"
Gamma mendecak. Pandangannya beralih pada bunga edelweis yang Aksen bawa.
"Bunga edelweis lagi? Buat apaan? Tiap ke toko bunga lo selalu beli itu mulu. Buat siapa? Cewek? Tapi ngomong-ngomong dedek gemas lo kan banyak, jadi degem yang mana?"
"Pala lo!" Aksen hendak menjitak jidat Gamma, tapi temannya itu sudah terlebih dahulu menghindar sambil cengengesan.
Aksen memutar kedua bola matanya.
"Berhubung hari ini lo nebeng. Gue mau ngasih bunga ini ke dia. Nanti gue kenalin," ucap lelaki itu.
"Hm, boleh juga."
"Nih pegangin," ucap Aksen sambil mengulurkan bunga pada Gamma yang langsung lelaki itu terima.
Kemudian, Aksen lebih dulu menaiki motor. Lalu menyalakannya, sementara Gamma duduk di belakang lelaki itu setelah sebelumnya memakai helm. Aksen mulai melajukan motor, meninggalkan area parkir toko bunga.
Setelah menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, akhirnya Aksen menghentikan motornya di pinggir jalan di samping motor-motor lain yang berjajar rapi, dekat dengan sebuah pohon rindang. Kemudian, lelaki itu turun dari motornya dan mengambil bunga yang ia titipkan pada Gamma tadi.
"Kok berhenti di sini, Sen? Udah sampai?" tanya Gamma dengan kening mengernyit.
"Belum, kita harus jalan kaki," ucap lelaki itu.
Gamma benar-benar malas kalau harus jalan kaki. Tapi ia tetap nurut, turun dari motor dan melepaskan helm. Sementara Aksen sudah melangkah lebih dulu, Gamma bergerak cepat menyusul dan sudah berada di samping Aksen ketika keduanya berpapasan dengan seseorang.
"Eh, Aksen?"
Aksen dan Gamma menoleh serentak.
"Kak." Aksen tersenyum sopan, beda dengan Gamma yang malah cengo dan jadi bingung sendiri.
Soalnya cewek yang barusan nyapa Aksen itu cewek yang ia suka, si cewek penjaga toko bunga. Tapi ... mereka seperti kenal dekat satu sama lain. Mungkin karena Aksen sering ke sana, jadi wajarlah kayaknya. Pikir Gamma.
"Mau ngunjungi Edelweis?"
"Iya, Kakak juga darisana?" ucap Aksen.
"Iya, baru aja. Kakak ada urusan penting, duluan ya."
Aksen mengangguk saja dan membiarkan perempuan itu berlalu. Sementara Gamma baru sadar dan mengerjap.
"Lah? Lo kenal cewek itu? Kok manggil kakak? Umurnya tuaan dia?"
"Kepo!" ucap Aksen sambil melanjutkan langkah.
Gamma mendecak singkat. Ia mengikuti lelaki itu sambil terus bertanya-tanya mengenai cewek si penjaga toko bunga yang seolah kenal dekat dengan Aksen.
"Sen! Budeg! Lo dengar nggak?"
"Ssttt ... berisik!"
Aksen menghentikan langkahnya. Gamma juga melakukan hal yang sama. Namun ... barulah ia sadar akan suatu hal. Kenapa dirinya ada di sini? Bukankah seharusnya ia dan Aksen ke rumah cewek Aksen itu?
"Tunggu dulu, ngapain kita di sini? Bukannya mau ke rumah cewek lo?" tanya Gamma ketika melihat Aksen berjongkok.
"Kita udah sampai. Ini tempat dia istirahat ... untuk selamanya," ucap Aksen sambil menaruh buket bunga yang ia bawa di atas sebuah makam.
Kedua mata Gamma membulat, ia terdiam sesaat dan berusaha memahami apa maksud ucapan Aksen.
"Namanya Edelweis Reinata, umurnya dua tahun lebih muda dari gue, seharusnya sekarang dia kelas dua SMA. Makanan kesukaannya sate, warna favoritnya putih sama biru, bunga kesukaannya edelweis. Dia punya riwayat penyakit lemah jantung. Cewek yang jaga toko bunga tadi, cewek yang lo suka. Dia kakak Edelweis, namanya Maurina Jingga." ucap Aksen sambil mengusap batu nisan beberapa kali.
Gamma masih terdiam di tempat selama beberapa saat. Sampai akhirnya ia paham dan mendekat, ikut berjongkok di samping Aksen sambil menelan ludah susah payah. Rasanya ... ia tak tahu harus berkata apa.
"Oh ... jadi ini, hai Edelweis. Gue Gamma, temannya Aksen," ucap lelaki itu sambil menatap nama yang terukir pada batu nisan.
Aksen tersenyum tipis sambil menatap nanar batu nisan yang ia pegang.
"Gue nggak akan nanya kabar, lo pasti baik-baik aja di sana. Sementara gue, seperti hari-hari sebelumnya, hari ini sama membosankannya tanpa lo. Maaf, Del, gue nggak tahu sampai kapan gue akan kayak gini. Tapi meski begitu, lo tetap bisa tenang karena gue baik-baik aja kayak gini. Gue nggak pernah merasa berat meski merindukan lo setiap saat. Edelweis, lo hidup abadi dalam hati, pikiran, dan kenangan gue. Bahkan, meski suatu saat nanti Tuhan menjodohkan gue dengan yang lain."
Gamma tertegun beberapa saat mendengar kata-kata yang keluar dari Aksen. Ia mengusap bahu lelaki itu dan menepuknya pelan beberapa kali. Ternyata ia belum tahu banyak hal tentang temannya itu, selalu misterius. Tatapan Gamma beralih pada batu nisan.
Setahunya Aksen dekat dengan banyak perempuan. Tapi belum pernah tahu, bahwa yang benar-benar dekat dan ada dalam hati lelaki itu sampai kini adalah seorang gadis yang telah tiada.