Aku dan dia seperti warna hitam dan putih dalam satu lingkaran. Kami berbeda sampai terlihat bertolak belakang, entah dia menyadarinya atau tidak. Dia kecoklatan terbakar matahari sedangkan aku putih seperti kapas. Dia periang sedangkan aku pemurung. Dia dikenali dibawah lampu sorot sedangkan aku matang dibalik layar. Begitulah kami.
Entah apa yang sebenarnya ia rasakan saat ia memintaku menjadi pacarnya.
Saat ini aku sedang menemaninya main futsal. Aku duduk berdampingan dengan mantannya yang sekarang pacaran dengan temannya. Nama gadis itu Sabila, seorang gadis yang terlihat cantik sekali dengan kulit coklatnya. Duduk di samping Sabila dengan mengetahui fakta dia adalah mantan pacar pacarku membuatku sangat terintimidasi. Aku tidak cantik, itu yang membuatku merasa tidak sebanding sedang Sabila. Ditambah aura yang membuatku sedikit takut dan sikap tidak bersahabat Sabila, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa.
“Gimana rasanya jadi pacar Collin?”tanya Sabila.
Pertanyaan itu ditujukan untukku, tentu saja. “Collin baik,”kataku tidak terdengar gugup sama sekali. Padahal telapak tanganku berkeringat dingin hanya karena mendengar suara Sabila.
“Udah ngapain aja?”
Aku diam. Pertanyaannya kurang ajar sekali.
Aku mendengar Sabila tertawa. “Cewek polos.”
Terserah dia mau menyebutku apa. Aku memang belum melakukan kontak fisik apa pun dengan Collin. Mungkin karena jilbabku Collin menghargaiku.
“Bukannya di Islam pacaran nggak dibolehin, ya. Kok kamu sama Collin pacaran, sih? Padahal kalian juga beda agama.”
Aku cuma bisa diam. Banyak yang menanyakan hal ini padaku. Teman-temanku bahkan bertanya kenapa aku memilih orang yang sangat bertolak belakang denganku. Padahal aku bisa saja menunggu jodoh seperti yang dilakukan gadis-gadis muslim sepertiku yang sudah berniat serius dengan hubungan. Tapi aku malah memilih menerima pernyataan cinta dari aktor yang bekerja sama denganku dalam sebuah acara televisi tempatku bekerja.
“Nggak kamu jawab pun nggak apa-apa, kok,”kata Sabila.
“Ini masalah perasaan. Aku nggak tau harus ngomong apa secara terang-terangan,”kataku lalu tersenyum pada Sabila.
Sabila balas tersenyum. “Ternyata kamu orangnya baik, ya. Aku kira kamu bakalan marah.”
Aku hanya bisa tersenyum. “Collin orangnya kayak apa?”tanyaku.
“Cukup baik sampai nggak ngebales orang yang ngehianatin dia. Padahal orang itu ngakunya sahabat.”
Maksudnya pasti pacarnya, Fatan. Semua orang yang dekat dengan mereka juga tahu kalau Fatan dan Sabila selingkuh. Mereka menyembunyikan hubungan mereka dengan baik sampai akhirnya Sabila memutuskan Collin dan mulai terang-terangan jalan dengan Fatan. Entah siapa yang benar-benar salah dalam hal ini. Collin yang bersikap terlalu jaga diri atau Sabila yang cepat menyerah dalam hubungan mereka. Collin yang kukenal memang sangat menghargai perempuan.
Selama bersama dengan Collin aku merasa beruntung sekali aku bisa berada di sisinya. Karena baru kali ini pacaran, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku senang Collin tidak mempersalahkan kekakuanku dalam bersikap saat kami jalan bersama. Dia benar-benar laki-laki yang baik.
Peluit panjang dibunyikan.
“Kayaknya mereka udah selesai mainnya. Waktunya pulang, Nada. Sampai ketemu lagi,”kata Sabila.
“Iya,”jawabku ramah.
Langit biru berubah gelap pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Aku rasa aku memang tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Ada perkerjaan yang harus kuurus untuk acara televisi malam nanti. Teman kerjaku juga sudah menghubungi.
Collin sedang berjalan ke arahku sambil tersenyum. “Gimana? Kamu suka nonton futsal?”tanya Collin padaku.
“Suka. Kayaknya asyik walau aku nggak ngerti aturan mainnya.”
Collin tertawa. “Mungkin memang agak rumit buat cewek. Lain kali aku jelasin aturannya. Masih mau ikut nonton aku main lagi, kan?”
Aku tersenyum. Aku menikmati hubunganku dengan Collin walau kami punya banyak perbedaan. Aku suka kedamaian yang ia bawa. Hatiku terasa hangat hanya dengan mendengarnya bicara. Untuk kali ini saja aku merasa aku tidak ingin di salahkan karena memilih dia.
“Aku ganti baju dulu, ya,”kata Collin sebelum pergi ke ruang ganti yang ada di seberang lapangan.
HP-ku berdering. Ternyata panggilan dari teman kerjaku. “Halo,”sapaku.
“Lagi dimana? Sejam lagi kita rapat. Jangan telat.”
“Aku lagi di lapangan futsal dekat kantor. Aku ingat kalo ada rapat, kok. Kamu tenang aja.”
“Kamu lagi sama Collin?”tanyanya dengan rasa penasaran yang terdengar jelas di suaranya.
Aku tertawa. “Jangan kepo, deh. Pokoknya bentar lagi aku nyampe di studio. Oke?”
“Iya, deh. Hati-hati, ya. Fans-nya galak loh.”
“Iya. Tau, kok,”kataku sebelum mengakhiri panggilan.
Collin muncul beberapa menit kemudian dengan pakaian santainya, celana selutut dan T-shirt putih.
“Kita makan dulu atau langsung ke studio?”tanya Collin.
“Ke studio aja. Aku bawa bekal.”
“Wah, boleh minta?”
Aku ragu. “Bekalku cuma risoles. Aku nggak tau kamu bakalan suka atau nggak.”
Collin tersenyum lembut padaku. “Aku selalu suka apa pun yang kamu masak. Semuanya enak.”
Lihat? Bagaimana aku bisa menolak laki-laki seperti dia?
Sepanjang jalan ke studio kami mengobrol. Dan aku tidak bisa berhenti tersenyum karena kebaikan Collin. Kadang perbedaan dalam hubungan bisa terlupakan asal hati satu sama lain cocok. Setuju?
~Selesai~