Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya.
Hujan yang turun tidak berhenti sejak malam membuat suasana kota kelabu, seakan kota ini turut larut dalam kemurungan yang tak terjelaskan.
Aku duduk di meja kerjaku, memandangi tumpukan dokumen yang berantakan.
Ruangan ini—kantor penyidikanku—tidak pernah menjadi tempat yang nyaman.
Lantai kayunya berderit setiap kali aku melangkah, dan bau lembap dari sudut ruangan yang jarang dijamah waktu menjadi pengingat bahwa tempat ini sudah tua.
Tapi aku menyukainya.
Gedung tua ini ada di lantai paling atas, terpencil, dan jarang ada orang yang repot-repot naik hingga ke sini.
Itu membuat pikiranku tetap fokus.
Lagipula, semakin sedikit interaksi, semakin baik.
Lebih sedikit orang yang tahu wajahku, lebih aman pekerjaanku.
Karena, bagi mereka yang memanggilku dengan nama Veiled, bukan identitas yang penting.
Hanya hasil.
Pikiranku masih terjebak pada kasus sebelumnya, kasus yang membutuhkan hampir semua energiku.
Sebuah penipuan berskala besar yang melibatkan perusahaan fiktif dan rekening tak terjamah.
Itu berhasil kupecahkan—tapi butuh berminggu-minggu penelitian, berjam-jam wawancara, dan hampir tak ada waktu tidur.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba fokus kembali pada tumpukan dokumen di depanku ketika pintu kantorku tiba-tiba terbuka.
Aku mendongak, dan yang kulihat adalah seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam.
Setelannya terlalu rapi untuk kondisi cuaca saat itu—terlalu sempurna.
Jas itu tidak basah, tidak ada setetes air hujan pun yang menempel padanya.
Tapi wajahnya menyimpan kelelahan yang berbeda.
“Veiled?” tanyanya, suaranya tenang tapi serak. Ia melangkah masuk tanpa diundang, tatapannya langsung menusuk ke arahku.
Aku tidak langsung menjawab.
Sudah biasa, klien datang dengan berbagai macam ekspresi; takut, gelisah, atau bahkan marah.
Tapi pria ini, dia tampak... hancur.
Tapi bukan hancur dalam arti fisik—lebih seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang telah lama runtuh, dan dia sudah terlalu lelah untuk menyembunyikannya.
“Siapa Anda?” tanyaku dengan nada datar.
Aku mencoba membaca bahasa tubuhnya, memetakan setiap gerakan kecil, setiap ketidaknyamanan.
Tangannya sedikit gemetar, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan memasukkannya ke dalam saku.
Bahunya tegang, meski ia berusaha tampak rileks.
Dia mendekatkan sebuah amplop cokelat tebal ke meja. “Anda perlu melihat ini,” katanya, mengabaikan pertanyaanku.
Aku menatap amplop itu beberapa detik sebelum mengambilnya. Membukanya perlahan, mengeluarkan isinya satu per satu.
Foto-foto. Ada sekitar lima belas foto di dalamnya, semua dari berbagai korban pembunuhan.
Mayat-mayat yang tampak terlantar dengan wajah kosong, mata mereka terbuka, tapi tidak ada apa pun di sana.
Aku tidak butuh banyak waktu untuk mengenali pola di sini—semua korban terlihat dibunuh dengan cara yang hampir serupa, tapi dengan detail-detail kecil yang sengaja dibiarkan berbeda.
Seakan-akan si pelaku bermain-main dengan hukum, menantang siapa pun yang mencoba melacaknya.
Dan di antara foto-foto itu, ada satu surat yang menarik perhatianku.
Hanya satu kalimat tertulis di situ:
"Siapa pun yang berani menggali terlalu dalam, akan tenggelam. – YS."
Aku mendongak ke arah pria itu. “YS,” gumamku, sebagian untuk diriku sendiri.
Aku pernah mendengar nama itu, jauh di balik hiruk-pikuk dunia kriminal yang biasa kubersihkan.
Nama itu seperti legenda urban, cerita yang dibicarakan dengan pelan di sudut-sudut ruangan gelap.
Setiap kali dia disebutkan, tak ada yang pasti. Semua pembicaraan tentangnya selalu melingkupi misteri.
Seorang pria, atau mungkin sebuah kelompok.
Tidak ada yang tahu pasti.
Tapi yang jelas, siapa pun dia, dia bukan orang biasa.
Pria di depanku kini tampak gelisah.
Ia menunggu reaksiku, mungkin mengharapkan aku terkejut atau menolak.
Tapi aku tidak memberinya kepuasan itu. Sebaliknya, aku tetap tenang.
“Apa yang Anda inginkan dariku?” tanyaku sambil meletakkan kembali foto-foto ke dalam amplop.
Dia menatapku lama sebelum berbicara lagi. “Ini lebih besar dari apa yang Anda pikirkan. Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah permainan yang melibatkan orang-orang di posisi tinggi, uang dalam jumlah besar, dan... rahasia yang lebih gelap dari yang bisa Anda bayangkan.” Dia berhenti sejenak, memindai reaksiku, lalu melanjutkan, “Kepolisian sudah menyerah. Mereka bahkan tidak bisa mengendus siapa YS sebenarnya.”
Aku menyandarkan diri ke kursi, memutar-mutar kalimat di kepalaku.
Ada sesuatu yang menarik dalam kasus ini, lebih dari sekadar kematian.
YS telah memainkan permainan yang jelas tidak dimengerti oleh orang-orang biasa, dan itu menarikku.
“Aku tertarik,” kataku pelan, nada suaraku datar, hampir dingin.
****************
Penyelidikanku dimulai seperti biasanya, dari hal yang paling mendasar.
Aku mempelajari setiap detail foto korban, mencari petunjuk dalam cara tubuh mereka ditemukan, luka-luka yang ada, dan lokasi mereka.
Ada beberapa pola yang langsung terlihat, pola yang disengaja untuk menciptakan kebingungan.
Namun, pola yang sebenarnya selalu tersembunyi lebih dalam.
Setiap korban tampaknya terhubung dengan dunia yang sama: dunia finansial bawah tanah.
Sebuah jaringan gelap yang melibatkan perdagangan saham ilegal, manipulasi pasar, dan transaksi-transaksi yang mengalir tanpa jejak di balik perusahaan cangkang.
Korban-korban ini bukanlah orang biasa.
Mereka adalah pemain dalam permainan besar, tapi bukan pemain utama.
Mereka lebih seperti pion dalam papan catur yang lebih besar.
Tapi, meski mereka memiliki koneksi ke dunia yang sama, cara mereka dibunuh berbeda.
Setiap metode pembunuhan terasa seperti bagian dari teka-teki, yang tujuannya lebih untuk menunjukkan bahwa si pembunuh punya kuasa dan kendali penuh.
Dan di situlah letak tantangannya.
YS bukanlah pembunuh biasa.
Dia tidak meninggalkan jejak yang bisa dilacak.
Tidak ada motif pribadi, tidak ada hubungan emosional dengan korban-korbannya.
Dia tampak seperti mesin, menghitung setiap langkah dengan presisi.
Tapi aku tahu bahwa setiap tindakan, secerdas apa pun, tetap didasarkan pada pola tertentu.
Tidak ada yang benar-benar acak.
****************
Aku mulai dengan hal yang paling jelas: informasi tentang YS.
Siapa dia? Bagaimana dia bekerja? Tapi jawabannya selalu sama.
Tidak ada yang tahu siapa YS sebenarnya.
Namanya seperti bayangan di dunia kriminal dan finansial.
Setiap kali aku mendekati seseorang yang mungkin punya petunjuk, mereka menghilang, atau tiba-tiba tidak bersedia berbicara.
Semakin aku menggali, semakin kuat perasaan bahwa YS tahu setiap langkahku.
Informasi yang kudapatkan sangat sedikit, tapi cukup untuk membuat sebuah profil awal.
YS adalah seorang ahli strategi, seseorang yang sangat paham cara orang berpikir dan bereaksi.
Dia mungkin punya tim, atau dia mungkin bekerja sendiri, tapi yang jelas, setiap gerakannya diperhitungkan dengan matang.
Tidak ada yang spontan dari YS.
Dia selalu selangkah lebih maju, mungkin sepuluh langkah lebih maju dari lawan-lawannya.
Itulah yang membuatnya sulit ditangkap.
Tapi ada satu orang yang mungkin tahu lebih banyak: seorang analis keuangan bernama Valen.
Dia adalah salah satu orang yang pernah terlibat dalam transaksi gelap yang melibatkan YS, meski hanya di pinggiran lingkaran itu.
Aku berhasil melacaknya ke sebuah bar kecil di pinggiran kota, tempat dia sering bersembunyi dari dunia.
Ketika aku tiba di sana, suasananya tidak berbeda dari yang kubayangkan.
Bar itu remang-remang, hampir kosong, hanya ada beberapa pengunjung yang tenggelam dalam minuman mereka.
Valen duduk di sudut, jauh dari pandangan, tapi aku bisa merasakannya dari jauh.
Kecemasannya terpancar jelas di wajahnya.
Aku duduk di depannya tanpa banyak bicara.
Dia menatapku, mencoba menyembunyikan kegelisahannya, tapi tangannya yang memutar-mutar gelas birnya mengkhianati perasaannya.
“Kau tahu kenapa aku di sini,” kataku tanpa basa-basi.
Dia tidak menjawab langsung, hanya menatap gelasnya, lalu mendongak padaku.
“YS,” katanya pelan, hampir berbisik. “Kau sedang menggali sesuatu yang seharusnya tidak digali.”
“Aku tidak takut,” jawabku.
Aku ingin mendengarnya bicara lebih banyak, memberikan detail yang kususun di kepalaku.
“Kau seharusnya takut,” Valen mengangkat alisnya, mencoba menekan rasa paniknya. “YS... dia bukan hanya orang biasa. Dia tidak hanya bersembunyi di balik layar, dia adalah layar itu.”
Aku menatapnya dalam, berusaha memahami maksudnya.
“Dia selalu tahu langkah apa yang akan kau ambil. Dia tidak hanya memantau, dia memahami. YS memprediksi setiap gerakanmu, bahkan sebelum kau menyadarinya.”
“Bagaimana bisa? Tidak ada yang bisa memprediksi setiap langkah,” jawabku, meski di dalam hati aku tahu bahwa ada kebenaran dalam apa yang dikatakan Valen.
“Kau tidak paham. Ini bukan sekadar soal kecerdasan atau taktik. YS... dia seperti sudah memetakan setiap kemungkinan. Bahkan orang sepertimu, yang dikenal jenius dalam menyelesaikan kasus, mungkin sudah terbaca olehnya.”
Valen menatapku dengan mata yang penuh dengan ketakutan. “Dia tahu apa yang kau lakukan sekarang. Dia tahu kau akan datang ke sini. Dan dia sudah menyiapkan jebakan berikutnya.”
****************
Aku pulang malam itu dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi satu hal jelas: pengejaran ini akan lebih sulit daripada yang kubayangkan.
YS bukan hanya lawan biasa.
Dia adalah seseorang yang mungkin sudah memegang kendali dari awal.
Pagi itu dingin.
Embun masih menggantung di atas kaca jendela tak terawat di kantor.
Aku duduk di meja, memandang kosong ke arah cangkir kopi dingin yang belum kusentuh.
Pikiran tentang Valen dan YS berputar dalam kepalaku sepanjang malam.
Setiap kata yang keluar dari mulut Valen terasa seperti peringatan—atau mungkin ancaman.
Apakah aku terlalu jauh menggali?
Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan keraguan itu.
Selama bertahun-tahun, aku sudah menghadapi banyak pelaku kriminal yang licin, para dalang di balik kejahatan yang sulit diringkus.
Tapi YS? Dia berbeda.
Dia tidak hanya bersembunyi di balik bayang-bayang; dia adalah bayangan itu sendiri.
Valen mengatakan dia selalu tahu langkahku.
Jika itu benar, maka hari ini aku akan mengujinya.
Aku memutuskan untuk kembali ke TKP pertama, sebuah bangunan tua di distrik Canary Wharf, London.
Bangunan ini pernah menjadi pusat aktivitas finansial pada era 90-an, tapi kini, hanya segelintir orang yang bekerja di sana.
Gedung itu berdiri di antara bayang-bayang gedung pencakar langit baru, seolah-olah waktu lupa menyentuhnya.
Aku tiba di tempat itu tepat pukul delapan pagi.
Matahari masih rendah di ufuk timur, memancarkan sinar oranye lembut di atas gedung-gedung kaca.
Udara dingin menusuk, membuat napasku tampak seperti kabut tipis yang menghilang begitu keluar dari mulutku.
Aku berdiri di depan pintu gedung, menatapnya sejenak, mencoba merasakan sesuatu.
Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di sini yang belum kutemukan sebelumnya?
“Gedung ini kosong sejak lama. Apa yang kau cari di sini?” Suara seorang pria menyentakku dari lamunan.
Aku menoleh.
Di belakangku berdiri seorang petugas keamanan, mengenakan jaket tebal dengan lencana perusahaan keamanan swasta yang aku kenali.
Dia menatapku dengan curiga, tapi aku bisa melihat bahwa dia lebih ingin kembali ke tempat yang hangat ketimbang berurusan denganku.
“Saya hanya melihat-lihat,” jawabku tenang, memberinya tatapan singkat yang menunjukkan bahwa aku tidak tertarik untuk berdiskusi lebih jauh.
Aku menunjukkan lencana kecilku, meskipun itu hanya lencana penyidik swasta, kebanyakan orang tak pernah benar-benar repot memeriksanya lebih lanjut.
Dia mengangguk setengah hati dan berlalu, membiarkanku dengan pikiranku sendiri.
Aku melangkah masuk ke gedung, berusaha mengabaikan bau lembap dan tua yang langsung menyerang penciumanku.
Lorong di dalamnya gelap, hanya sedikit cahaya dari jendela-jendela besar di ujung koridor.
Setiap langkahku menimbulkan gema yang terasa berlebihan di tempat sunyi seperti ini.
Tempat ini adalah lokasi di mana korban pertama ditemukan.
Seorang eksekutif muda bernama Henry Vicks, ditemukan tewas di kantornya di lantai 12.
Menurut laporan forensik, tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada jejak yang tertinggal.
Hanya Henry, duduk di kursi dengan mata terbuka, tatapan kosong menatap ke arah jendela, dan segelas anggur merah yang masih setengah penuh di mejanya.
Seolah-olah dia menunggu kematiannya datang.
Aku menaiki lift yang lamban dan tua menuju lantai 12.
Saat pintu lift terbuka, aku merasakan angin dingin menyerang dari ujung koridor.
Di ujung sana, ruangan tempat Henry ditemukan tampak seperti kegelapan yang menunggu untuk menyergap siapa pun yang cukup bodoh untuk mendekat.
Langkahku ringan tapi teratur, seperti hitungan detak jantung.
Aku mendekati ruangan itu perlahan, mengingat setiap detail dari laporan.
Tidak ada bukti fisik yang mengarah pada pelaku.
Tidak ada sidik jari, tidak ada jejak DNA.
Bahkan anggur yang diminum Henry tidak menunjukkan adanya racun.
Aku memasuki ruangan itu.
Meja Henry masih di sana, dilapisi oleh debu tipis, tapi sisa-sisa kekayaan masih terlihat.
Kursi kulit hitam di belakang meja, tumpukan kertas yang sudah memudar, dan secarik kalender dinding yang berhenti pada tanggal kematiannya.
Aku berdiri di depan meja, memandang keluar jendela yang besar.
Pemandangan kota London terbentang luas, tapi di sini, dari sudut ruangan ini, semuanya terasa kecil, hampir tidak relevan.
Aku menarik kursi itu dan duduk, mencoba merasakan apa yang mungkin dirasakan Henry saat itu.
Seorang pria di puncak karirnya, berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa dia kontrol.
Apakah dia tahu YS akan datang untuknya?
Ataukah kematiannya adalah kejutan yang tak terduga?
Kemudian aku melihatnya—sesuatu yang kecil, hampir tidak terlihat, di bawah tumpukan kertas yang menumpuk di tepi meja.
Sebuah kartu. Aku meraihnya, mencoba menganalisisnya.
Di kartu itu hanya tertulis satu kata: "CHECKMATE."
Jantungku berdetak lebih cepat.
Ini adalah pesan dari YS, aku yakin.
Tapi kenapa dia meninggalkannya di sini?
Kenapa baru sekarang aku menemukannya?
Rasanya terlalu mudah, terlalu jelas.
Aku mengamati kartu itu lebih dekat, mencari jejak apapun—sidik jari, tinta, sesuatu.
Tapi kartu itu bersih.
Tidak ada yang aneh, tidak ada yang memberiku lebih banyak petunjuk.
Kartu ini hanyalah sebuah sinyal.
Sebuah pesan bahwa YS tahu aku akan berada di sini hari ini.
Apakah ini jebakan?
Aku merasa tengkukku mulai memanas. Seolah-olah ada seseorang yang mengamatiku dari jauh.
Aku memutar kepala ke arah pintu, tapi lorong masih kosong.
Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang telah mengikutiku.
Aku harus berhati-hati.
Jika Valen benar, dan YS selalu selangkah lebih maju, maka kartu ini mungkin hanya salah satu dari bagian rencana besar yang belum kusadari.
Aku harus bergerak lebih cepat. Sebelum dia mengambil langkah berikutnya.
****************
Setelah meninggalkan gedung, aku langsung menuju ke satu tempat yang mungkin bisa memberiku petunjuk lebih lanjut: Bank of England.
Salah satu bank sentral paling berpengaruh di dunia.
Henry, seperti korban-korban lainnya, memiliki keterlibatan dalam transaksi besar yang mengalir melalui sistem keuangan internasional.
Jika ada jejak transaksi mencurigakan yang terkait dengan YS, bank ini adalah tempat pertama yang harus kucari.
Masuk ke Bank of England tidaklah mudah.
Sistem keamanan mereka sangat ketat, dan aku bukanlah seseorang yang memiliki wewenang penuh untuk mengakses informasi di sana.
Tapi aku punya seseorang—seorang kenalan lama yang bekerja di bagian keamanan digital.
Namanya Claire, seorang mantan peretas yang sekarang bekerja di sisi yang legal.
Kami pernah bekerja bersama dalam beberapa kasus, dan aku tahu dia bisa diandalkan.
Aku menghubunginya, memastikan pertemuan di sebuah kafe kecil dekat St. Paul’s Cathedral.
Claire tiba tepat waktu, mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya yang pirang diikat rapi di belakang, dan tatapan serius di matanya.
“Aku tahu kau tidak akan menghubungiku hanya untuk minum kopi,” katanya sambil duduk, menyeruput cepat kopinya.
“Aku butuh akses ke beberapa transaksi yang mungkin tidak akan mudah kau temukan di permukaan,” kataku tanpa basa-basi.
Dia menatapku sejenak, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ini tentang YS, bukan?”
Aku terkejut dia tahu. “Bagaimana kau tahu tentang dia?”
“Semua orang yang bekerja di dunia keuangan gelap tahu tentang YS. Atau setidaknya, pernah mendengar namanya. Tapi tidak banyak yang tahu pasti apa yang dia lakukan. Kau sedang menjejakkan kaki di dunia yang sangat berbahaya.”
Aku mengangguk. “Itu sebabnya aku butuh bantuanmu.”
Claire menarik napas panjang, lalu membuka laptop yang dia bawa. “Baiklah. Sebutkan nama-nama yang kau butuhkan.”
Aku memberinya beberapa nama korban yang terkait dengan YS.
Aku tahu mereka semua punya koneksi dengan jaringan keuangan yang sangat sulit ditelusuri.
Beberapa menit kemudian, Claire mulai mengetik cepat di keyboard, menelusuri jaringan data yang rumit.
“Aku menemukan sesuatu,” katanya, memutar layar laptopnya ke arahku. “Transaksi senilai jutaan dolar, melalui rekening offshore yang tersebar di berbagai negara. Mereka semua terhubung ke perusahaan cangkang yang berbeda, tapi sumber uangnya berasal dari satu tempat yang sama.”
Aku menatap layar itu dengan intens. “Apa itu?”
“HSBC Hong Kong,” jawabnya. “Rekening tak terjamah. Tapi yang menarik, beberapa dari transaksi ini terjadi setelah kematian Henry.”
“Artinya...?”
“Artinya, YS tidak hanya membunuh untuk menutup mulut. Dia menggunakan kematian ini untuk memindahkan uang dalam jumlah besar, mungkin untuk mencuci uang atau menyembunyikan aset.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami besarnya permainan yang sedang berlangsung.
Ini bukan hanya tentang pembunuhan; ini adalah operasi besar-besaran yang melibatkan uang, kekuasaan, dan kendali global.
“YS mungkin lebih besar dari yang kita bayangkan,” kata Claire pelan.
Aku tahu dia benar.
Tapi pertanyaannya, seberapa jauh aku siap untuk menggali?
****************
Jalanan London semakin padat saat aku keluar dari kafe, memandang ke arah arus manusia yang bergerak tanpa henti.
Di tengah keramaian itu, aku merasa kecil.
Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.
Aku harus terus maju.
Namun, aku tak bisa mengabaikan perasaan bahwa YS, entah di mana dia berada, mungkin sedang tersenyum.
Angin dingin yang menusuk tulang menyambutku saat aku melangkah keluar dari kafe.
Langit London yang biasanya abu-abu kini tampak lebih kelam, seperti ada beban yang menggantung di atas kota.
Claire sudah kembali ke apartemennya, dan aku sendirian lagi, terjebak dalam alur pikiranku yang semakin kacau.
YS.
Nama itu kini semakin kuat menghantui setiap langkahku.
Aku tidak bisa menyingkirkan bayangannya, seolah-olah dia adalah sosok yang selalu ada di sudut pandangku, tetapi tak pernah benar-benar terlihat.
Kartu “CHECKMATE” yang kutemukan di kantor Henry adalah peringatan.
Tapi peringatan dari siapa?
Apakah itu dari YS langsung, atau ada orang lain yang juga bermain dalam permainan ini?
Aku mengisap napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Tidak ada yang pasti di sini, hanya ada jejak-jejak samar yang harus kuikuti dengan hati-hati.
Setiap langkah yang salah bisa menjadi akhir.
Malam ini, aku memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut transaksi yang Claire temukan.
HSBC Hong Kong.
Sebuah rekening tak terjamah yang terhubung dengan uang dalam jumlah besar.
Ada yang sangat besar dan sangat gelap di balik ini semua.
Aku merasa YS sedang menjalankan sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan atau pencurian.
Mungkin ini adalah jaringan kriminal tingkat global, atau bahkan lebih dari itu.
Aku tahu satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi lebih adalah dengan menjangkau seseorang yang lebih dalam terlibat dalam dunia perbankan bayangan.
Orang itu adalah Maxwell "Max" O'Reilly, seorang mantan eksekutif bank yang sekarang hidup sebagai penghubung dunia bawah tanah.
Jika ada satu orang di London yang tahu tentang pergerakan uang besar seperti ini, itu adalah Max.
Aku tidak bisa begitu saja menghubunginya.
Max adalah tipe orang yang selalu bergerak dalam bayangan, dan dia tidak akan mau bertemu dengan siapa pun tanpa jaminan keamanan.
Jadi, aku mengirimkan pesan kode yang hanya dia yang bisa pahami.
Sebuah kalimat singkat, tidak mencolok: "Minat dalam angka-angka besar."
Aku tahu dia akan segera tahu bahwa aku menginginkan sesuatu yang spesifik.
Aku hanya perlu menunggu tanggapannya.
Beberapa jam kemudian, teleponku berbunyi.
"Meet me in the usual place."
Itu saja.
Tidak ada basa-basi, tidak ada rincian.
Aku tahu di mana "tempat biasa" itu.
Sebuah pub kecil di sudut gang dekat Shoreditch, tempat yang cukup ramai untuk tidak menarik perhatian, tapi cukup terpencil untuk menyembunyikan percakapan penting.
Aku tiba di sana sekitar pukul sembilan malam.
Lampu-lampu neon berkelap-kelip di luar pub, memantulkan bayangan di jalanan basah.
Pub itu berbau asap rokok dan bir basi, dengan musik rock lama yang diputar dari jukebox di sudut ruangan.
Max duduk di meja belakang, mengenakan mantel panjang dan topi fedora yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
Dia sedang minum whiskey, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.
Aku duduk di depannya, tanpa berkata apa-apa pada awalnya.
Max adalah orang yang tidak suka berbasa-basi, jadi aku langsung masuk ke intinya.
"Aku butuh informasi tentang transaksi besar yang mengalir melalui HSBC Hong Kong," kataku pelan, menjaga nada suaraku agar hanya dia yang bisa mendengar.
Max mengangkat alisnya, seolah-olah dia sudah menebak maksudku bahkan sebelum aku menyebutkannya.
"Kau bermain di wilayah yang sangat berbahaya, Veiled," gumamnya dengan nada serius. "HSBC Hong Kong? Itu bukan tempat di mana orang-orang biasa menyimpan uang mereka. Kau tahu siapa yang beroperasi di sana?"
Aku menggeleng. "Itu yang sedang kucoba temukan."
Max mengambil napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Orang-orang yang menyimpan uang di sana... mereka bukan sekadar pelaku kriminal biasa. Ini bukan hanya tentang mafia atau pencucian uang. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan jaringan global, penguasa finansial dunia bayangan."
Aku menatapnya tajam. "Apa kau tahu siapa yang memiliki rekening yang kumaksud?"
Max menatap lurus ke arahku. Matanya yang suram kini tampak lebih serius daripada biasanya. "Kau mungkin tidak ingin tahu jawabannya, Veiled."
Jantungku mulai berdetak lebih cepat. "Siapa?"
Dia menundukkan kepalanya sedikit, lalu berbicara pelan, hampir berbisik. "YS."
Aku merasakan seperti ada batu besar yang menghantam dadaku.
YS.
Nama itu muncul lagi.
Maksudku, aku sudah menduga, tapi mendengarnya langsung dari mulut Max memberikan bobot yang berbeda.
Ini nyata.
YS bukan hanya seorang dalang pembunuhan, dia mengendalikan sesuatu yang jauh lebih besar—jaringan keuangan global yang gelap.
"Bagaimana aku bisa mendekatinya?" tanyaku.
Max tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam tawanya. "Mendekati YS? Kau gila, Veiled. Orang-orang yang mencoba mendekatinya... mereka hilang begitu saja. Dia punya mata di mana-mana. Dan dia tahu apa yang kau pikirkan bahkan sebelum kau memutuskannya."
"Aku tidak punya pilihan," kataku, mencoba tetap tenang. "Aku sudah terlalu dalam."
Max memandangku dengan tatapan yang seakan mengatakan, "Kau tidak akan selamat dari ini." Tetapi dia tidak mengucapkan kata-kata itu.
Sebagai gantinya, dia hanya berkata, "Ada satu orang yang mungkin bisa membantumu. Namanya James Colburn."
"Colburn?" Aku mencoba mengingat nama itu, tetapi tak ada yang muncul di ingatanku.
"Dia mantan analis finansial di Bank for International Settlements. Dia tahu bagaimana uang global bergerak, dan dia mungkin punya petunjuk tentang YS. Tapi, masalahnya... Colburn sekarang bersembunyi. Dia hilang setelah mencoba mengungkap jaringan ini beberapa tahun yang lalu."
Aku mengangguk, mencatat informasi itu dalam kepalaku. "Di mana aku bisa menemukannya?"
Max menggeleng. "Itulah masalahnya. Tak ada yang tahu pasti. Tapi ada rumor bahwa dia terlihat di Zurich beberapa bulan lalu. Jika kau bisa menemukannya, mungkin kau bisa mengorek lebih banyak tentang YS."
Zurich.
Itu berarti aku harus meninggalkan London dan mencari jejak di sana.
Tapi ini adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki saat ini.
Aku berdiri, meninggalkan beberapa pound di meja untuk minum Max. "Terima kasih."
Max tidak berkata apa-apa lagi, hanya memandangku dengan tatapan prihatin saat aku melangkah keluar dari pub.
Di luar, angin malam semakin menggigit.
London masih bergemuruh dengan kehidupan malamnya, tetapi aku merasa seolah-olah berada di dunia yang berbeda.
Setiap langkah yang kuambil terasa lebih berat, beban dari misteri yang belum terpecahkan menggantung di atas kepalaku.
****************
Aku tiba di apartemenku dan langsung duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mencari informasi tentang James Colburn.
Namanya hampir hilang dari radar publik setelah kepergiannya dari BIS.
Aku menggali lebih dalam, menemukan beberapa artikel lama tentang investigasinya terhadap jaringan keuangan gelap, tetapi tidak ada yang konkret.
Seolah-olah dia telah sengaja menghapus dirinya dari sejarah.
Aku mulai merasakan kelelahan.
Pikiranku berkabut setelah berjam-jam menatap layar dan membaca laporan-laporan lama.
Tapi ada satu hal yang terus menghantuiku—bagaimana mungkin YS bisa terus melarikan diri dari sistem peradilan global? Mengendalikan begitu banyak hal tanpa meninggalkan jejak?
Kemudian, aku menemukan sesuatu.
Sebuah artikel singkat dari beberapa tahun lalu yang menyebutkan Colburn terlibat dalam penyelidikan besar tentang pergerakan uang di pasar derivatif global.
Beberapa transaksi yang dia awasi terkait dengan kematian misterius beberapa eksekutif keuangan di Eropa.
Salah satu eksekutif yang disebutkan adalah Henry Vicks—korban pertama dalam penyelidikanku.
Ini bukan kebetulan.
Colburn pasti tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang melibatkan YS dan jaringan yang dia kendalikan.
Aku tahu langkah berikutnya sudah jelas: Aku harus menemukan James Colburn, dan aku harus melakukannya secepat mungkin.
Tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa YS mungkin sudah tahu aku akan mencarinya.
Setiap langkahku terasa seperti permainan catur, dan aku masih mencoba untuk memahami pola dari gerakan YS.
Aku menutup laptop dan menggosok wajahku, mencoba melawan rasa lelah yang menggerogotiku.
Besok, aku akan menghubungi beberapa kontak di Zurich dan mencari jejak Colburn.
Tapi malam ini, aku hanya bisa berharap bahwa aku tidak terlambat.
Saat aku berjalan menuju jendela apartemenku, menatap keluar ke jalanan yang sepi, sebuah pemikiran merayap ke dalam benakku: Mungkin aku sudah terlalu dalam.
Dan mungkin, inilah yang YS inginkan sejak awal.
Pagi di Zurich datang dengan kebisuan yang menusuk.
Jalan-jalan bersih di pusat kota tampak tenang, hampir steril, hanya ada sedikit orang yang lalu lalang di antara bangunan-bangunan yang dingin dan megah.
Aku berdiri di depan Stasiun Kereta Zürich Hauptbahnhof, memandangi menara jam yang tertempel di salah satu sudut gedung.
Setiap detik yang bergulir di jam itu terasa berat, seolah-olah mengingatkanku bahwa waktu yang kupunya semakin sempit.
James Colburn, mantan analis finansial dari BIS, pria yang mungkin menyimpan kunci untuk mengungkap YS, seharusnya berada di kota ini.
Zurich adalah jantung dunia perbankan internasional, tempat di mana transaksi besar dilakukan dengan sangat rahasia, dan aku tahu, jika ada tempat di mana seseorang bisa menghilang tanpa jejak, Zurich adalah salah satu pilihannya.
Aku berjalan menyusuri Bahnhofstrasse, salah satu jalan tersibuk di Zurich, sambil memikirkan strategi berikutnya.
Claire sudah mengirimkan beberapa data tambahan tentang Colburn—terakhir kali dia muncul di catatan resmi adalah tiga tahun lalu, sebelum dia “menghilang”.
Tapi informasi yang paling menarik adalah rumor bahwa dia masih menjalankan beberapa transaksi pribadi untuk klien berprofil tinggi.
Jika Colburn masih terlibat dalam jaringan ini, maka dia tidak sepenuhnya menghilang.
Dia hanya bersembunyi, dan aku yakin dia tetap berkomunikasi dengan orang-orang yang bisa mempercayainya.
Aku butuh jalan masuk ke lingkaran itu.
Aku memutuskan untuk mengunjungi salah satu kafe yang terkenal di kalangan bisnis Zurich, Café Odeon.
Di tempat ini, rumor mengatakan banyak transaksi keuangan besar dilakukan secara informal.
Kafe itu juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para intelektual dan pengusaha besar—semacam tempat di mana informasi bergerak dengan cepat, namun tak pernah dicatat.
Begitu aku masuk, aroma kopi segar dan suasana elegan langsung menyapaku.
Para pengunjung duduk dengan tenang, beberapa berbicara pelan sambil memeriksa layar ponsel atau laptop mereka.
Aku mengambil tempat di sudut yang tenang, memesan secangkir espresso, dan mulai memperhatikan.
Ini adalah salah satu teknik dasar dalam penyelidikan—pengamatan.
Kau tak selalu butuh bertanya langsung, kadang informasi datang padamu dengan cara yang halus jika kau tahu bagaimana caranya melihat.
Lalu aku melihatnya.
Seorang pria dengan jas abu-abu dan rambut yang mulai memutih di pelipisnya, duduk tidak jauh dari pintu masuk.
Dia tampak sibuk membaca dokumen-dokumen yang tersebar di mejanya, tetapi sesekali, matanya melirik ke sekitar ruangan.
Ada sesuatu yang canggung tentang gerakannya, seolah dia tidak ingin terlalu diperhatikan, namun tetap waspada.
Aku yakin itu dia—James Colburn.
Detak jantungku sedikit meningkat, namun aku berusaha tetap tenang.
Aku menunggu beberapa menit sebelum memutuskan untuk mendekat.
Tidak ada gunanya terburu-buru; orang seperti Colburn pasti sudah terbiasa dengan ancaman dan orang yang mendekatinya tanpa alasan yang jelas.
Aku harus bermain cerdik di sini.
Setelah dia selesai membaca satu dokumen dan menutup mapnya, aku mengambil napas dalam-dalam dan bangkit dari tempat dudukku.
Langkahku pelan namun pasti, dan ketika aku berdiri di samping mejanya, aku berkata dengan tenang, “Tuan Colburn?”
Dia mendongak.
Ada kilatan kejutan di matanya, namun hanya sesaat.
Dengan cepat, ekspresinya kembali tenang, penuh perhitungan.
"Siapa Anda?" suaranya dingin, namun aku bisa merasakan ketegangan di baliknya.
"Nama saya Veiled," jawabku. "Saya di sini karena saya percaya Anda tahu sesuatu tentang YS."
Darahnya jelas berdesir.
Aku melihat bagaimana jemarinya mengetuk meja dengan ritme yang tak teratur—tanda kecil bahwa apa yang kusampaikan membuatnya tidak nyaman.
"Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan," katanya, namun nadanya terdengar terlalu cepat.
Aku duduk tanpa menunggu diundang.
Aku tahu aku harus bermain tegas di sini. "Saya tahu Anda pernah terlibat dalam penyelidikan besar di BIS, dan saya tahu Anda sekarang menyembunyikan diri dari orang-orang yang sangat berbahaya. Saya bukan salah satu dari mereka. Saya mencari YS, sama seperti Anda."
Colburn menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya. "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Veiled. Jika kau tahu siapa YS, kau pasti akan menjauh."
Aku menatapnya tajam. "Saya tidak punya pilihan. Saya sudah terlalu dalam, dan sekarang satu-satunya jalan adalah maju."
Colburn memandangku selama beberapa detik, menimbang-nimbang apakah dia harus membuka diri atau tidak.
Akhirnya, dia menunduk, suaranya berubah lebih pelan. “YS bukan sekadar orang, dia adalah sistem, jaringan. Sesuatu yang kau tidak bisa sentuh langsung.”
"Sistem seperti apa?" Aku mengajukan pertanyaan dengan hati-hati.
“Bayangkan ini: sebuah jaringan keuangan yang melibatkan ratusan institusi di seluruh dunia. Bank, perusahaan, individu dengan kekayaan tak terbayangkan. Semuanya terhubung dalam satu simpul, namun tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa sebenarnya yang berada di puncak.”
"YS berada di puncak?"
Colburn menggeleng. "Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Tapi aku yakin, dia salah satu dari mereka yang mengendalikan. Mungkin bukan satu-satunya, tapi dia ada di sana. Di balik bayangan, menarik tali-tali yang membuat dunia bergerak."
Aku terdiam sejenak, mencerna semua informasi itu.
Jika YS adalah bagian dari jaringan global yang begitu besar, maka dia tidak hanya menjadi ancaman bagi beberapa individu atau bisnis, tapi seluruh tatanan keuangan dunia bisa bergantung pada pergerakannya.
"Kenapa kau meninggalkan BIS?" tanyaku, mencoba memahami lebih dalam motivasinya.
Colburn menatap kosong ke meja sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya aku temukan. Aku mulai melihat pola-pola dalam pergerakan uang. Transfer besar-besaran, jutaan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa jejak yang jelas. Lalu, ada kematian-kematian. Orang-orang di level tinggi, eksekutif, tiba-tiba mati tanpa penjelasan. Saat itulah aku sadar, ada kekuatan yang jauh lebih besar yang bermain.”
Aku mengangguk. “Henry Vicks. Salah satu dari mereka.”
“Ya, dan dia hanya permulaan. Sejak saat itu, aku tahu aku tidak akan selamat jika terus berada di dalam. Jadi, aku keluar, menghilang. Tapi mereka tetap menemukanku. Itulah mengapa aku berpindah-pindah, bersembunyi. Bahkan sekarang, aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan.”
Colburn tampak lelah.
Seluruh tubuhnya seperti menanggung beban yang tak terlihat, beban dari pengetahuan yang terlalu berbahaya untuk dimiliki.
“Aku bisa membantumu,” kataku.
Dia tertawa kecil, pahit. "Tidak ada yang bisa membantuku, Veiled. Jika kau terus maju, kau akan menemui akhir yang sama. YS akan menemuimu, entah itu secara langsung atau lewat seseorang. Dan saat itu terjadi, permainan selesai."
Aku menatapnya lekat. “Aku tidak akan berhenti.”
Colburn menghela napas panjang lagi, kali ini lebih dalam. "Kalau begitu, ada satu hal yang harus kau ketahui."
Dia membuka map di depannya, mengeluarkan satu lembar dokumen tipis. “Ini adalah salah satu transfer terakhir yang kulacak sebelum aku menghilang. Ada kaitannya dengan YS. Uang ini masuk ke rekening rahasia di Zurich, tapi sumbernya tidak pernah bisa diidentifikasi. Aku mencoba, tapi setiap kali aku mendekati jawabannya, aku dihadang.”
Aku memandang dokumen itu.
Ada angka-angka besar di sana, angka yang cukup untuk membuat perusahaan atau bahkan negara kecil berlutut.
Tapi satu hal yang menarik perhatianku adalah nama penerima—sebuah kode yang tidak asing bagiku.
“Argonne Foundation,” gumamku.
Nama itu muncul dalam beberapa transaksi sebelumnya, selalu berhubungan dengan jaringan bisnis yang rumit dan tidak jelas.
Colburn mengangguk. “Ya. Itu salah satu entitas yang digunakan untuk mencuci uang. Mereka memiliki hubungan langsung dengan YS.”
Aku tahu ini adalah petunjuk besar, tetapi semakin besar petunjuk itu, semakin berbahaya posisiku.
Setiap informasi baru yang kudapatkan membawaku lebih dekat ke pusat dari sesuatu yang sangat gelap.
“Terima kasih,” kataku pelan. “Ini akan sangat membantu.”
Colburn menatapku untuk terakhir kalinya, dengan tatapan yang seolah-olah tahu bahwa jalan di depanku penuh dengan jebakan. “Hati-hati, Veiled. Kau mungkin tidak akan selamat dari ini.”
Aku berdiri, meninggalkannya di sana, merasa beban baru menggantung di pundakku.
Aku punya nama, aku punya jejak, tapi aku juga tahu bahwa ini hanyalah permukaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
YS sudah memperhatikanku.
Dan sekarang, aku hanya bisa berharap aku masih punya waktu sebelum dia membuat langkah berikutnya.
***************
Zurich tetap dingin meskipun sinar matahari mulai menyelinap dari balik gedung-gedung tinggi di pusat kota.
Kafe tempat aku bertemu dengan Colburn sudah kosong.
Derap langkah sepatuku terasa berat, menggema dalam kesunyian yang menakutkan.
Langkah demi langkah, aku semakin mendekati kebenaran, dan perasaan terancam ini terus meningkat.
Colburn telah memberiku petunjuk, tetapi bersamaan dengan itu, ia juga memperingatkanku tentang risiko yang tak terhindarkan.
Kali ini, perasaan itu lebih dari sekadar kekhawatiran; ini bukan lagi permainan kucing dan tikus antara detektif dan buron.
Ini bukan soal menangkap pelaku, tapi soal kelangsungan hidup.
Nama "Argonne Foundation" berputar-putar di pikiranku, sebuah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Mengetahui bahwa organisasi ini terkait dengan YS adalah titik terang, namun juga awal dari jalan yang lebih gelap.
Mereka bukan entitas biasa—dengan jaringan uang yang begitu luas, mereka bisa mengendalikan banyak hal, termasuk membungkam siapa saja yang mencoba mengungkap terlalu banyak.
Aku kembali ke hotel kecil di tepi Sungai Limmat, menghadap Kota Tua Zurich.
Dari kamar, aku bisa melihat menara gereja Grossmünster yang berdiri megah.
Meski pemandangan itu damai, ada rasa tidak nyaman yang menggantung di udara.
Beberapa jam lalu, Claire menghubungiku, memberitahu bahwa dia sedang mencoba melacak jejak Argonne di dunia digital.
Meskipun dia tahu itu hampir mustahil, dia tidak mau menyerah.
Organisasi sebesar itu pasti memiliki lapisan demi lapisan pelindung.
Namun, yang lebih penting lagi adalah fakta yang kini mulai kuterima—YS tidak hanya berada di balik organisasi ini.
Dia adalah organisasi ini, atau setidaknya, salah satu bagian terpenting dari mesin yang menggerakkannya.
Jika aku ingin menghentikan semua ini, aku harus menghancurkan simpul di mana YS beroperasi.
Dan itu berarti, aku harus masuk lebih dalam.
Aku mengambil napas panjang dan meraih ponselku.
Satu panggilan singkat ke Claire.
"Veiled?" Suaranya terdengar di ujung telepon, agak serak karena kelelahan.
"Apa yang kau temukan?"
Ada jeda di seberang. Aku bisa mendengar dentingan keyboardnya sebelum dia menjawab, "Aku sudah memeriksa data transfer yang diberi Colburn. Argonne Foundation terhubung ke beberapa akun yang tidak bisa dilacak, tapi salah satu akun itu mengarah ke... sebuah aset di Geneva."
"Apa asetnya?" tanyaku dengan nada datar, meskipun dalam hatiku ada dorongan antusiasme.
Geneva adalah pusat diplomatik dan bisnis internasional, tempat ideal bagi operasi bawah tanah semacam ini.
"Aku belum sepenuhnya yakin, tapi ada properti di sana—villa mewah di tepi danau. Milik sebuah perusahaan cangkang yang terhubung ke Argonne."
Villa di tepi Danau Geneva. Tentu saja, tempat seperti itu sempurna bagi seseorang seperti YS.
Jauh dari pandangan publik, tetapi cukup dekat dengan pusat kekuasaan dan keuangan dunia.
"Bagaimana dengan pengamanannya?" tanyaku.
Tidak ada gunanya jika aku pergi ke sana hanya untuk menemui akhir yang sudah kuduga.
Claire terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Sistemnya ketat, tapi tidak tak terkalahkan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran militer atau keamanan kelas tinggi, lebih seperti privasi pribadi yang dijaga dengan sangat hati-hati. Kamera, penjaga, tetapi tidak ada yang tidak bisa ditembus."
Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Aku akan berangkat ke Geneva. Kau siapkan jalur aman untukku. Aku akan masuk malam ini."
"Veiled..." Claire terdengar ragu-ragu, "Kau yakin ini langkah yang benar? Ini YS. Tidak ada jaminan bahwa kau bisa keluar dari sini dengan selamat."
Aku merasakan getaran dalam nada suaranya.
Kekhawatirannya tidak berlebihan. YS adalah hantu yang mengintai dari bayangan, entitas yang tidak bisa disentuh dengan mudah.
Tetapi inilah saatnya.
Aku tidak bisa mundur sekarang.
"Tidak ada pilihan lain, Claire. Kita sudah terlalu dalam."
Aku mengakhiri panggilan sebelum Claire sempat membalas, lalu mulai mempersiapkan peralatan yang kubutuhkan.
****************
Tepat saat matahari terbenam, aku tiba di Geneva. Villa yang dikatakan Claire berada di ujung sepi Danau Geneva, jauh dari keramaian kota dan terletak di balik pagar tinggi serta hutan kecil.
Cahaya dari lampu jalan hampir tidak mencapai tempat itu.
Dalam kegelapan, villa tampak seperti istana kecil yang tak tersentuh oleh dunia luar.
Aku mengamati dari kejauhan, melalui teropong kecil yang kugunakan untuk mengidentifikasi gerakan dan pola penjagaan.
Ada dua penjaga yang berjaga di gerbang utama, tetapi dari pengamatanku selama satu jam terakhir, mereka lebih seperti penjaga untuk formalitas.
Fokus utama pengamanan tampaknya terletak pada sistem elektronik.
Aku merangkak melalui semak-semak, menuju pagar belakang yang sedikit tersembunyi oleh pepohonan.
Claire telah memberiku jalur yang aman melalui sistem pengawasan, dan aku harus memastikan aku tidak membuat kesalahan sekecil apa pun.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, aku berhasil melewati pagar tanpa terdeteksi.
Hati-hati, aku menuju bangunan utama, mengikuti bayangan yang dilemparkan oleh pohon-pohon dan dinding villa.
Villa itu megah, dengan jendela-jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah danau.
Tapi aku tahu, di dalamnya ada lebih dari sekadar kemewahan.
Aku menemukan pintu samping yang tidak terkunci—tanda bahwa ini lebih dari sekadar tempat tinggal mewah biasa.
Dengan hati-hati, aku masuk.
Suara-suara terdengar dari dalam ruangan, samar, namun cukup jelas untuk memberitahuku bahwa villa ini sedang ditempati.
Aku bergerak melalui lorong-lorong dengan langkah yang hampir tak bersuara.
Setiap langkah dihitung, setiap napas dijaga agar tetap tenang.
Ruangan-ruangan di dalam villa didekorasi dengan karya seni mahal, furnitur bergaya klasik, tetapi ada sesuatu yang terasa salah.
Villa ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah markas operasi.
Lalu aku melihatnya—sebuah pintu baja di ujung lorong, tersembunyi di balik dinding yang tampaknya biasa saja.
Tidak ada kunci fisik di pintu itu, hanya sebuah pemindai sidik jari.
Aku meraih alat kecil yang sudah kusiapkan, sebuah perangkat yang akan membantu mengakali pemindai tersebut.
Beberapa detik yang menegangkan berlalu, sebelum akhirnya pintu terbuka dengan suara dengung pelan.
Di dalam, ruangan itu gelap.
Cahaya dari layar komputer besar menyinari sekelilingnya.
Dan di sana, berdiri seorang pria.
Aku mengenalnya dari banyak deskripsi dan informasi yang kudapat selama penyelidikanku—YS.
Dia menoleh perlahan ke arahku, dengan senyum tipis yang penuh arti.
Tidak ada kejutan di wajahnya, hanya ketenangan yang dingin, seolah dia sudah menunggu kedatanganku selama ini.
"Kau akhirnya datang," katanya dengan suara rendah yang berwibawa.
Aku tidak menjawab.
Tanganku tetap di dekat pinggang, tempat pisau lipatku berada.
Tapi aku tahu, ini bukan pertarungan fisik. Ini perang psikologis.
"Kau sudah cukup jauh, Veiled," lanjutnya. "Tapi di sinilah akhirnya. Tidak ada yang bisa lolos dari bayangan ini."
"Aku tidak akan berhenti," suaraku terdengar lebih tegas daripada yang kuduga.
YS tertawa pelan, seolah-olah dia sudah mendengar jawaban itu berkali-kali. "Semua orang berkata begitu. Tapi pada akhirnya, mereka semua menyerah, atau hancur."
Aku melangkah lebih dekat, berusaha mengatur pikiranku dengan tenang. "Kau pikir kau bisa bersembunyi selamanya? Menarik tali dari balik layar tanpa ada yang tahu siapa kau sebenarnya?"
YS mengangkat bahu, tetap tenang. "Aku sudah melakukan ini selama bertahun-tahun. Kau hanyalah salah satu dari banyak orang yang mencoba menantangku. Dan mereka semua berakhir sama."
Aku merasakan denyut di dadaku.
Mungkin ini bukan tentang menangkapnya secara fisik, tapi menghancurkan jaringannya.
Aku tahu satu hal—jika aku bisa membuat dunia tahu tentang apa yang terjadi di sini, YS tidak akan bisa bersembunyi lagi.
Aku melangkah lebih dekat, bersiap untuk mengaktifkan perangkat yang kupersiapkan jika keadaan menjadi berbahaya.
Tapi saat aku mendekatinya, layar di belakang YS mulai menampilkan serangkaian angka dan informasi yang bergerak cepat.
Aku tahu ini adalah sistem yang mengontrol seluruh operasinya.
YS melihat ke arah layar dengan tenang, lalu kembali menatapku.
"Terlambat," katanya. "Semuanya sudah diatur."
Sebelum aku bisa bereaksi, terdengar bunyi ledakan keras dari belakang.
Suara itu begitu nyaring, seperti ledakan bom yang menghancurkan segala sesuatu dalam lintasannya.
Aku merasakan gelombang kejutnya lebih dulu—seolah-olah ada tangan raksasa yang menghantam tubuhku, menghancurkan tulang-belulangku dengan satu pukulan telak.
Dinding di sebelahku meledak dalam semburan dahsyat.
Fragmen beton dan pecahan kaca berhamburan ke segala arah, melesat seperti peluru yang mematikan.
Aku merasakan sepotong besar dinding menghantam punggungku, melemparkanku ke udara seperti boneka kain yang tidak berdaya.
Tubuhku terlempar dengan keras, menghantam lantai marmer dengan bunyi yang mengerikan.
Rasa panas yang menyakitkan menerjang wajahku, seakan api neraka sendiri telah menyentuh kulitku.
Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat. Kepalaku berdenyut hebat, seakan otakku dipaksa memproses terlalu banyak dalam waktu yang begitu singkat.
Debu daN asap memenuhi udara, menciptakan kabut tebal yang menyesakkan.
Pecahan beton, serpihan logam, dan potongan kaca beterbangan seperti badai mematikan, memotong dan merobek kulitku dengan setiap sentuhannya.
Aku merasakan darah hangat mengalir dari pelipisku, melewati wajahku, menetes ke lantai dengan suara yang anehnya terasa begitu jelas di tengah kekacauan ini.
Rasa logam dari darah mulai memenuhi mulutku, menambah rasa mual yang menggerogoti perutku.
Napasku tersengal-sengal, setiap tarikan nafas terasa seperti menyedot pecahan kaca ke dalam paru-paruku.
Saat aku berusaha bangkit, tubuhku menjerit dalam penderitaan.
Setiap gerakan membawa gelombang rasa sakit yang begitu intens, seakan-akan setiap otot, setiap sendi dalam tubuhku terbakar dan pecah.
Penglihatanku buram, bintik-bintik hitam mulai menari di pinggiran pandanganku, menandakan bahwa kesadaran mulai meninggalkanku.
Ruangan yang tadinya megah kini terlihat seperti mimpi buruk yang berputar-putar, seolah-olah dinding dan lantai sedang bergerak, mencoba menelan diriku.
Tubuhku terasa kaku dan berat, seakan-akan gravitasi tiba-tiba meningkat sepuluh kali lipat, menarikku kembali ke lantai dengan kejam.
Ada sesuatu yang salah—bukan hanya luka-luka ini.
Ada perasaan dingin yang merambat di tulang-tulangku, rasa takut yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Namun bukan karena luka fisik.
Tapi karena Ini adalah akhir.
YS mendekatiku dengan langkah tenang, setiap langkahnya menggema di lorong yang sekarang penuh dengan kehancuran.
Tatapannya dingin, tidak ada belas kasihan di dalamnya.
Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas meskipun pandanganku mulai kabur—wajah yang begitu tenang, begitu percaya diri, seakan dia sudah meramalkan semua ini sejak awal.
"Aku sudah memberitahumu, Veiled," katanya, suaranya begitu tenang dan berwibawa, seperti seorang hakim yang menjatuhkan hukuman mati. "Tidak ada yang bisa lolos."
Napas terakhirku terasa semakin sulit diambil.
Paru-paruku seperti dipenuhi oleh cairan, setiap usaha untuk bernapas hanya menghasilkan rasa sakit yang menusuk.
Darah mengalir lebih deras sekarang, membasahi lantai marmer villa, menciptakan genangan merah yang mengerikan.
Kehangatan dari darahku sendiri mulai memudar, digantikan oleh rasa dingin yang menyeramkan, seolah-olah kehidupan sedang mengalir keluar dari tubuhku bersama setiap tetes darah yang jatuh.
Aku ingin melawan, ingin bergerak, tapi tubuhku menolak.
Otot-ototku, yang sebelumnya begitu kuat dan tangguh, kini terasa seperti jelly.
Ada rasa putus asa yang mulai merayap ke dalam pikiranku, sebuah kesadaran yang mengerikan bahwa ini adalah akhir—akhir dari segalanya.
Semua perjuangan, semua penderitaan, semua harapan...
Semuanya akan berakhir di sini, di lantai dingin dan keras ini.
YS menatapku dengan tenang, seperti seorang penonton yang melihat akhir dari sebuah pertunjukan yang sudah lama dia nantikan.
Senyum tipis di wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kemenangan atau kegembiraan, hanya ketenangan yang dingin.
Bagi YS, ini bukanlah kemenangan—ini hanya hasil yang sudah pasti sejak awal.
Aku mencoba membuka mulutku, mencoba mengucapkan sesuatu—apapun, tapi suara yang keluar hanyalah bisikan lemah, tenggelam dalam rasa sakit dan kelemahan yang semakin dalam.
Dunia di sekitarku mulai memudar, suara-suara, warna-warna, semuanya memudar menjadi kegelapan yang dingin dan pekat.
Kini aku hanya memiliki satu pemikiran.
YS telah menang sejak awal.
Aku hanya tidak menyadarinya.
Dan sekarang, segalanya hanya sia-sia.
Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.
Tidak ada lagi suara, tidak ada lagi rasa sakit. Hanya ada kesunyian yang abadi.