Di tahun 1917, ketika Perang Dunia I mencapai puncaknya, desa kecil di Flandria, Belgia, masih menyimpan rasa damai di tengah kekacauan. Di sinilah Clara dan Daniel, sepasang kekasih, menjalani hari-hari terakhir mereka sebelum perang mengubah nasib mereka selamanya.
Clara adalah seorang perawat sukarela di sebuah rumah sakit lapangan yang dikelola oleh Palang Merah. Setiap hari, dia merawat para prajurit yang terluka dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Di luar rumah sakit, Daniel, seorang pemuda desa, bergabung dengan angkatan bersenjata untuk membela negaranya. Mereka sering bertemu ketika Daniel kembali ke desa untuk rehat sejenak.
Hari-hari sebelum keberangkatan Daniel ke garis depan adalah hari-hari bahagia bagi Clara. Mereka menghabiskan waktu bersama di tepi sungai yang tenang, saling bercerita tentang impian dan harapan mereka. Daniel, dengan penuh keyakinan, berkata, “Aku akan kembali, Clara. Aku akan kembali dan kita akan membangun masa depan bersama.”
Namun, perang tidak memberi jaminan. Suatu pagi, Clara menerima surat dari Daniel. Di dalamnya tertulis:
“Clara tersayang,
Ketika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah berada jauh di garis depan. Perang ini adalah medan yang keras, dan setiap hari aku menghadapi bahaya. Namun, satu hal yang selalu membuatku kuat adalah memikirkanmu. Kau adalah alasan aku terus bertahan.
Ketika aku kembali, aku berjanji kita akan kembali ke tempat kita dulu, di tepi sungai itu. Aku akan menanam pohon dan kita akan membuat kenangan baru. Tetapi jika takdir berkata lain, ketahuilah bahwa cintaku padamu tidak akan pernah pudar.
Dengan segala cinta,
Daniel.”
Surat itu menjadi harta karun bagi Clara, yang menyimpannya di bawah bantal tempat tidurnya. Setiap malam, dia membacanya sambil mengharapkan keselamatan Daniel. Namun, berita buruk datang lebih cepat dari yang dia harapkan. Dalam sebuah telegram resmi, Clara membaca bahwa Daniel terluka parah dan dinyatakan hilang di medan perang.
Hari-hari berlalu, dan meski Clara berusaha keras untuk terus maju, hatinya tak bisa mengatasi kehilangan. Dia kembali ke tepi sungai yang mereka cintai, namun air yang mengalir terasa seperti arus yang tak pernah berhenti mengingatkannya pada cinta yang hilang. Setiap hari, dia mengunjungi pohon kecil yang dia tanam di sana, pohon yang seharusnya menjadi simbol masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, perang berakhir dan Clara, kini sudah lebih tua, tetap setia pada kenangan Daniel. Dia sering bercerita kepada cucunya tentang seorang prajurit yang penuh cinta, yang tak pernah kembali tetapi meninggalkan warisan kasih yang tak terlupakan.
Pada hari terakhir Clara di tepi sungai, dia menulis surat terakhir untuk Daniel, menaruhnya di dalam kotak kayu kecil, dan meletakkannya di bawah pohon yang telah tumbuh besar. Surat itu berisi kata-kata yang tulus:
“Daniel tersayang,
Aku datang ke tempat kita untuk terakhir kalinya. Pohon ini telah tumbuh sebagaimana kita berharap, dan setiap daunnya mengingatkan aku pada cintamu. Meski kamu tak pernah kembali, cintamu tetap abadi dalam hatiku.
Kau telah memberi hidupku arti yang tak akan pernah pudar. Selamat tinggal, cintaku. Sampai kita bertemu lagi di surga.
Dengan seluruh cinta,
Clara.”
Saat Clara menutup mata untuk terakhir kalinya, angin sepoi-sepoi membawa pesan itu ke arah yang tak pernah dia bayangkan. Cinta mereka, meski tak pernah bersatu kembali di dunia ini, tetap hidup dalam kenangan dan harapan yang abadi.