---
Itoshi Rin from Blue Lock
(Name) as female reader fans Itoshi Rin
---
Hari ini valentine, salju turun lembut, menyelimuti dunia dengan selimut putih. Kita akan diperlihatkan sepasang suami istri bernama Rin dan (Name), dan kini (Name) sedang mengandung anak pertama mereka. Oh dan siapa sangka anak mereka kembar! Mereka berjalan beriringan, bayangan mereka menari-nari di atas hamparan salju. (Name), dengan senyum cerianya yang menawan, terus berceloteh tentang hadiah yang ingin dia terima di hari Valentine. Rin, dengan wajahnya yang dingin dan datar, hanya diam mendengarkan.
"Rin, aku ingin hadiah yang spesial," bisik (Name), matanya berbinar-binar. "Kamu tahu kan, aku suka sekali..." "Rin apa kau tau? Kita baru bertemu setelah sekian lama. Anakmu sungguh merindukan Papahnya, kau pasti sangat sibuk di Prancis, oh aku ingat kau hampir terjepit pintu kereta demi menemuiku."
"Jadi aku harap..."
"Diamlah, jangan membahas hal itu lagi." kata Rin dengan nada dingin yang menelusup hingga ke jantung mu.
"Hah... Baiklah, maafkan aku"
Rin hanya berdehem, tak menanggapi. (Name) menghela napas, sedikit kecewa. Dia tahu Rin tak pandai dalam urusan romantis, tapi dia berharap Rin sedikit peka.
Tiba-tiba, Rin berhenti berjalan. Kamu mengerutkan kening, heran. Rin menatapnya dengan mata tajam, lalu berkata dengan suara rendah, "(Name), listen. I've always been a fool, I know. I'm not good with words, especially when it comes to feelings. But I want you to know, I've been watching you, observing you. Your laughter, your smile, your kindness, they've painted my world with colors I never knew existed. You make me feel things I never thought I could feel. And I'm scared, (Name). Scared of losing you, scared of not being able to express what you mean to me." Rin benar-benar mempertaruhkan setiap harga dirinya dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.
(Name) terdiam, matanya membulat. Dia tak begitu mengerti apa yang dikatakan Rin. Bahasa Inggris bukanlah bahasa sehari-harinya. Tapi, dia bisa menangkap makna di balik kata-kata Rin. Senyum mengembang di wajahnya, dia menjawab.
"I love you too, Rin."
Rin tersipu, pipinya memerah seperti apel matang. Dia terkejut dengan jawaban mu. Dia mengira kamu tak mengerti bahasa Inggrisnya, tapi kamu malah menjawab dengan bahasa Inggris juga. Hening. Tak ada lagi percakapan setelah itu. Dengan Rin yang masih berjalan sambil tertunduk dan kamu yang terus menatap kedepan dengan wajah riang.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju stasiun. Rin masih terdiam, malu dengan perasaannya yang terungkap. Melihat keadaan Rin, kamu akhirnya ikut berhenti dan berbalik menghadap Rin. Kamu memperhatikan Rin, matamu penuh kasih sayang. "I will learn English for you, Rin," katanya. "You are so complicated, I need to understand you better."
Rin tersenyum, lega. Dia memeluk istrinya erat, menenggelamkan wajahnya di tengkuk mu. Hangatnya pelukan mu membuat Rin melupakan dinginnya salju. Kamu juga membalas pelukan Rin, merasa bahagia. Mereka berdua saling mencintai, dan itu lebih penting daripada apapun.
"Hey Rin? Ayo lepaskan pelukannya, orang-orang menatap kita.."
"I don't care, let it be like this for now."
"Oh ya, bagaimana kalau aku menjawab pidato mu barusan dengan jawaban panjang juga?"
"Hey, berhentilah mengejekku bocah, tapi y-ya aku bersyukur kau sudah sedikit belajar tentang bahasa Inggris."
"Haha, kau menginginkannya?"
"Terserah, kau hanya idiot kata-kata mu semuanya tak berarti."
"Mulutmu jahat sekali Rin, tapi meskipun begitu aku ini tetap seorang penulis kau tau?"
"Jika kau menggunakan bahasa Inggris, maka aku akan menjawab dengan bahasa seorang novelis."
"Sastra itu rumit, dan merepotkan."
"Kau justru lebih merepotkan, sayangku."
"Hentikan panggilan itu, sangat kekanak-kanakan."
"Haha baiklah, aku mulai ya?"
"Hatiku, sebuah peti musik tua, kini berdentang riang dengan melodi baru. Melodi yang tercipta dari wajah datarmu, dari tatapan matamu, dari setiap hela napasmu yang menyapa jiwaku. Dunia, yang dulunya abu-abu, kini diwarnai pelangi rona, dihiasi kilau bintang yang tak pernah padam.
"Setiap pagi, embun pagi menyapa dengan bisikan namamu. Setiap sore, mentari senja menyapa dengan warna rindu. Bunga-bunga bermekaran, menebarkan aroma harum yang mengingatkanmu. Burung-burung berkicau, menyanyikan lagu cinta yang terinspirasi darimu."
"Aku, seperti kupu-kupu yang terpesona oleh cahaya mentari, terbang tanpa arah, tanpa tujuan, hanya mengikuti jejakmu. Aku, seperti sungai yang mengalir ke laut, tak henti-hentinya terbawa arus cinta yang menggulung."
"Pembuluh darahku selalu bergejolak ketika didekatmu, aku merasakan benih cinta menari-nari dalam perutku, nadiku seakan berteriak menyebut namamu."
"Kau ini sedang menyatakan cinta atau membuat cerpen? Panjang sekali, sudahlah ayo pulang sebelum saljunya makin tebal."
"Panjang-panjang begini kau mau mendengarkan nya sampai akhir kan?"
Rin tak menjawab dan mulai berjalan menjauh meninggalkan gadisnya.
"Hey tunggu aku!!"
"Rin kau mau aku belikan apa?" Tanya (Name), setelah ia berhasil menyamai langkahnya dengan sang suami.
"For?"
"Untuk valentine tentu saja, selama ini kau sudah bersusah payah untuk menghidupi ku. Setidaknya aku ingin memberikan sesuatu padamu. Oh, dan aku sudah menabung untuk itu."
"Jangan berlebihan, itu sudah kewajiban ku."
"Sudahlah Rin, katakan saja kau mau apa? Biar aku yang membelikannya."
"Baiklah kita pergi ke toko sepatu dulu, disini tidak ada mall."
"Ya, tapi aku suka suasana disini, tidak terlalu berisik dan banyak polusi."
"Kau mau aku belikan sepatu bola yang baru?"
"Ayo kesana dulu aja"
"Omong-omong (Name), aku tak bisa lama disini besok aku harus kembali ke Prancis ya, itu pertandingan besar... Kau mau ikut?"
"Aku akan selalu menemanimu Rin"
"Kau sedang hamil anak kembar, yakin tidak masalah?"
"Jangan khawatirkan aku, mereka juga pasti ingin melihat papahnya menang."
"Hey, aku belum tentu menang loh."
Kamu terkekeh pelan "Tidak apa-apa, yang pasti aku ingin menonton mu, kau juga tidak berniat kalah kan?"
"Ya, tak kan kubiarkan mereka melihat kekalahan ku." Ujar Rin dengan tatapan mata tajam.
"Oh kita sudah sampai. Ternyata disini juga banyak ya model sepatu yang bagus."
"Ayo, kau mau yang mana Rin?"
"Eumm yang ini saja deh." Katanya sambil menunjuk kearah sepatu bola, yang kelihatannya tampak mahal.
"Woah, yang ini harganya berapa?"
"11,9jt ¥..."
"Kau yakin?" Ujar Rin sambil menyunggingkan bibirnya.
"Oh tentu, hanya itu saja? Haha bahkan hasil penjualan Novelku masih lebih banyak dari ini."
"Ok, aku ambil yang ini."
Mereka berjalan menuju villa. Salju mulai turun, tak terlalu lebat, tapi cukup dingin. Hari semakin gelap. Tiba-tiba, dari arah belakang, seorang pengendara motor mendekat. Dengan cepat, ia menghentikan motornya dan mengarahkan besi tajam ke kepala (Name). (Name) terhuyung, jatuh ke tanah, darah mengucur dari kepalanya. Rin terlambat bereaksi. Ia hanya bisa terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Rin langsung berjongkok di samping mu, tangannya gemetar saat menyentuh wajah istrinya. Kamu sudah hampir tak sadarkan diri, matamu hampir terpejam, napasmu tersengal-sengal. Darah segar dari kepalamu mengotori salju putih, membuatnya tampak merah dan mengerikan.
"(Name)!" Rin berteriak, suaranya bergetar. Ia mengelus wajah mu dengan lembut, berharap istrinya tak apa.
"Rin... jangan khawatir...," bisik mu, suaranya lemah. "Aku baik-baik saja...," lanjutnya, matanya menatap Rin dengan penuh kasih sayang. Sebenarnya kondisi mu sekarang sangat buruk, penglihatan mu sangat kabur dan kepalamu sangat sakit, tapi kamu berbohong agar Rin tidak khawatir, yh walaupun itu tidak berhasil.
Rin tak menghiraukan orang yang menyerang mu. Ia panik, pikirannya kalut. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan memanggil ambulans. Namun, panggilannya terputus. Mereka berada di tempat terpencil, jauh dari keramaian. Jalan menuju villa mereka terjal dan tertutup salju, sulit dilalui kendaraan.
"Rin maaf, aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu." (Name) berbisik, suaranya sangat pelan. "Sepertinya aku sudah tak kuat lagi" lanjutnya, matanya terpejam.
"(Name), apa yang kau katakan? Kita akan pulang ke villa kan? Kita akan istirahat, lalu besok kita terbang ke Prancis aku sudah membeli tiket untuk kita berdua." Rin berbisik, air matanya mulai mengalir. Ia menggendong (Name) di punggungnya, tubuhnya terasa lemas. Salju semakin lebat, dingin menusuk tulang. Rin sangat takut kehilangan (Name) dan calon anak kembar mereka.
"Rin maaf, aku tak bisa menjaga anak-anakmu."
"Ah.. Padahal aku selalu bermimpi saat kita sudah menjadi orang tua, dan di pagi hari aku membangunkan mereka dan membuatkan kalian sarapan lalu mengantarnya kesekolah."
"Tenang sayang, aku akan selalu bersamamu saat itu"
"Padahal aku ingin melihat senyumanmu setiap aku bangun di pagi hari, tapi kau selalu berada jauh disana.."
"Setelah ini aku akan mengajakmu ke Prancis dan kau bisa melihat senyuman ku setiap pagi ya?"
"Kau tau Rin? Sangat sulit untuk membuatmu tersenyum, tapi aku tak akan pernah lupa saat kau tersenyum pertama kalinya untukku. Itu sangat manis." Ucap (Name) dengan suara yang bergetar hebat, nafasnya menggelitik leher Rin yang menggendong nya.
"Hey Rin... maukah kau menatapku? Aku ingin melihat senyummu.."
Rin mengelus kepala istrinya sebentar, hingga tangannya terkena darah yang terus mengalir, akhirnya Rin menyunggingkan bibirnya dan tersenyum, pahit. Meski begitu matanya tak bisa berbohong, Rin terus menangis menitikkan air mata.
"Lihat? Aku sudah tersenyum hanya untukmu, hanya kau yang bisa melihatnya (Name) sayangku."
"Jangan buang air matamu yang berharga Rin, kau selalu mengatakan itu padaku bukan?"
"Sudah jangan bicara lagi (Name), kau memperburuk pendarahannya, jadilah penurut dan tenang ya. Aku akan menyelamatkan mu dan dua malaikat kecil kita."
Seolah sudah tuli (Name) tetap berbicara meski lidahnya sudah mulai kelu, kepalanya sakit serta pandangannya kabur, (Name) terus berucap kata "Rin Aku ingin sekali melihat rambutmu yang indah memutih, Aku mencintaimu Rin, aku selalu mencintaimu."
"Aku juga selalu mencintaimu (Name), dan akan selalu seperti itu."
"Maafkan keegoisan ku ini, tapi bolehkah Aku meminta sesuatu untukmu?"
"Apapun sayang, Aku akan mengabulkan nya."
"Jika Aku sudah tak bisa melihat hari esok tolong lupakan Aku, dan Aku minta maaf sekali lagi jika aku tak bisa melihat mu bertanding besok, tapi kau berjanji untuk menang kan? Tolong menangkan pertandingan esok untukku."
"Jangan terus-terusan minta maaf!"
"Iya (Name), Aku akan memakai sepatu pemberian mu untuk bertanding, dan setelah bertanding kita bisa makan roti croissant kesukaan mu. Setelah itu kita bisa melihat menara Eiffel ya?"
"Aku selalu menantikan hari esok, kita juga bisa membeli peralatan bayi disana ya?"
Hening, tak ada jawaban.
Napas (Name) semakin berat, tubuhnya terasa dingin. Hingga Rin sudah tak bisa merasakan detak jantung mu dipunggung nya. Rin berlari sekuat tenaga, berharap bisa mencapai jalan raya dan mendapatkan pertolongan. Namun, napas mu semakin tersengal. Akhirnya, (Name) menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Rin.
"(Name)... Sayang kau masih disana kan?"
Rin berteriak putus asa, suaranya tertelan oleh angin dingin dan salju yang semakin lebat. Ia tak percaya. (Nwme), istrinya, calon ibu dari anak-anaknya, telah pergi untuk selamanya. Ia mencengkeram erat tubuh (Name) yang pucat, tak ingin melepaskannya. "Hey, jawab aku, jangan bercanda ini tidak lucu! Sayang?"
"Tuhan Aku mohon jangan ambil dia dariku, kembalikan dia padaku..!!"
"Tuhan, kau boleh mengambil apapun dalam hidupku asal jangan dia, aku hanya memiliki nya dalam hidupku."
"Suaranya... Biarkan Aku mendengarnya sekali lagi, Aku masih ingat melihat senyumnya yang candu."
"Ya Tuhan apa ini takdir yang kau tuliskan untukku? Apa salahku hingga kau harus merenggut ia dariku."
Rin sungguh tak terima dengan kejadian yang terbilang singkat itu. Ia terus mengutuk takdir yang telah merenggut istri dan anaknya. Ia masih terdiam memeluk tubuh (Name) yang sudah tak bernyawa dan berlumuran darah. Rin bahkan sudah tak sanggup untuk melangkahkan kakinya lagi dan terduduk lemas dengan (Name) yang masih dipelukannya. Membiarkan suara tangisnya teredam oleh salju dan angin pada malam itu. Pikiran Rin sudah sangat kacau, jangankan tentang pertandingan esok ia saja sudah tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan saat ini.
Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Rin akan mati kedinginan bersama istrinya? Atau ia malah menelpon bantuan? Bagaimana dengan pertandingan esok?
Jika kalian ingin tau jawaban dari semua pertanyaan itu, jawabannya akan Author sediakan di salah satu novel khusus yang akan Author buat tentang Itoshi Brothers.
Oh ya, selamat ulang tahun Itoshi Rin. Ini hadiahnya efforts banget kan Aku? Sampai bikin cerpen haha. Cepet baikan ama abangmu ya, Aku tunggu.
"Kamu nafas aja cantik, apalagi gak nafas."
-Itoshi Rin
『𝐒𝐞𝐧𝐢𝐧 ⓪➒-⓪➒-②⓿②➍』
@𝑅𝑒𝑖~