Mencintainya terasa begitu berat untukku.
Sikapnya yang dingin namun kadang hangat, anehnya membuatku merasa nyaman.
Bertahun tinggal bersama, aku menyadari bahwa aku mulai menaruh hati padanya.
Sampai pada titik dimana aku menyadari bahwa hatinya tidak pernah ada untukku.
Yang Membuatku mulai menyerah dan pasrah pada hubungan di antara kita.
Dan tak lagi mencoba untuk mempertahankannya.
Karena pada akhirnya aku akan tetap kalah.
Hingga penuh pertimbangan, aku pun mulai untuk melepaskannya.
"Ayo Kita Cerai" adalah kata yang pada akhirnya harus ku katakan di depannya.
Tiga kata yang cukup mengejutkan untuk di katakan maupun di dengar. Bukan hal mudah, mengingat kata-kata itu memiliki makna yang amat menyakitkan, yaitu perpisahan. Perpisahan di antara hubungan suami maupun istri. Hubungan yang nyatanya sudah berjalan lebih dari 3 tahun lamanya itu kini sedang menuju pada titik terakhirnya. Titik terakhir bagi keduanya yang memang sedari awal tidak pernah saling mencintai.
"Hanya itu yang ingin aku katakan, maaf kalau sudah menyita waktu kamu hari ini"
Dengan kedua mata yang berkaca-kaca menatap wajah suami yang saat ini berdiri tepat di depannya, Nivea mencoba meyakinkan dirinya untuk tetap tegar dan kuat. Walau sakit, ia harus rela untuk melepaskanya demi kebahagiaan dirinya.
"Terimakasih untuk semuanya, maaf jika selama ini aku terlalu melewati batas. Andai aku tau dari awal, mungkin aku tidak akan memulainya" tersenyum getir mengingat kembali awal mula semua di mulai di antara keduanya.
Ia terdiam sejenak seolah sedang bernostalgia.
"Meski begitu, aku tidak pernah menyesal kita akhirnya menikah" senyuman yang tak menandakan kebahagiaan,terihat begitu menyakitkan. Seakan memperlihatkan betapa ia begitu berat untuk mengakhirinya.
Mencoba sekuat tenaga untuk merelakan semuanya, Nivea akhirnya menyadari bahwa ini adalah yang terbaik untuk keduanya.
"Maaf, harusnya aku lebih peka"
Davin tak bergeming mendengar semua perkataan istrinya, ia terdiam seolah sedang mencerna satu persatu, mengingat hal ini yang terlalu tiba-tiba untuknya yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya, terlebih keduanya membicarakan ditempat yang tidak biasa yaitu di galeri.
"Entah sengaja ataupun tidak, kita bertemu pertama kali ditempat ini dan sekarang pun kita mengakirinya ditempat ini juga" kembali mengingat bagaimana keduanya bertemu, Nivea tersenyum getir melihat lukisan-lukisan di sampingnya.
"Sepertinya kamu capek hari ini, lebih baik kita bicarakan lagi dirumah karena aku harus pergi sekarang"
Sedari tadi diam, Davin mulai membuka mulutnya dan hendak pergi dari ruangan seolah tidak tau harus menanggapi seperti apa.
"Aku sudah mengirimkan surat perceraian, aku rasa mungkin sudah sampai suratnya" seakan sudah mantap akan keputusanya, Nivea kembali menegaskan inti dari pertemuan keduanya hari ini, sedangkan Davin kembali diam mematung dengan keterkejutanya yang seakan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dan hanya bisa menatap wajah sang istri yang saat ini sedang memintanya untuk berpisah.
...
Biar aku saja yang pergi,
Pergi dari hubungan ini,
Hubungan yang memang tak lagi sejalan untuk kita jalani,
Mengingat hatinya bukanlah untukku,
Akan sangat melelahkan jika harus memaksa untuk terus bersamanya,
Walau berat hati ini untuk melepaskanya,
Namun, aku tetap harus merelakannya.