Aku mengelap keringat di dahi sambil terus berjalan mendorong gerobak berisi blok jamur tiram. Pondok penyemaian jamur tiram milik Etek-ku tidak jauh dari rumahnya, tapi mendorong grobak sampai kesana terasa begitu berat karena beban yang kuangkut dengan gerobak. Untuk orang yang tidak biasa bekerja sepertiku, ini pekerjaan yang sangat menguras tenaga. Tapi membayangkan uang 20 ribu rupiah yang Etek janjikan, aku jadi bersemangat. Jumlah itu sangat lumayan bagiku.
Aku mencoba menguatkan diri. Rasa sedih menyeruak di dadaku, hampir jadi tangisan jika saja aku tidak mengontrolnya. Sejak Ayahku meninggal 2 tahun lalu, aku jarang sekali bisa memiliki uang di saku. Penghasilan Ibu hanya cukup untuk makan sederhana, hampir tidak bisa mencukupi gadis dewasa sepertiku. Jika saja Ibu tidak melarangku bekerja, aku pasti sudah mulai mencarinya sejak masa berduka keluarga kami selesai.
"Melamun?"tanya Etekku saat aku sampai di pondok.
Aku hanya tersenyum. "Ini yang terakhir, Tek,"kataku sambil membuka sarung tangan.
Etek mengeluarkan selembar uang berwarna hijau dari saku dasternya, seperti biasa. Etek memang selalu menyiapkan uang untuk mengupahku di saku bajunya. Tidak pernah lebih dan juga tidak pernah kurang dari yang ia janjikan. Saat ia mengulurkan uang itu padaku, aku menerimanya dengan senyuman.
"Aku balik, ya, Tek. Mau masak makan siang,"kataku.
"Iya. Kapan-kapan bantu Etek lagi, ya, Ami."
"Iya, Tek. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku berjalan kembali ke rumahku yang bertetanggaan dengan rumah Etek-ku. Aku langsung membuka kulkas tua milik keluargaku saat sampai di rumah. Setelah mengambil 2 butir telur ayam dan bawang merah, aku berjalan ke dapur untuk mengolah 2 bahan itu menjadi telur dadar. Hanya ini yang tersedia di kulkas selain es batu yang dibuat Ibu untuk di jual.
Kata Ibu, sepulang dari memanen sawah tetangga nanti, ia akan mengisi kulkas. Mudah-mudahan Ibu mau membeli ayam. Aku sudah rindu rasanya karena sudah berminggu hanya makan telur dan ikan asin. Yah, aku tidak bisa protes. Mustahil Ibu bisa membeli bahan makanan mahal yang ada di luar kemampuannya. Ibuku hanya petani penggarap dan Ibu juga punya dua tanggungan untuk diberi makan. Sudah pasti Ibu akan memilih bahan makanan termurah yang ada di warung.
Aku menatap uang 20 ribu pemberian Etek-ku. Meraba teksturnya membuatku tersenyum. Akhirnya aku bisa menabung lagi. Jika aku mendapat beberapa puluh ribu lagi, aku akan bisa membeli pakaian baru untuk di pakai sehari-hari. Rasa haru merasuk ke dalam hatiku.
Ayah, putri Ayah sudah mulai bisa mandiri. Apa Ayah bisa tenang di alam kubur?
###
Aku mengakhiri panggilan dengan adikku karena melihat mata Ibu yang mulai memerah. Adikku meminta uang lagi tadi dan Ibu yang tidak punya uang menjanjikan sampai besok siang. Entah pada siapa lagi Ibu akan berhutang untuk memberi adik bungsuku makan di rantau sana.
"Bu, biarin aku cari kerja, ya. Kita nggak bisa begini terus. Kalau Ibu sendiri yang kerja, kita berempat nggak akan bisa makan,"kataku dengan nada mendesak.
"Pesan terakhir Ayah kalian, kalian nggak boleh kerja. Itu amanah buat Ibu,"tegasnya.
"Si bungsu kenapa boleh kerja? Dia masih STM tapi Ibu udah bolehin dia kerja sambilan. Ibu juga masih kirim uang buat dia hidup di kota. Kenapa kami bertiga nggak diperlakukan sama?"
"Si bungsu laki-laki, Nak. Sedangkan kamu dan Ani perempuan. Bahaya kalau kalian kerja di luar sana."
"Ibu juga perempuan, kok boleh kerja?"
Wajah Ibu menggelap. "Kalau Ibu nggak kerja, kalian bertiga siapa yang kasih makan?! Kamu pikir beras turun dari langit?!"
Aku tertunduk karena tidak bisa menjawab kata-katanya. Ibu memang keras kepala, selalu mengaku kesusahan tapi menolak dibantu. Melihat wajah lelahnya membuatku merasa bersalah karena hanya bisa menumpang hidup. Tapi melihat kekeras kepalaannya setiap kali aku mengatakan ingin bekerja, aku berpikir kekolotan Ibu menghalangiku untuk maju.
Jadi bukan salahku jika ia repot mengurusi kami. Toh memang maunya begitu. Untuk apa aku repot-repot menentang? Menentangnya demi kebaikannya sendiri? Aku tidak sebaik itu.
Aku beranjak dari hadapan Ibu setelah Ibu memalingkan wajahnya dengan raut kesal. Aku tidak ingin bertengkar. Suasana hatiku sudah cukup buruk. Aku tidak ingin perasaanku semakin galau karena memikirkan kebaikan bersama. Perutku sendiri kelaparan, jadi kenapa harus memikirkan perut lapar si bungsu. Biarlah itu jadi urusan Ibu saja.
Aku mengambil keranjang berisi kainku yang belum dilipat lalu mulai melipatnya. Perlahan air mataku terbit karena teringat kesusahanku sendiri. Aku ingin merasakan makanan lain selain buatan Ibu. Aku ingin bisa punya gadget yang layarnya tidak retak seperti layar HP-ku. Kapan, ya, aku bisa punya penghasilan sendiri?
###
Aku menatap warung sarapan pagi itu dengan penuh tekat. Aku akan melamar pekerjaan ke sana, tidak peduli akan seberapa marah Ibu padaku. Aku siap bertengkar dengannya demi bisa membeli apa yang kuinginkan.
Dengan langkah penuh tekat aku berjalan mendekat. Aku masuk ke warung yang lumayan ramai itu dan berhenti di konter tempat pembeli biasa memesan makanan.
"Tek Mona, di sini lagi ada lowongan pekerjaan nggak?"tanyaku.
Tek Mona sang pemilik warung menatapku lama. "Buat kamu?"
Lidahku kelu mendapat tatapan begitu. Karena itu aku hanya bisa mengangguk.
"Cuci piring mau?"
"Mau!"seruku.
Tek Mona tersenyum. "Bisa kupas bawang?"
"Bisa, Tek!"
"Gajimu 40 ribu sehari. Masuk jam 7 pulang jam 12. Gimana?"
"Iya, Tek. Aku mau. Kapan aku bisa mulai?"
"Besok. Bicarakan dengan Ibumu, ya. Etek nggak mau bertengkar dengan dia. Nanti sibuk bertengkar saja karena memperkerjakan kamu."
Deg! "Iya, Tek."
"Ya sudah."
"Permisi kalau begitu." Aku kembali ke rumah dan duduk termenung di ruang tamu. Kira-kira Ibu mau mengizinkan atau tidak ya?
###
Ibu mengomeliku dari luar kamar, membuatku hanya bisa menangis tanpa bisa balas bicara. Ibu menolak keinginanku untuk bekerja, bahkan sampai mengancam akan melabrak Tek Mona jika aku berani datang besok pagi. Aku sampai memaki Ibu karena kesal. Dia tidak pernah memberi jajan tapi berani melarangku untuk bekerja. Benar-benar memuakkan.
Aku benar-benar merindukan saat-saat Ayah masih ada dan masih membiayai hidup keluarga kami. Aku rindu pergi membeli makanan pada malam hari bersamanya. Aku rindu bisa membeli pakaian pakai uang sakuku sendiri. Terlebih lagi, aku rindu mengobrol dengannya sambil duduk di ruang keluarga.
"Aku kangen Ayah!"raungku.
Ibu terdiam seketika, tapi tidak berusaha menghentikanku meraungkan kerinduanku berkali-kali. Bisik-bisik tetangga mulai terdengar dari luar rumah, tapi aku tidak berniat menghentikan tangisku. Biar saja mereka tahu betapa jahatnya Ibu padaku. Aku tidak mempedulikan apa-apa lagi.
#Tamat#