Arumi keluar dengan bergegas, tak seperti biasanya. Dari arah kamar hingga ke halaman luar cukup ia lakukan dengan hitungan detik. Arumi si kura-kura, begitulah orang-orang biasa menjuluki, sekarang... jangan bilang kalau semua ini gara-gara sepatu itu; sepasang sepatu yang kini tengah membungkus kaki Arumi itu; apa iya sepatu itu memiliki bilah-bilah sayap yang membuat kaki pemakainya seperti tak menjejak tanah. Sepatu kets bekas yang ia beli dari Rahmi. Padahal, sepatu itu adalah sepatu kesayangan Rahmi. Berhubung kepepet duit dengan berat hati, Rahmi, harus merelakan sepatu itu berpindah tangan alias berganti kepemilikan. Tapi dengan satu perjanjian, kalau uang bulanan dari kampung tiba, Rahmi, dapat menebus kembali sepatu tersebut. Begitupun Arumi juga tak mau kalah memberi syarat, tak sampai satu Minggu.
Arumi seperti terlahir lagi.
Benar-benar berbeda. Begitu teman-teman sekostan berujar, berseru kagum, serta yang kaget pangling juga tak sedikit. Lirikan mata itu tak putus-putus melirik Arumi, dari: ujung jempol kaki hingga sampai keujung kepala.
"Arumi seperti berjodoh dengan sepatu itu ya,' bisik seorang teman kepada teman di sebelahnya. Si teman mengangguk mengiyakan. "Beda ya kalau Arumi yang pakai,' ujar yang lain lagi. "Jadi terlihat lebih gimana gitu... Padahal kalau si Rahmi yang pakai ya kayak gak gimana-gimana gitu, biasa, gak... lebih-lebih itukan cuma sepatu bekas!" Timpal teman yang lain. Semua kepala pada manggut-manggut kayak burung pelatuk.
Di balik pintu sebuah kamar terdengar suara hela nafas yang terdengar panjang dan berat. "Masak iya Arumi yang berjodoh dengan sepatu itu!? Gak! Gak boleh! Itu gak boleh! Sepatu itu milikku! Sepatu itu...."
Seketika bayangan lelaki tua renta tiba-tiba muncul dihadapan si pemilik suara yang sesungguhnya lagi kesal mendengar ocehan dari teman-teman sekost-an di luar kamarnya sana.
"Neng, gak bakal nyesel deh kalo mau mahar-in nih sepatu!"
"Maksudnya apa, Pak!?"
"Kalo nih sepatu memang berjodoh dengan Eneng, bapak jamin ini sepatu bakalan... Sekurang-kurangnya Neng bakalan terlihat lebih cantik..."
"Iye, emang aye cantik,"
"Lah malah kelihatan tambah lebih cantik ntar. Itu sekurang-kurangnya... Lebihnya ini juga kalo Neng percaya..."
"Percaya tuh sama Tuhan, Pak. Bukan ke bapak, bukan juga ke sepatu,"
"Selain ini sepatu bisa bikin Neng terbang, ini sepatu juga bisa mewujudkan impian, Neng."
"Lampu Aladin kali ah. Ngiklannya kelewatan nih si bapak. Jujur sih saya agak suka juga sih. Tapi harganya gak bisa dikurangi lagi. Kemahalan. Lagian agak kekecilan juga sih ke aku. Yang aku suka itu warna dan desainnya gitu, gak norak. Tapi sayang agak lusuh gitu."
"Lah kalo lusuh kan bisa dibersihkan, Neng. Gak kurang lagi, Neng. Kayaknya ini sepatu pas deh ke kaki, Neng. Dicobain sok,"
"Iya udah deh. Itung-itung nolongin si bapak."
"Makasih, Neng. Moga-moga berjodoh. Kalau benar berjodoh Neng gak bakalan nyesel. Neng, bisa pegang omongan bapak."
'Mi... Rahmi.... Rahmi..... ' Terdengar suara yang berteriak-teriak dari balik pintu. "Mi, kuliah woii... Molor aja kerja loe...!"
Rahmi tersentak mundur, kaget ia tampaknya. Sebentar kemudian tas ransel yang tergeletak di tempat tidur ia renggut. Engsel pintu ia tarik bergegas. Daun pintu pun ditarik kedalam. Pintu kamar terbuka lebar Rahmi berlari keluar.