Dia mengakhiri hubungan kami dengan amat mudah, seolah-olah diriku hanya orang yang tidak berarti dalam hidupnya. Padahal dia pernah mengaku cinta. Apa dia sudah kehilangan rasa itu dari hatinya? Atau pengakuan itu hanya dusta untuk menguras dompetku saja?
Aku menghembuskan asap rokok pemberian sahabatku, Hasan. Enak sekali rasanya bisa merokok lagi. Jika Meli melihatnya, dia pasti marah besar. Katanya merokok itu pemborosan, padahal pacaran dengannya menghabiskan ratusan ribu sekali jalan dan dia tidak pernah mengatakannya sebagai pemborosan. Mungkin dia berpikir aku hanya boleh mengeluarkan uang untuknya.
"Kenapa? Rokok yang kukasih nggak enak?"tanya Hasan.
Aku menghembuskan gumpalan asap lagi. "Rokoknya enak, San. Hatiku yang nggak enak. Sesak sekali rasanya. Malam ini dingin, tapi badanku gerah. Kenapa begini sekali, ya, rasanya kecewa?"
Hasan menyulut rokok juga, mendiamkanku sampai beberapa kali hembusan asap. "Kamu selamat, Tedi. Dia cuma mau uangmu. Cinta berbayar kayak gitu cuma manis selama kamu punya uang."
"Aku baru sadar, San. Memang bego aku selama ini. Pintar sekali dia. Aku kapok punya pasangan, San,"ucapku.
"Jangan bodoh begitu. Hidupmu nggak akan manis tanpa perempuan. Mau ngobrol begini sama aku sampai tua? Aku nggak akan selalu ada waktu. Minggu depan aku nikah dan akan mulai sibuk sama perempuanku. Mau ngerokok di temenin siapa kamu nanti?"
Hasan membuatku semakin putus asa saja. "Bukannya ngobatin, kamu malah bikin makin putus asa, San."
"Bukannya niat buruk, bro. Tapi memang nggak bisa kayak dulu lagi kalau aku udah nikah. Calon istriku orang rumahan, nggak akan mau di ajak pergi-pergi terus. Kalau di tinggal sendiri, kasihan."
Aku terkekeh. Betapa beruntungnya Hasan. Calon istrinya lembut dan pandai mengurus rumah. Bukan seperti mantan kekasihku yang apa-apa beli. Hasan benar, aku beruntung. Tapi kekecewaanku membuat logika itu tidak bisa dicerna hatiku. Sampai akhirnya sesak itu tidak bisa kutanggung lagi dan tangisku luruh jadi air mata.
Aku bisa mendengar hembusan nafas Hasan yang terdengar letih. Mungkin ia lelah aku repotkan. Aku datang ke rumahnya sejak tadi siang dan masih bertahan di sini walau sudah lewat tengah malam. Aku pasti sudah menjemukan sekali baginya.
"Aku minta maaf kalau nggak bisa bikin kamu senang. Aku nggak berpengalaman dikecewakan perempuan. Kamu tahu sendiri aku baru pacaran sekali dan sangat beruntung karena dia tulus padaku,"katanya.
"Nggak usah pamer!"
Dia membuang nafas. "Orang yang lagi sakit hati tuh sensitif banget, ya? Aku jadi nggak paham sedikit pun sama emosimu, Ted. Di redam, lah."
Aku menangis semakin keras, tidak mempedulikan kalau orang tuanya akan datang. Aku patah hati. Kesinisan memenuhi pikiranku sekarang. Kenapa aku harus menahan emosiku?
###
"Makan, lah, Ted. Mama masak sop iga, loh,"bujuk Mamaku lembut. "Kemarin malam kamu juga nggak makan. Sekarang sudah jam makan siang. Makanlah, Nak."
Aku menggelengkan kepalaku yang sedang menangkup di bantal. "Tadi pagi udah makan roti,"kataku tanpa semangat.
"Cuma roti?"
Aku tidak menjawab karena hatiku diliputi kekesalan. Perhatian Mama bukanlah hal yang kuharapkan sekarang. Aku hanya ingin sendiri dan kembali melanjutkan ratapanku. Tapi aku yakin Mama memilih menolak untuk paham karena baginya kesehatanku adalah yang terpenting dibandingkan kemauanku yang bagaimana pun.
"Mama bawain ke sini, mau?"tanya Mama lagi.
"Ma!"bentakku. "Tinggalin aku sendiri!"
Mama memukul punggungku. "Jangan lemah! Perempuan macam itu nggak pantas untuk kamu tangisi!"bentaknya balik.
Aku meringis. Pukulan Mama tidak main-main, sakit sekali. Aku menatapnya takut-takut, langsung ciut karena menemukan kemarahan di wajahnya. "Aku nggak mau makan,"kataku, nyaris menyerupai gumaman.
"Terus mau apa? Mati?"
Aku meringis. Sinis sekali. Mama pasti benar-benar muak padaku. "Nanti Tedi makan, kok, Ma. Tunggu sebentar, masih belum lapar."
"Kalau kamu sakit nanti siapa yang repot? Perempuan yang udah bikin kamu kecewa itu, hah? Bukan, kan. Pasti Mama lagi, Mama lagi, Ted. Jangan bikin Mama repot ngurusin kamu terus. Mama udah capek mikirin Papa kamu yang kawin lagi!"omelnya.
"Kan Papa kawin lagi bukan salahku, Ma,"kataku.
"Ngelawan?!"
Aku diam saja.
Mama membuang nafas, terdengar muak. Ia lalu pergi, meninggalkanku dengan rasa bersalah memenuhi hati. Mama selalu berusaha tegar, tapi sebagai anak aku malah memancingnya untuk marah. Aku merasa tidak berguna.
###
Aku berjalan ke Cafe favoritku yang ada di dekat rumah. Tadi aku di telpon Papa yang ingin mengantar uang untukku. Jika saja nominalnya tidak besar, aku tidak akan sudi untuk menemuinya lagi. Aku benci sekali pada Papa sejak ia menikahi pacarnya yang cuma 5 tahun lebih tua dariku itu.
Aku kehilangan rasa kagumku padanya. Dulu di mataku Papa adalah laki-laki setia dan bertanggung jawab yang membuatku merasa pantas berbangga diri karena jadi anaknya. Sekarang aku merasa Papa tidak lebih dari seorang yang pintar bersembunyi dibalik nama baiknya selama ini. Palsu, seperti itulah Papa di mataku sekarang. Tapi demi bertahan hidup, aku tetap mendatanginya. Aku butuh uang itu.
Dari depan Cafe, aku melihatnya sedang duduk sendiri sambil sibuk menyantap sepiring makanan. Aku menghembuskan nafas, merasa resah karena akan bicara dengannya. Masih terpatri jelas di ingatanku kejadian dua bulan lalu saat Papa memaksa Mama menyetujui pernikahan keduanya yang berakhir dengan tamparan di pipi Papa oleh Mama. Aku belum tahu harus bersikap bagaimana, tapi aku tahu kalau aku butuh uang yang Papa janjikan.
Akhirnya aku masuk ke Cafe dan duduk di seberang Papa. "Halo, Pa. Apa kabar,"sapaku basa-basi.
"Tumben banget nada suaramu formal gitu,"singgungnya.
Aku berusaha tersenyum padanya. "Aku nggak mau pesan, Pa. Kalau bisa aku mau uangnya aja,"kataku tanpa basa-basi.
"Nanti. Temenin Papa makan dulu. Papa masih kangen kamu."
Ingin menolak sebenarnya. Tapi Papa sepertinya tidak akan suka jika kutolak. "Iya. Aku temenin,"kataku akhirnya.
"Mamamu gimana? Masih marah sama Papa?"
"Mama sering ngomel. Sering kelihatan habis nangis juga. Berat buat Mama, Pa. Berat juga buatku. Aku mau kita balik kayak dulu lagi sebenarnya,"terangku tanpa ditahan-tahan.
Papa berhenti makan. Ia meletakkan sendok dan garpunya di piring yang hampir kosong lalu menatapku tanpa berkedip. "Papa nggak bisa. Istri kedua Papa butuh Papa. Papa juga udah bahagia sama dia. Justru Papa niat buat ceraiin Mamamu. Papa udah nggak sanggup lagi dengar omelan dia tiap hari. Bikin panas kuping dan hati aja."
"Nggak ada jalan lain, Pa?"
"Kayaknya nggak. Papa jenuh dengan keluarga kita, Nak. Papa butuh penyegaran."
Muak sekali mendengarnya. "Pa, aku buru-buru. Mana uangnya?"desakku.
Papa mengeluarkan dompet yang tebal. Ia menghitung uang lembaran seratus ribu. "Satu setengah juta. Cukup-cukupin buat sebulan, ya."
Aku menerima uang yang Papa ulurkan dengan sikap tenang yang sangat aku usahakan. "Makasih, Pa. Aku pamit."
Papa mengangguk.
Aku pergi sambil menahan tangis. Seandainya saja aku bukan pengangguran aku tidak akan beramah-tamah dengan Papa demi uang. Hatiku sakit karena penghianatannya. Rasanya aku tidak akan sanggup melakukan hal menjijikkan ini satu kali lagi. Aku harus segera mencari pekerjaan
###
Aku merebahkan tubuh di lantai kamar Hasan. Kami sedang menghisap rokok yang kubeli dengan uang Papa. Kata Hasan ini pertama kalinya aku menawarinya rokok setelah sekian lama aku meminta rokoknya. Aku menceritakan semuanya pada teman baikku itu dan ia memberi respon yang mengejutkan.
Ia menangis. Demi aku. Baru kali ini ada yang menangis demi aku. Aku terharu sekali sampai tidak bisa berhenti terisak. Ah, seandainya Hasan perempuan sudah sejak tadi aku menciumnya dan mengajaknya menikah.
"Besok datang aja ke bengkel Abangku. Dia lagi cari orang buat pembukuan. Kamu pasti di terima. Aku udah cerita masalahmu ke dia,"kata Hasan.
"Makasih, ya, San. Aku jadi bisa tenang. Masalahku banyak banget. Nggak punya uang cuma bikin aku semakin pusing. Nggak nafsu makan aku rasanya akhir-akhir ini."
"Nanti beli nasi padang favoritmu sebelum pulang. Atau mau aku temenin?"
"Temeninlah,"ajakku.
"Oke. Habisin dulu rokokmu."
Aku mengangguk lalu kembali menikmati rokokku. Hidupku sedang tidak indah sekarang, tapi pertemananku dan Hasan berhasil membuat hidupku baik-baik saja. Betapa beruntungnya aku memiliki dia.
###