Langit sore itu penuh warna. Jingga, merah muda, dan ungu bercampur menjadi harmoni sempurna. Angin lembut meniup rambut seorang gadis yang berdiri di tepi danau. Ia mengenakan gaun putih sederhana, dengan mata yang memandang jauh ke permukaan air. Gadis itu adalah Alya, seorang penyendiri yang sering menghabiskan waktunya di tempat ini, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Di sisi lain danau, seorang pemuda dengan ransel hitam tampak sibuk memotret pemandangan. Namanya Aksara, seorang fotografer amatir yang baru pindah ke desa itu beberapa minggu lalu. Ia terpesona oleh keindahan danau Sunyaragi dan menjadikannya proyek pribadi untuk mengabadikan setiap sudutnya.
Saat sedang memotret, lensa kameranya menangkap sosok Alya. Wajahnya yang tenang dan senyum kecil yang terlukis samar di bibirnya membuat Aksara tak bisa mengalihkan pandangan. Ia tak sengaja menekan tombol shutter, menangkap momen itu tanpa izin.
Alya menyadarinya. Ia menoleh, tatapannya bertemu dengan Aksara yang berdiri kaku di seberang danau. Merasa tertangkap basah, Aksara segera menurunkan kameranya dan berjalan mendekat dengan raut wajah canggung.
“Maaf,” ucapnya saat sudah cukup dekat. “Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya... kebetulan melihatmu dan—”
“Kau memotretnya?” potong Alya, suaranya lembut tapi tegas.
Aksara terdiam sejenak, kemudian mengangguk. “Iya. Tapi aku bisa menghapusnya jika kau keberatan.”
Alya memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, lalu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran, apakah aku terlihat menarik dalam fotomu?”
Aksara terkejut mendengar respons itu. Ia tak menyangka gadis itu akan berkata seperti itu. Dengan sedikit gugup, ia menunjukkan hasil fotonya. “Ini,” katanya, menyerahkan kameranya pada Alya.
Alya melihat gambar dirinya di layar kamera. Di sana, ia terlihat berdiri di tepi danau dengan latar langit jingga yang memukau. Ada sesuatu dalam foto itu yang membuatnya terpaku, seperti melihat dirinya sendiri dari sudut pandang yang berbeda.
“Indah,” gumam Alya, setengah untuk dirinya sendiri.
“Langitnya memang indah sore ini,” balas Aksara, mencoba meredakan kegugupannya.
Alya menggeleng, masih memandang layar kamera. “Bukan. Aku maksud diriku. Dalam fotomu, aku terlihat... hidup.”
Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Kata-kata Alya terasa seperti teka-teki bagi Aksara, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Namaku Aksara,” katanya, mencoba mengubah suasana.
“Alya,” jawab gadis itu sambil menyerahkan kembali kameranya.
Sejak hari itu, pertemuan mereka di tepi danau menjadi awal dari sebuah cerita. Setiap sore, mereka mulai menghabiskan waktu bersama—berbagi cerita, mimpi, dan rahasia yang tak pernah mereka bagikan pada orang lain.
Namun, di balik senyuman Alya yang menenangkan, ada sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang ia simpan rapat-rapat, jauh di dalam Lanjut Bab 3: Retakan Keheningan
Aksara menyadari sesuatu yang berbeda dari Alya sejak hari itu. Gadis itu menjadi lebih pendiam, sering termenung lama memandangi danau, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri. Namun, setiap kali Aksara bertanya, Alya hanya tersenyum samar dan mengalihkan pembicaraan.
Di suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar, Aksara tak tahan lagi dengan keheningan yang semakin sering menyelimuti pertemuan mereka.
“Alya, apa kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, penuh kekhawatiran.
Alya menoleh, tampak sedikit terkejut. Namun, ia segera memaksakan senyum. “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Karena aku melihatnya,” jawab Aksara. “Aku melihat kesedihan di matamu, Alya. Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini kalau kau butuh seseorang.”
Alya terdiam lama. Kata-kata Aksara menggantung di udara, memukul perlahan lapisan dinding yang ia bangun di sekeliling dirinya.
“Aku takut,” gumamnya akhirnya.
Aksara menatapnya. “Takut pada apa?”
Alya menunduk, memainkan ujung gaunnya. “Takut membuatmu kecewa. Takut kau akan membenciku jika aku berkata jujur.”
“Alya, aku tidak akan pernah membencimu. Apa pun itu, aku ingin tahu. Aku ingin mengerti.”
Alya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Aksara. Ada air mata yang menggenang di sana, sesuatu yang belum pernah Aksara lihat sebelumnya.
“Aksara,” katanya dengan suara bergetar, “aku sakit.”
Kata-kata itu keluar seperti pecahan kaca yang menghantam hati Aksara. Ia membeku, mencoba mencerna apa yang baru saja Alya katakan.
“Apa maksudmu?” bisiknya.
“Aku punya penyakit,” lanjut Alya, suaranya lemah. “Penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Aku sudah tahu ini sejak lama, tapi aku tidak pernah memberitahu siapa pun. Aku... aku tidak ingin dikasihani.”
Aksara merasakan dadanya sesak. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa seperti menguap dari pikirannya. Ia hanya menatap Alya, mencari kejujuran dalam matanya.
“Aku tidak tahu berapa lama lagi aku punya waktu,” tambah Alya. “Itulah kenapa aku tidak ingin terikat. Aku takut jika aku membiarkan seseorang masuk ke hidupku, aku hanya akan meninggalkan luka.”
Aksara mengambil napas dalam-dalam. Ia menatap Alya dengan penuh keteguhan. “Jadi, itulah kenapa kau selalu menjaga jarak? Kau takut aku akan terluka?”
Alya mengangguk pelan. “Aku tidak ingin menyakitimu, Aksara.”
“Tapi kau sudah menyakitiku dengan mencoba menjauh,” balas Aksara. Suaranya penuh emosi, tapi tidak ada kemarahan di sana. “Kau pikir aku akan mundur hanya karena tahu kau sakit? Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”
Alya terkejut mendengar nada tegas dalam suara Aksara.
“Alya,” lanjut Aksara, “aku tidak peduli seberapa panjang waktumu. Aku tidak peduli jika aku harus menghadapi kehilangan di akhirnya. Yang aku pedulikan adalah saat ini, di sini, bersamamu. Jangan buat keputusan untukku. Biarkan aku memilih. Dan aku memilih tetap berada di sisimu.”
Air mata Alya akhirnya jatuh. Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya menunduk dan menangis dalam keheningan. Aksara mendekat, meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Jangan tanggung ini sendirian, Alya,” bisik Aksara. “Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sini.”
Dalam keheningan sore itu, Alya merasa beban yang selama ini ia pikul sedikit berkurang. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan seseorang masuk ke dalam dunianya yang penuh retakan.
Namun di dalam hatinya, Alya tahu: cinta ini mungkin tidak akan bertahan lama, karena waktu adalah musuh yang tidak bisa mereka lawan.
Tamat Bab 3
Hari-hari berlalu, dan pertemuan Aksara dan Alya di tepi danau menjadi kebiasaan. Aksara sering datang dengan kameranya, mengabadikan setiap sudut pemandangan dan sesekali meminta Alya menjadi modelnya. Alya, meskipun awalnya ragu, mulai menikmati kebersamaan mereka.
Di suatu sore, saat langit berubah keemasan, Alya duduk di bawah pohon besar sambil memperhatikan Aksara yang sibuk mengatur sudut kameranya. “Kenapa kau suka memotret?” tanyanya tiba-tiba.
Aksara menoleh, tersenyum. “Karena setiap foto punya cerita. Bahkan hal kecil seperti bayangan daun di tanah, jika kau tangkap dengan sudut yang tepat, bisa bercerita tentang waktu, tentang cahaya, atau tentang kehidupan.”
Alya mengangguk pelan, lalu menatap danau. “Tapi tidak semua cerita ingin diceritakan, bukan?” katanya dengan nada yang lebih pelan.
Aksara terdiam, menangkap nada sedih dalam ucapan Alya. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, tetapi ia tidak ingin mendesak.
“Bagaimana denganmu?” tanya Aksara, mencoba mengalihkan perhatian Alya. “Apa yang kau suka?”
Alya tertawa kecil. “Aku suka menulis. Dulu, aku ingin jadi penulis. Aku ingin menciptakan dunia di mana segalanya bisa berakhir bahagia. Tapi...” ia berhenti, suaranya melemah.
“Tapi apa?” Aksara mendorongnya dengan lembut.
“Tapi aku sadar, hidup tidak selalu seperti itu. Tidak semua cerita punya akhir bahagia,” jawabnya dengan senyum pahit.
Aksara menatap Alya, mencoba mencari makna di balik kata-katanya. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Alya berdiri dan berjalan ke arah danau.
“Kau tahu,” lanjut Alya, “aku pernah membaca tentang teori bahwa setiap orang punya jatah waktu tertentu di dunia ini. Jika waktumu sudah habis, tidak peduli seberapa keras kau mencoba, kau tidak bisa menghindarinya.”
Aksara merasa ada sesuatu yang berat dalam kata-kata itu. Ia mengikuti Alya ke tepi danau, berdiri di sampingnya. “Aku tidak percaya itu,” katanya akhirnya. “Menurutku, hidup tidak diukur dari seberapa panjang waktumu, tapi dari apa yang kau lakukan dengan waktu itu.”
Alya menoleh, menatap Aksara dengan mata yang sedikit berkilat. “Kau selalu punya jawaban untuk segalanya, ya?”
Aksara tertawa kecil. “Tidak juga. Tapi aku percaya, setiap orang berhak untuk berharap, meskipun dunia kadang tidak adil.”
Mereka terdiam lagi, membiarkan suara angin dan gemericik air danau mengisi keheningan. Di balik sikap ceria Aksara, Alya bisa merasakan ketulusan yang perlahan mengisi hatinya.
Namun, di dalam dirinya, Alya tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ada sesuatu yang harus ia katakan, sesuatu yang harus ia akhiri sebelum semuanya menjadi terlalu dalam.
Malam itu, Alya menulis surat.
Surat itu ditujukan untuk Aksara, berisi kejujuran yang selama ini ia sembunyikan. Tentang penyakit yang menggerogoti tubuhnya, tentang waktu yang semakin menipis, dan tentang rasa takutnya akan cinta yang tidak bisa ia berikan.
Tetapi ketika pagi tiba, Alya tidak pernah memberikannya. Ia hanya menyimpannya di dalam tas, menunggu waktu yang tepat, meskipun ia tahu waktu itu mungkin tidak akan pernah datang.
Aksara menyadari sesuatu yang berbeda dari Alya sejak hari itu. Gadis itu menjadi lebih pendiam, sering termenung lama memandangi danau, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri. Namun, setiap kali Aksara bertanya, Alya hanya tersenyum samar dan mengalihkan pembicaraan.
Di suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar, Aksara tak tahan lagi dengan keheningan yang semakin sering menyelimuti pertemuan mereka.
“Alya, apa kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, penuh kekhawatiran.
Alya menoleh, tampak sedikit terkejut. Namun, ia segera memaksakan senyum. “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Karena aku melihatnya,” jawab Aksara. “Aku melihat kesedihan di matamu, Alya. Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini kalau kau butuh seseorang.”
Alya terdiam lama. Kata-kata Aksara menggantung di udara, memukul perlahan lapisan dinding yang ia bangun di sekeliling dirinya.
“Aku takut,” gumamnya akhirnya.
Aksara menatapnya. “Takut pada apa?”
Alya menunduk, memainkan ujung gaunnya. “Takut membuatmu kecewa. Takut kau akan membenciku jika aku berkata jujur.”
“Alya, aku tidak akan pernah membencimu. Apa pun itu, aku ingin tahu. Aku ingin mengerti.”
Alya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Aksara. Ada air mata yang menggenang di sana, sesuatu yang belum pernah Aksara lihat sebelumnya.
“Aksara,” katanya dengan suara bergetar, “aku sakit.”
Kata-kata itu keluar seperti pecahan kaca yang menghantam hati Aksara. Ia membeku, mencoba mencerna apa yang baru saja Alya katakan.
“Apa maksudmu?” bisiknya.
“Aku punya penyakit,” lanjut Alya, suaranya lemah. “Penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Aku sudah tahu ini sejak lama, tapi aku tidak pernah memberitahu siapa pun. Aku... aku tidak ingin dikasihani.”
Aksara merasakan dadanya sesak. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa seperti menguap dari pikirannya. Ia hanya menatap Alya, mencari kejujuran dalam matanya.
“Aku tidak tahu berapa lama lagi aku punya waktu,” tambah Alya. “Itulah kenapa aku tidak ingin terikat. Aku takut jika aku membiarkan seseorang masuk ke hidupku, aku hanya akan meninggalkan luka.”
Aksara mengambil napas dalam-dalam. Ia menatap Alya dengan penuh keteguhan. “Jadi, itulah kenapa kau selalu menjaga jarak? Kau takut aku akan terluka?”
Alya mengangguk pelan. “Aku tidak ingin menyakitimu, Aksara.”
“Tapi kau sudah menyakitiku dengan mencoba menjauh,” balas Aksara. Suaranya penuh emosi, tapi tidak ada kemarahan di sana. “Kau pikir aku akan mundur hanya karena tahu kau sakit? Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”
Alya terkejut mendengar nada tegas dalam suara Aksara.
“Alya,” lanjut Aksara, “aku tidak peduli seberapa panjang waktumu. Aku tidak peduli jika aku harus menghadapi kehilangan di akhirnya. Yang aku pedulikan adalah saat ini, di sini, bersamamu. Jangan buat keputusan untukku. Biarkan aku memilih. Dan aku memilih tetap berada di sisimu.”
Air mata Alya akhirnya jatuh. Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya menunduk dan menangis dalam keheningan. Aksara mendekat, meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Jangan tanggung ini sendirian, Alya,” bisik Aksara. “Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sini.”
Dalam keheningan sore itu, Alya merasa beban yang selama ini ia pikul sedikit berkurang. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan seseorang masuk ke dalam dunianya yang penuh retakan.
Namun di dalam hatinya, Alya tahu: cinta ini mungkin tidak akan bertahan lama, karena waktu adalah musuh yang tidak bisa mereka lawan
Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan penuh kedamaian, meskipun di balik senyuman mereka, ada kesedihan yang tak terucapkan. Aksara dan Alya semakin dekat, berbagi momen-momen kecil yang penuh arti, seperti saling menguatkan di tengah badai yang mereka tahu tak terhindarkan. Aksara tetap setia di samping Alya, meskipun ia tahu bahwa waktu mereka bersama terbatas.
Namun, meskipun begitu, mereka terus menciptakan kenangan-kenangan baru. Aksara membawa kamera ke mana pun mereka pergi, mengabadikan setiap momen kebersamaan mereka di bawah langit biru, di tengah hamparan bunga, dan di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui bersama. Setiap foto adalah bukti cinta yang mereka bagi tanpa kata, sebuah cinta yang tumbuh dalam diam, namun begitu mendalam.
Suatu sore, ketika langit mulai memerah dan matahari mulai tenggelam, mereka duduk bersama di tepi danau, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Aksara memandang Alya dengan tatapan penuh kasih.
“Alya,” katanya pelan, “Aku tahu kita tidak bisa menghindari kenyataan. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan menyesal, meski waktumu singkat. Aku hanya ingin bersamamu, bahkan jika itu hanya untuk sekejap.”
Alya menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Aku juga tidak menyesal, Aksara. Bahkan jika aku harus pergi besok, aku tahu aku telah merasakan cinta yang sejati. Dan itu cukup bagiku.”
Air mata mulai mengalir di wajah Alya, namun ia tidak berusaha menahan. Aksara meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat.
“Alya...” bisik Aksara, suaranya bergetar. “Aku akan selalu mengingatmu. Aku akan membawa kenangan kita bersama dalam setiap fotoku. Dan jika suatu hari aku merasa kehilangan, aku akan datang ke sini, ke tempat ini, di mana kita pertama kali bertemu. Karena di sini, aku tahu kau masih ada.”
Alya tersenyum dengan mata yang berkilau, dan meskipun hatinya terasa berat, ia merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk dalam keheningan, hanya menikmati momen itu bersama.
Namun, waktu terus berjalan, dan kenyataan yang mereka hindari semakin mendekat. Seiring dengan semakin menurunnya kondisi Alya, Aksara tidak bisa lagi menutup mata dari kenyataan bahwa hari-hari mereka bersama semakin sedikit.
Alya akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk perawatan intensif, dan pada malam itu, Aksara menemaninya sampai ke pintu rumah sakit. Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya.
“Aku akan kembali menjemputmu, Alya,” kata Aksara, suara penuh keyakinan meskipun hatinya terasa hancur.
Alya hanya tersenyum lemah, mengangguk. “Aku tahu. Aku akan menunggumu.”
Namun, beberapa minggu setelah itu, Aksara menerima kabar yang ia tak pernah inginkan. Alya pergi dengan damai, meninggalkan dunia ini dengan senyuman yang terakhir kali ia berikan.
Di tepi danau yang selalu menjadi tempat mereka bertemu, Aksara duduk dengan kepala tertunduk. Di tangan kanannya, ia memegang kamera yang dulu digunakan untuk mengabadikan setiap momen bersama Alya. Di dalamnya, ada ribuan foto kenangan, dan salah satunya adalah foto pertama yang diambilnya dari Alya di bawah langit jingga.
“Terima kasih telah hadir dalam hidupku, Alya,” bisik Aksara, air matanya jatuh perlahan. “Aku akan selalu mengenangmu, di setiap gambar yang kutangkap, dan di setiap detak jantungku.”
Di bawah langit yang mulai gelap, Aksara merasa bahwa meskipun Alya telah pergi, cinta itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Cinta yang tidak terucapkan, namun selalu ada, terpatri dalam setiap kenangan yang mereka bagi.