Bagian 1: Hening yang Tersisa
Aku tak pernah mengira, keheningan bisa menjadi sahabat yang paling setia. Di setiap sudut kamar yang redup, di sela-sela napas yang tertahan, di antara kalimat-kalimat yang tak pernah selesai terucapkan, hening itu selalu ada. Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya. Hening yang hadir setelah begitu banyak kata terbuang percuma. Hening yang muncul setelah perasaan-perasaan yang dulu meluap kini mengering seperti genangan air di musim kemarau.
Aku selalu merasa, hidup ini adalah perjalanan tanpa tujuan. Seperti pengembara yang tersesat di padang pasir, aku berjalan tanpa arah. Kadang aku berhenti, melihat ke belakang, mencoba mengingat apa yang sudah kulalui, tapi tak ada jejak. Tak ada petunjuk. Hanya ada angin yang berdesir dan debu-debu yang beterbangan, menutupi segala hal yang mungkin pernah berarti.
Di saat-saat seperti inilah, aku merindukan sesuatu. Entah apa itu. Mungkin sebuah tujuan, mungkin sebuah arti, atau mungkin sekadar seseorang yang bisa diajak berbagi. Tapi semua itu tak ada. Aku hanya punya diriku sendiri, dan hening ini.
Kamar kecilku adalah dunia yang ku kenal. Di sinilah aku menghabiskan sebagian besar hidupku, dikelilingi oleh buku-buku yang tak terbaca, pakaian yang tak lagi dikenakan, dan cermin besar yang selalu memantulkan bayangan yang sama—aku, yang selalu tampak asing bagi diriku sendiri. Apakah ini memang aku? Sosok yang kusaksikan di cermin itu, apakah benar dia adalah aku?
“Aku” seolah hanyalah kata tanpa makna. Sebuah penanda, tanpa isi. Nama yang diberikan kepadaku sejak lahir, tanpa pernah benar-benar kupahami apa yang diwakilinya. Kadang aku berpikir, apakah aku pernah benar-benar hidup, ataukah hanya ada sebagai bayangan yang berlalu-lalang di dunia ini?
Semua orang selalu berkata bahwa aku pendiam. Mereka tak tahu betapa banyak suara yang sebenarnya menggema di dalam kepalaku. Semua pikiran, semua perasaan, semua pertanyaan yang tak pernah terjawab. Aku tidak diam. Aku hanya tidak tahu bagaimana mengatakannya.
Di luar kamar ini, dunia terus bergerak. Orang-orang berlalu lalang, menjalani hidup mereka. Mereka berbicara, mereka tertawa, mereka menangis. Dan aku? Aku hanya menyaksikan dari jauh, seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkanku dari mereka. Aku bisa melihat, tapi tak bisa merasakan.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, aku duduk di tepi jendela, melihat ke luar. Matahari bersinar, angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun di pepohonan. Suara burung berkicau samar-samar terdengar dari kejauhan. Ada kedamaian dalam pemandangan itu, tapi tidak di dalam diriku. Di dalam diriku, badai kecil selalu berputar-putar, tanpa arah, tanpa henti.
“Kenapa kau selalu termenung seperti itu?” Suara itu datang dari belakangku. Aku menoleh, dan di sana dia berdiri. Seseorang yang selalu hadir dalam hidupku, namun tak pernah benar-benar ada.
“Karena tak ada yang bisa kulakukan selain termenung,” jawabku pelan.
Dia mendekat, duduk di sebelahku. Wajahnya teduh, matanya tenang, tapi aku tahu, di balik ketenangan itu ada sesuatu yang dalam. Sesuatu yang mungkin bahkan lebih kosong daripada diriku.
“Kau bisa melakukan banyak hal, jika kau mau,” katanya.
Aku tersenyum pahit. “Seperti apa? Seperti keluar dari sini? Seperti mencoba hidup? Aku sudah mencobanya. Aku sudah berusaha. Tapi semua itu tak ada gunanya.”
“Kau belum benar-benar mencoba,” dia membantah. “Kau hanya takut untuk gagal, jadi kau tak pernah memulai.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin kau benar. Mungkin aku memang pengecut. Tapi jika tidak ada yang bisa diperoleh, kenapa harus memulai?”
Dia terdiam. Jawaban yang kutunggu tak kunjung datang. Aku tahu dia tak punya jawaban. Sama seperti diriku, dia hanya sosok yang tersesat, mencari arti yang tak pernah ditemukan.
Setelah beberapa saat, dia bangkit. “Aku akan pergi,” katanya. “Tapi aku akan kembali. Kau tahu itu.”
Aku mengangguk. Dia selalu kembali. Dia tak pernah benar-benar pergi.
Aku duduk kembali di tepi jendela, menatap ke luar. Dunia di luar sana terasa begitu jauh. Rasanya seperti aku hanya penonton dalam sebuah pertunjukan yang tak pernah bisa kumasuki. Dan hening itu kembali, mengisi setiap celah dalam pikiranku.
Aku pernah bermimpi tentang kebebasan. Tentang keluar dari penjara ini, tentang hidup dengan caraku sendiri. Tapi mimpi itu hanya bertahan sekejap, sebelum tenggelam dalam kenyataan bahwa aku tak punya kekuatan untuk menggapainya. Aku adalah tawanan dari diriku sendiri. Dan mungkin, aku akan tetap seperti ini selamanya.