Aku Menolak Pacaran dengan Kakak Tingkatku
Masa-masa SMA adalah masa yang penuh warna. Di mana setiap harinya terasa seperti petualangan baru, baik itu tentang pertemanan, pelajaran, maupun hal-hal yang berhubungan dengan perasaan. Aku sudah hampir dua tahun menjomblo sejak masuk SMA. Awalnya, aku tak terlalu memikirkan soal pacaran, karena bagiku, SMA adalah waktu untuk belajar, bersenang-senang bersama teman-teman, dan mengumpulkan pengalaman baru. Namun, ketika tahun kedua berjalan, datanglah seorang kakak kelas yang tiba-tiba mendekatiku.
Namanya Rio, seorang kakak tingkat yang cukup terkenal di sekolah. Dia bukan hanya pintar, tetapi juga aktif di berbagai kegiatan sekolah. Dia menjadi ketua OSIS di angkatannya, dan banyak teman-teman perempuanku yang mengagumi sosoknya. Aku sendiri tidak terlalu memikirkan tentang dia, karena menurutku, Rio adalah tipe orang yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Namun, entah bagaimana, dia mulai sering memperhatikan dan mendekatiku.
Awalnya, aku pikir dia hanya bersikap ramah. Tapi lama kelamaan, caranya berbicara padaku, perhatiannya yang lebih, dan seringnya dia datang untuk menanyakan kabarku membuatku mulai menyadari bahwa mungkin ada perasaan lain di balik sikapnya itu. Teman-temanku bahkan mulai menggoda, mengatakan bahwa aku beruntung bisa dekat dengan kakak kelas yang begitu populer seperti Rio.
Suatu hari, saat kami sedang berada di kantin sepulang sekolah, Rio akhirnya menyatakan perasaannya. Dengan nada yang tenang tapi penuh kesungguhan, dia bilang kalau dia menyukaiku dan ingin kami bisa lebih dari sekadar teman. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena aku merasa senang. Ada rasa bingung dan dilema yang langsung menyergapku.
Sebagai seorang perempuan Minang, aku tumbuh dengan nilai-nilai adat yang kuat. Salah satu adat yang paling kupegang erat adalah larangan menikah dengan seseorang yang berasal dari suku yang sama. Dalam budaya Minangkabau, sesuku dianggap seperti saudara, meskipun tidak memiliki hubungan darah. Karena itu, pernikahan sesuku dianggap melanggar adat dan tidak diperbolehkan.
Dan masalahnya adalah, Rio dan aku berasal dari suku yang sama.
Aku tahu betul bahwa jika aku menerima Rio sebagai pacarku, hubungan itu tidak akan bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius. Orang tua dan keluargaku pasti tidak akan setuju. Bukan hanya karena aturan adat yang begitu kuat, tetapi juga karena aku sendiri merasa terikat oleh tradisi itu. Aku tidak ingin memulai hubungan yang dari awal sudah kutahu akan berakhir dengan kekecewaan.
Dengan berat hati, aku menolak pernyataan Rio. Aku berusaha menjelaskan padanya dengan hati-hati bahwa alasanku bukan karena aku tidak menyukainya atau karena ada orang lain, melainkan karena aku terikat oleh adat istiadat Minangkabau. Rio terlihat terkejut. Awalnya, dia tampak tidak mengerti, tapi setelah aku menjelaskan lebih jauh, dia akhirnya mengangguk, meski aku bisa melihat kekecewaan di wajahnya.
“Aku menghargai keputusannya, Tia. Kalau memang begitu, aku nggak bisa memaksamu. Aku harap kita masih bisa berteman baik,” katanya dengan senyum tipis.
Aku merasa lega, meski ada sedikit rasa bersalah di dalam hati. Aku tahu dia tulus dengan perasaannya, tapi aku juga tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Setelah itu, hubungan kami kembali seperti biasa. Kami masih sering bertemu di sekolah, dan Rio tetap ramah dan sopan setiap kali bertemu. Sepertinya, dia benar-benar bisa menerima keputusanku.
Namun, dua minggu setelah kejadian itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Aku sedang membuka Instagram di rumah, melihat-lihat postingan teman-teman, ketika tiba-tiba aku melihat unggahan terbaru dari Rio. Di foto itu, dia berpose dengan seorang perempuan yang tidak kukenal, dengan caption yang cukup romantis. Perempuan itu tampak tersenyum manis di samping Rio, dan aku langsung tahu bahwa dia bukan hanya teman biasa.
Sejujurnya, aku merasa sedikit kaget. Hanya dua minggu setelah aku menolaknya, Rio sudah memposting foto dengan perempuan lain? Perasaan di dadaku bercampur aduk. Ada sedikit rasa cemburu, tapi aku cepat-cepat menepisnya. Aku tahu, aku tidak berhak merasa seperti itu. Aku yang menolaknya, jadi tentu saja dia berhak melanjutkan hidupnya.
Namun tetap saja, pemandangan itu agak mengejutkanku. Aku berpikir, apakah perasaannya padaku tidak sekuat yang kubayangkan? Atau mungkin dia hanya berusaha move on dengan cepat? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku selama beberapa waktu. Meski aku tidak ingin terlalu memikirkannya, bayangan foto itu terus muncul di benakku.
Beberapa hari setelahnya, aku bertemu Rio di sekolah. Dia masih bersikap biasa saja, seperti tidak ada yang terjadi. Aku merasa kagum sekaligus bingung. Bagaimana bisa dia begitu cepat menjalin hubungan dengan orang lain setelah pernyataan perasaannya padaku? Apakah semuanya hanya permainan perasaan baginya?
Tapi setelah kupikir-pikir, aku sadar bahwa semua ini bukan tentang aku. Rio mungkin memang tulus saat menyatakan perasaannya padaku, tapi saat aku menolaknya, dia memilih untuk tidak terjebak dalam kesedihan terlalu lama. Dia punya hak untuk mencari kebahagiaannya sendiri, dan mungkin dia telah menemukannya dalam sosok perempuan yang sekarang bersamanya.
Pada akhirnya, aku harus menerima bahwa keputusanku untuk menolak Rio adalah yang terbaik. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuknya. Aku menghormati adat dan tradisi yang telah membesarkanku, dan aku juga menghormati Rio yang telah dengan lapang dada menerima penolakanku. Meskipun sedikit mengejutkan melihat dia bersama orang lain begitu cepat, aku tidak bisa menyalahkannya. Setiap orang punya caranya sendiri untuk move on, dan mungkin itulah cara Rio.
Kini, aku bisa melihat kembali kejadian itu dengan lebih dewasa. Ada banyak hal yang aku pelajari dari pengalaman ini, salah satunya adalah bahwa cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang menghargai prinsip dan tradisi yang kita pegang. Aku yakin, suatu saat nanti, baik aku maupun Rio akan menemukan kebahagiaan masing-masing. Dan ketika hari itu tiba, aku akan tersenyum mengingat kisah kami sebagai bagian dari perjalanan hidupku yang berharga.