**Aku Putus Karena Jari Jempol**
Aku masih ingat saat itu, ketika baru saja lulus SMP, hubungan cinta pertamaku terjalin dengan salah satu teman sekelasku. Sebut saja namanya Ardi. Perkenalan kami tidak dimulai secara tiba-tiba. Kami sudah saling mengenal sejak kelas 1 SMP, meski waktu itu aku sudah punya pacar, jadi Ardi hanya menyimpannya dalam diam. Tapi ketika kami kembali satu kelas di tahun terakhir SMP, segalanya berubah. Ardi mulai mendekatiku dengan cara yang halus, sopan, dan penuh perhatian. Tidak ada yang tergesa-gesa. Semua mengalir begitu saja.
Aku selalu melihat Ardi sebagai sosok yang baik. Dia adalah tipe orang yang pintar, ramah, dan murah senyum. Di dalam kelas, dia sering menjadi pusat perhatian karena kemampuannya menguasai pelajaran dan sikapnya yang tidak angkuh. Teman-temanku sering bertanya bagaimana rasanya punya pacar sebaik dia, dan aku selalu menjawab dengan senyum sambil berkata bahwa Ardi adalah pacar yang sempurna. Setidaknya, itulah yang kupikirkan saat itu.
Namun, ada satu hal yang merubah segalanya. Sepele memang, tapi kala itu—di masa remajaku yang penuh ketidakstabilan emosi dan pemikiran—aku begitu mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak penting. Aku ingat betul bagaimana isu tentang ukuran jari jempol laki-laki mendadak jadi topik yang ramai diperbincangkan oleh teman-teman perempuan di sekolah. Katanya, ukuran jempol itu berbanding lurus dengan ukuran alat vital. Jika jempol seorang laki-laki besar, maka alat vitalnya juga besar. Dan sebaliknya, jika jempolnya kecil, maka ukuran alat vitalnya pun kecil.
Awalnya, aku menganggap semua itu hanya lelucon yang dibuat-buat. Namun, tanpa kusadari, pikiranku mulai terpengaruh oleh omongan tersebut. Setiap kali aku melihat laki-laki, aku mulai memperhatikan ukuran jempol mereka. Itu menjadi kebiasaan buruk yang entah bagaimana sulit kuhentikan. Dan kemudian, tibalah saat di mana aku mulai melihat jempol Ardi dengan cara yang sama.
Suatu hari, ketika kami sedang duduk bersama di taman dekat sekolah setelah pengambilan ijazah, aku tanpa sengaja memperhatikan jempolnya. Ternyata, jempol Ardi cukup besar. Sebuah kesadaran langsung menghantamku, dan perasaan ilfeel (ilfil—ilang feeling) tiba-tiba menyergap dadaku. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba berubah dalam diriku saat itu. Aku merasa malu dengan diriku sendiri, tapi perasaan itu semakin menggerogoti pikiranku. Jempol Ardi yang besar kini tampak seperti hal yang mengganggu.
Aku yang tidak mengerti sepenuhnya alasan perasaan itu hanya bisa menyalahkan rumor konyol tentang jempol yang selama ini kuserap begitu saja. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Aku tidak tahu cara yang tepat untuk melakukannya, jadi aku menggunakan alasan yang mudah diterima, yakni jarak.
"SMP sudah selesai, aku harus ikut ibu ke luar kota. Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh," begitu kataku pada Ardi.
Ia diam sejenak, kemudian tersenyum tipis dan mengangguk. Tidak ada tangisan atau drama besar. Ia hanya mengatakan, "Aku mengerti, semoga kamu bahagia di sana."
Meski aku telah memutuskan hubungan itu, ada perasaan bersalah yang terus menghantuiku. Aku tahu aku tidak jujur pada Ardi. Alasan sebenarnya terlalu memalukan untuk diungkapkan. Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa aku memutuskan dia hanya karena jempolnya yang besar? Itu konyol, bahkan untuk diriku sendiri. Namun, pemikiran itu sudah terlalu jauh menancap dalam benakku.
Hari-hari berlalu setelah perpisahan kami, dan aku mulai menata hidup baru di kota lain bersama ibu. Aku masuk ke sekolah baru, bertemu teman-teman baru, dan menjalani hari-hari SMA seperti biasa. Namun, bayang-bayang Ardi selalu muncul sesekali di pikiranku. Bagaimana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia merasa sakit hati karena alasan perpisahan kami yang tidak jelas?
Suatu ketika, saat liburan semester, aku pulang ke kota tempatku tinggal semasa SMP. Aku memutuskan untuk mengunjungi teman-teman lama di sana, termasuk Ardi. Perasaanku campur aduk saat memikirkan kemungkinan bertemu lagi dengannya. Aku bertanya-tanya, apakah dia masih menyimpan perasaan untukku? Atau mungkin dia sudah melupakan semuanya?
Hari itu, aku dan beberapa teman lama berkumpul di taman yang biasa kami datangi saat masih SMP. Suasananya begitu familiar, membuatku bernostalgia dengan masa-masa sekolah yang penuh kenangan. Di tengah keramaian obrolan, mataku tanpa sengaja menangkap sosok Ardi yang berjalan mendekat. Hatiku berdegup lebih cepat. Aku penasaran dengan reaksinya saat melihatku setelah sekian lama.
Ardi mendekat dengan senyum yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan dulu. Kami tidak banyak berbicara. Dia hanya menyapa sebentar, lalu duduk di dekat teman-teman lain. Namun, yang paling membuatku tersentuh adalah sikapnya. Meski aku tahu dia pasti merasakan ada yang berubah dalam hubungan kami, dia tidak menunjukkan sikap yang berbeda. Dia tetap baik, seperti dulu. Bahkan ketika aku tahu dia hanya meluangkan waktu datang ke taman itu untuk melihatku sebentar dan tersenyum, aku merasa ada perasaan yang tersimpan di dalam sana. Sesuatu yang tidak pernah ia ungkapkan, mungkin karena rasa hormatnya padaku, atau mungkin karena dia tahu perasaan itu tidak akan mengubah apa pun.
Ketika aku pulang ke rumah malam itu, perasaan bersalah kembali melingkupiku. Ardi adalah seseorang yang tulus dan baik. Aku merasa bersalah karena memutuskannya hanya karena alasan yang begitu sepele. Lebih dari itu, aku sadar betapa dangkalnya pemikiranku saat itu—menghakimi seseorang hanya dari ukuran jempol mereka.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa hubungan kami mungkin memang tidak akan bertahan lama. Bukan karena jempol atau alasan lain yang mengada-ada, melainkan karena aku yang masih terlalu muda dan belum benar-benar mengerti apa itu cinta. Tapi, pengalaman bersama Ardi telah mengajarkanku banyak hal. Tentang bagaimana seharusnya kita menghargai seseorang bukan berdasarkan hal-hal yang superfisial, melainkan dari ketulusan dan kebaikan yang mereka tunjukkan.
Kini, bertahun-tahun setelah semua itu terjadi, aku telah dewasa dan lebih mengerti tentang cinta dan hubungan. Mungkin aku dan Ardi tidak ditakdirkan untuk bersama, tapi aku bersyukur pernah mengenalnya. Meski alasan perpisahan kami dulu terasa begitu konyol, aku tidak bisa menghapus rasa hormat dan kekagumanku pada dia—seseorang yang bisa tetap tersenyum dan bersikap baik meski tahu hatinya pernah disakiti.
Dan jempol? Kini aku hanya bisa tertawa setiap kali mengingat betapa bodohnya aku terpengaruh oleh hal sepele itu. Jempol besar atau kecil tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi tolak ukur kebahagiaan atau nilai seseorang.