Pocong Hitam itu, penampakan yang begitu misterius dan kerap dikaitkan dengan kisah mistis serta kepercayaan masyarakat tentang santet. Malam itu, setelah menunaikan sholat Isya, aku tak mengira akan mengalami sesuatu yang begitu ganjil, bahkan mungkin akan menghantuiku sepanjang hidupku.
Setelah salam terakhir dalam sholat, tubuhku terasa sangat lelah. Hari itu memang berat, pekerjaan di kantor yang menumpuk, serta beberapa masalah keluarga yang muncul membuat pikiranku sangat kacau. Aku berbaring di atas kasur yang tidak terlalu empuk, lalu tanpa disadari, mataku terpejam. Lelah yang menumpuk membuatku langsung terlelap dalam hitungan detik.
Namun, di tengah-tengah tidurku, sesuatu yang aneh terjadi. Aku merasa terbangun dari tidur, namun suasananya berbeda. Semua tampak sangat nyata, tetapi terasa asing sekaligus akrab. Aku berada di kamar yang sama, dengan dinding bercat putih, dan gorden yang tertiup angin malam. Hanya saja, ada rasa tidak nyaman yang membuat hatiku tidak tenang.
Dari arah kamar sebelah, terdengar suara seperti sesuatu atau seseorang meloncat-loncat. Suara itu jelas, namun tertahan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu tenang malam. Rasa takut mulai menyelusup ke dalam hatiku. Pikiranku kacau, mencoba merasionalisasi apa yang terjadi. Mungkin hanya tikus, pikirku. Atau kucing liar yang biasa berlarian di atap rumah.
Namun, suara itu semakin keras dan jelas. Loncatannya teratur, seolah-olah sesuatu yang berat bergerak dengan ritme yang lambat dan berat. Tanpa sadar, aku bangkit dari tempat tidur. Seolah-olah ada kekuatan yang menarikku keluar dari kamar. Langkahku berat, namun aku terus bergerak, mengikuti rasa penasaran bercampur ketakutan yang merambat dalam dadaku.
Aku menuju pintu depan rumah. Angin malam yang dingin menyentuh kulitku, memberikan sensasi aneh. Ketika sampai di teras, aku menoleh ke samping. Seketika tubuhku membeku.
Di sana, tak jauh dari tempatku berdiri, ada sosok yang meloncat-loncat dengan tenang. Sosok itu tinggi, tertutup rapat oleh kain kafan, namun bukan kafan putih seperti yang biasanya digambarkan dalam cerita-cerita hantu. Ini berbeda. Pocong itu hitam legam. Kain kafannya seolah menyerap setiap cahaya di sekitarnya, memberikan kesan bahwa sosok tersebut berasal dari kegelapan yang lebih dalam daripada malam itu sendiri.
Hatiku mencelos. Aku tahu apa yang kulihat adalah pocong hitam, sosok yang sering kali disebut-sebut dalam kisah mistis sebagai penanda santet atau guna-guna. Aku berpegangan pada tiang teras, mencoba menopang tubuhku yang lemas. Napasku tersengal-sengal, sementara jantungku berdebar keras, seolah ingin melompat keluar dari dadaku.
Pikiranku berusaha mencari penjelasan, namun tak ada yang masuk akal. Apa ini hanya mimpi? Ataukah nyata? Namun, pemandangan di depanku terlalu jelas untuk disebut sekadar mimpi. Pocong hitam itu meloncat sekali lagi, semakin mendekat. Meski wajahnya tertutup, aku bisa merasakan tatapan dingin yang mengarah padaku.
Aku ingat, kata orang-orang, jika kamu melihat pocong hitam, berarti ada seseorang yang mengirim santet padamu. Rasa takut semakin menjalar, menyelimuti seluruh tubuhku. Aku ingin lari, namun kakiku terlalu berat untuk digerakkan. Ada sesuatu yang menahanku, seolah-olah pocong itu menarik sebagian dari energiku hanya dengan keberadaannya.
Aku berdiri terpaku di sana, sementara pikiran-pikiranku kacau balau. Siapa yang mengirim santet ini padaku? Mengapa? Apakah ada yang membenciku begitu dalam hingga mengirimkan makhluk menyeramkan ini?
Meski ketakutan menguasai, entah dari mana datangnya keberanian, aku mencoba menatap wajah pocong itu. Perlahan-lahan, aku mendongak, melihat sosok menyeramkan tersebut. Dan ketika aku fokus pada wajahnya, aku melihat sesuatu yang lebih mengejutkan daripada apapun yang pernah kubayangkan.
Di balik kain kafan hitam yang menutupi tubuhnya, ada wajah seorang wanita tua. Wajah itu pucat, dengan kulit keriput dan mata kosong yang terlihat seperti menatap tanpa jiwa. Namun, yang paling mengerikan adalah bahwa aku sama sekali tidak mengenal wajah itu. Wajah itu asing, tetapi ada sesuatu yang familiar tentangnya. Sesuatu yang membuatku berpikir bahwa mungkin ibuku tahu siapa wanita ini, namun aku sendiri tak bisa mengingat siapa dia.
Dengan suara bergetar, aku memberanikan diri bertanya. “Siapa yang mengirimmu?”
Suaraku terdengar serak dan nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk memecah keheningan malam. Namun, pocong itu tak menjawab. Ia hanya diam, matanya yang kosong terus menatapku dengan tatapan yang tak terbaca. Kemudian, perlahan-lahan, ia mulai bergerak menjauh, meloncat dengan ritme yang sama, seolah-olah menjauh dari kehidupanku, namun meninggalkan jejak ketakutan yang tak akan pernah hilang.
Aku mencoba mengejarnya dengan tatapan, namun tubuhku sudah terlalu lelah. Dan saat pocong itu menghilang ke dalam kegelapan, sesuatu yang aneh terjadi. Aku tiba-tiba terbangun.
Aku tersentak bangun dari tidurku, napasku terengah-engah. Ruangan di sekitarku tampak persis seperti saat aku tertidur, namun ada sesuatu yang berbeda. Perasaan itu masih menempel di tubuhku, seolah-olah apa yang baru saja kualami bukan sekadar mimpi.
Kulihat jam di dinding, hanya sekitar lima belas menit sejak aku tertidur. Namun, rasa lelah yang melanda tubuhku seolah-olah aku baru saja melewati sesuatu yang jauh lebih panjang dan melelahkan. Tanganku gemetar saat aku mengusap wajahku, berusaha menenangkan diri. Namun, getaran di dalam tubuhku tak kunjung mereda.
Jantungku berdebar begitu keras, seolah memompa darah dengan kekuatan yang lebih dari biasanya. Aku berusaha berdiri dari tempat tidur, namun kakiku masih lemas. Setelah berjuang selama beberapa detik, akhirnya aku berhasil berdiri dan berjalan menuju lantai satu rumah. Aku tak mau tinggal di lantai dua sendirian lagi malam itu. Rasanya terlalu sepi, terlalu menakutkan.
Saat aku turun ke bawah, aku berpapasan dengan bayangan-bayangan di sudut ruangan yang tampak lebih menakutkan dari biasanya. Suara-suara kecil di rumahku, suara hembusan angin dari jendela, semua terdengar seolah-olah ada yang mengikutiku. Aku tahu itu hanya imajinasiku yang dipengaruhi oleh mimpi tadi, namun rasa takut itu nyata. Sangat nyata.
Aku duduk di sofa ruang tamu, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah itu hanya mimpi? Atau mungkin sesuatu yang lebih? Aku teringat cerita-cerita yang pernah kudengar tentang pocong hitam, dan satu hal yang jelas dalam pikiranku: Jika kamu melihatnya, itu adalah peringatan. Ada yang mencoba mencelakai diriku.
Tapi siapa? Aku mencoba mengingat-ingat, apakah ada seseorang yang mungkin membenciku, yang mungkin ingin menyakitiku. Namun, tak ada satu pun orang yang terlintas di pikiranku. Setiap orang di sekitarku, sejauh yang kutahu, baik-baik saja denganku.
Namun, satu hal yang tak bisa kulupakan adalah wajah wanita tua yang kulihat dalam mimpi itu. Wajah yang tak kukenal, namun terasa begitu familiar.