Aku tak pernah menyangka, akhir masa sekolah yang seharusnya menjadi momen paling berkesan dalam hidupku, malah berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan. Aku, yang selalu menjadi siswa berprestasi dan dekat dengan banyak guru, kini menjadi sasaran fitnah keji yang hampir menghancurkan segalanya. Semua berawal dari satu orang—temanku sendiri.
Saat itu, aku duduk di bangku kelas XII SMK. Semua terasa berjalan begitu baik, hingga hanya beberapa minggu menjelang kelulusan, kabar itu muncul. Aku diblacklist dari acara perpisahan sekolah. Hal itu sangat mengejutkanku. Sejak awal, aku selalu aktif mengikuti setiap kegiatan sekolah. Entah itu acara bakti sosial, kompetisi antar-sekolah, hingga perpisahan di kelas-kelas sebelumnya, aku selalu ada di garda terdepan. Maka ketika namaku dicoret dari daftar panitia dan peserta, hatiku langsung hancur.
Sambil menahan rasa tidak percaya, aku segera menemui salah satu guru yang paling dekat denganku, Bu Sari. Wajah beliau terlihat khawatir saat aku masuk ke ruang guru.
"Bu, ada apa ini? Kenapa saya diblacklist dari acara perpisahan?" tanyaku dengan suara bergetar.
Bu Sari menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ini bukan keputusan yang mudah, tapi... ada laporan dari salah satu temanmu. Katanya kamu sering membuli dia, tidak sopan, dan membuatnya merasa tertekan.”
Aku terpaku mendengar ucapan itu. Siapa yang berani menyebarkan fitnah keji seperti ini? Selama ini aku selalu bersikap baik pada semua orang, termasuk kepada teman-temanku. Aku tidak bisa memahami apa yang terjadi. Aku, yang selama ini diandalkan banyak guru dan dikenal sebagai anak yang sopan, tiba-tiba dianggap sebagai pelaku bullying?
“Siapa, Bu? Siapa yang menuduh saya seperti itu?” tanyaku dengan suara parau.
Bu Sari tidak segera menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Akhirnya, dengan suara pelan, dia menyebutkan nama yang tak pernah kusangka: Lila.
Lila. Kami berteman cukup dekat sejak kelas X. Dia bukan siswa yang paling menonjol dalam hal prestasi, tapi aku selalu menganggapnya sebagai teman baik. Kami sering bekerja sama dalam tugas kelompok dan aku selalu berusaha membantunya jika dia kesulitan dalam pelajaran. Jadi, kenapa dia yang menuduhku?
Aku langsung ingat beberapa minggu terakhir ini, Lila tampak berubah. Dia sering menjauh dariku, dan ketika kami berada di satu ruangan yang sama, dia terlihat gelisah. Aku berpikir mungkin itu hanya perasaan gugup menghadapi ujian akhir. Aku tak pernah mengira bahwa sikapnya itu adalah bagian dari rencana fitnah yang akan menghancurkan reputasiku.
Setelah percakapan itu, aku tak bisa diam. Aku tahu bahwa jika aku tidak bertindak, aku bisa kehilangan segalanya. Nama baikku, persahabatan yang kuanggap tulus, dan kesempatan berharga di akhir masa sekolah. Maka aku pun mengajukan pembelaan.
Keesokan harinya, pertemuan besar diadakan antara aku, beberapa guru, Lila, dan beberapa temanku yang lain sebagai saksi. Lila duduk di ujung meja dengan wajah penuh kemenangan. Ia mengklaim bahwa selama ini aku sering menyindirnya, menjauhinya dari kelompok, dan mempermalukannya di depan teman-teman lain. Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa tidak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa memutarbalikkan kenyataan seperti ini?
“Lila, kapan aku pernah melakukan semua itu?” tanyaku, berusaha menahan emosi.
Dengan suara lantang, Lila menjelaskan bahwa aku sering membuatnya merasa kecil, bahwa aku terlalu perfeksionis dalam setiap tugas yang kami kerjakan bersama, dan aku selalu mengambil alih tanpa memberinya kesempatan. "Kamu mungkin tidak sadar, tapi kamu sering memandang rendah aku!" teriaknya.
Aku terdiam sejenak. Apa yang ia katakan sama sekali tidak benar. Aku selalu berusaha membantu Lila, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun. Namun, semua penjelasanku tak ada gunanya di hadapan tuduhan emosional yang ia lontarkan.
Namun, di tengah situasi yang memanas, Bu Sari tiba-tiba angkat bicara. “Saya kenal baik dengan anak ini,” katanya, menunjuk ke arahku. “Sejak kelas X, dia selalu jadi salah satu murid terbaik dan paling sopan. Saya tidak pernah melihatnya memperlakukan orang lain dengan buruk. Mungkin kita perlu melihat situasi ini dari sudut pandang yang lebih objektif.”
Satu per satu, guru lain mulai menyuarakan pendapat mereka. Sebagian besar dari mereka setuju bahwa aku selalu menjadi siswa yang baik. Bahkan, ada beberapa guru yang terang-terangan menyatakan bahwa mereka merasa fitnah ini tidak masuk akal.
"Sejujurnya, saya merasa mungkin Lila hanya merasa tersaingi," kata salah satu guru. “Selama ini, dia mungkin merasa tertekan oleh prestasi yang selalu lebih menonjol dari siswa ini.”
Kata-kata itu membuat suasana ruangan seketika berubah. Guru-guru yang awalnya sempat meragukan aku mulai mempertimbangkan ulang keputusan mereka. Lila tampak gelisah. Wajahnya memerah, tapi dia masih berusaha bertahan dengan tuduhannya.
Namun, pertahanan Lila benar-benar runtuh ketika beberapa temanku maju ke depan dan membelaku. Mereka memberikan kesaksian bahwa aku tidak pernah melakukan apa yang Lila tuduhkan. Bahkan, mereka menyebutkan bahwa Lila mungkin hanya mencari perhatian, berusaha menjatuhkan aku karena dia cemburu dengan prestasiku.
“Dia memang selalu ingin terlihat lebih baik dari orang lain,” kata salah satu teman. “Dan mungkin inilah caranya untuk mendapat perhatian.”
Setelah perdebatan panjang, akhirnya guru-guru memutuskan untuk tidak memblacklist aku dari acara perpisahan. Aku merasa lega, tapi rasa sakit akibat fitnah itu tidak hilang begitu saja.
Namun, masalah tak berhenti sampai di situ. Beberapa hari kemudian, aku mendapati diriku menjadi sasaran serangan di media sosial. Keluarga Lila mulai menyebarkan tuduhan bahwa aku membuli anak mereka. Mereka memposting status-status penuh kebencian, menyerang karakterku dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak benar.
Teman-temanku yang melihat semua ini langsung bereaksi. Mereka tahu siapa yang sebenarnya, dan mereka tak tinggal diam. Beberapa dari mereka bahkan menuliskan pembelaan di media sosial, menyatakan bahwa Lila hanya ingin mencari perhatian. Tapi tetap saja, serangan dari keluarga Lila membuat hidupku menjadi lebih sulit.
Aku merasa seperti dunia seakan runtuh. Bayangan kelulusan yang seharusnya penuh kegembiraan kini diwarnai dengan konflik yang tak pernah kusangka. Namun, aku berusaha tetap tegar. Aku tahu siapa diriku, dan aku tahu bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap.
Hari kelulusan tiba. Semua siswa berkumpul di aula besar untuk mengikuti acara perpisahan. Meskipun masalah ini belum sepenuhnya selesai, aku merasa bangga bahwa aku bisa berdiri di sini, masih dengan kepala tegak. Aku melihat Lila dari kejauhan, tapi aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Apa pun yang terjadi, aku tahu aku sudah melakukan yang terbaik, dan aku tidak akan membiarkan kebohongannya merusak momen berharga ini.
Saat namaku dipanggil untuk menerima penghargaan atas prestasi akademik yang luar biasa, tepuk tangan menggema di seluruh aula. Aku tersenyum, melihat ke arah guru-guru yang mendukungku, dan teman-temanku yang selalu berdiri di sisiku. Fitnah itu memang menyakitkan, tapi aku belajar bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Aku bisa bangkit dari semua ini, dan aku yakin, masa depanku masih cerah, meskipun ada orang-orang seperti Lila yang mencoba menjatuhkanku.
Setelah acara kelulusan selesai, aku berjalan keluar dari aula dengan perasaan campur aduk. Aku merasa lega karena semuanya sudah berakhir, tapi ada luka yang masih membekas akibat semua fitnah dan kebohongan itu. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa aku sudah melalui semua ini dengan kekuatan dan keberanian yang tak pernah kusangka ada dalam diriku. Dan itu adalah kemenangan terbesar yang bisa kumiliki.
Ges btw ini kisah nyata hidupku, cerpen yang ada dikaryaku aku angkat dari kisah hidupku. Jadi semua yang kalian baca mohon diambil sisi positifnya ya