Di sebuah kota yang ramai, di antara hiruk-pikuk kehidupan, ada dua jiwa yang terjalin dalam ikatan yang tak terputus. Arum, seorang wanita muda yang bisu, dan Ryan, seorang pria yang buta sejak lahir, telah berteman sejak lama. Mereka sering duduk di sebuah taman kecil di tengah kota, di mana Arum berbicara melalui tulisan dan Ryan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Suatu sore, ketika matahari mulai merunduk ke cakrawala, Arum dan Ryan duduk di bangku taman, menikmati keheningan yang penuh makna.
“Ryan, aku harus memberitahumu sesuatu yang penting,” tulis Arum di kertas yang dibawanya. Wajah Ryan yang bersahabat dan tenang, menghadapi tulisan Arum dengan penuh perhatian.
“Apa yang ingin kamu katakan, Arum?” tanya Ryan dengan suara lembut, suaranya penuh kehangatan.
Arum menarik napas panjang dan menulis, “Aku telah menemukan cara untuk membantu kamu melihat dunia. Tapi, ini akan menjadi keputusan yang sangat sulit bagiku.”
Ryan merasa kaget. “Apa maksudmu? Bagaimana kamu bisa membantuku melihat?”
Arum menunduk, matanya terlihat penuh kesedihan. “Aku tahu bahwa aku tidak bisa berbicara, tetapi aku bisa melakukan sesuatu yang lebih daripada sekadar kata-kata. Aku tahu ada risiko, tetapi aku ingin memberimu mataku.”
Ryan terdiam, tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan Arum. “Kamu tidak perlu melakukan itu, Arum. Kamu sudah membuat hidupku penuh warna dengan kehadiranmu.”
Arum menulis dengan cepat, “Tapi aku ingin melihat senyummu ketika kamu melihat dunia untuk pertama kalinya. Aku ingin memberimu kesempatan itu, bahkan jika itu berarti aku harus kehilangan pandanganku.”
Ryan menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Arum, aku tidak tahu harus berkata apa. Kamu sudah banyak berarti bagiku. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini untukku.”
Arum mengangguk dengan penuh tekad. “Ini adalah keputusanku. Aku tahu itu mungkin membuatmu tidak nyaman, tetapi aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya melihat matahari terbenam dan melihat warna-warna yang selama ini hanya bisa kubayangkan.”
Dengan berat hati, Ryan menerima keputusan Arum. Proses operasi dilakukan dengan penuh perhatian dan perawatan medis terbaik. Arum dengan penuh keberanian menjalani proses tersebut, meskipun risikonya tinggi.
Beberapa hari setelah operasi, Ryan akhirnya bisa membuka matanya untuk melihat dunia. Arum, meski dalam kegelapan, menunggu dengan penuh harap di sampingnya.
Ryan membuka matanya dan melihat warna-warna yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Air mata mengalir di pipinya saat ia melihat Arum duduk di sampingnya, dalam kegelapan yang sama sekali baru baginya. “Arum, aku bisa melihat! Aku bisa melihat segala sesuatu yang selama ini hanya bisa kudengar.”
Arum tersenyum lemah, dan menulis, “Aku senang kamu bisa melihat dunia. Aku akan selalu mencintaimu, meskipun aku tidak bisa lagi melihat apa-apa.”
Ryan meraih tangan Arum dan mengelusnya dengan lembut. “Terima kasih, Arum. Kamu memberikan cahaya dalam kegelapan hidupku. Aku tidak akan pernah bisa membalas semua yang telah kamu berikan.”
Hari-hari berlalu dan kondisi Arum semakin memburuk, namun ia tidak pernah menyesali keputusan yang diambilnya. Ryan, kini dengan mata baru, terus mengunjungi tempat-tempat yang Arum ceritakan dengan penuh semangat, mengingatkan Arum tentang keindahan dunia yang telah dia bawa.
Ketika akhirnya saat perpisahan datang, Ryan memegang tangan Arum dengan erat, merasa kekosongan yang mendalam saat Arum meninggalkannya untuk selamanya. Arum pergi dengan damai, mengetahui bahwa dia telah memberikan sesuatu yang tak ternilai—sebuah kesempatan untuk melihat dunia kepada sahabat tercintanya.
Ryan mengunjungi taman mereka setiap hari, di mana dia duduk di bangku yang sama, mengenang Arum dengan penuh rasa syukur dan kesedihan yang mendalam. Di tempat itu, ia tahu bahwa meskipun matahari terbenam untuk terakhir kalinya bagi Arum, cahaya yang Arum berikan akan terus bersinar dalam ingatannya.