Sudah setahun berlalu sejak aku dan Bima memutuskan untuk berpacaran. Hubungan kami dimulai dengan cara yang mungkin tidak terlalu spesial—pertemuan yang tidak direncanakan di sebuah kafe kecil di sudut kota. Waktu itu, hujan deras mengguyur tanpa henti, dan aku, yang selalu lupa membawa payung, terjebak di sana. Bima yang kebetulan berada di kafe itu juga, melihatku yang kebingungan dan menawarkan payungnya. Kami berkenalan, ngobrol sebentar, dan dari sana segalanya berjalan begitu cepat hingga akhirnya kami bersama.
Setiap hubungan memiliki masa-masa indahnya sendiri, dan begitu pula dengan kami. Awal-awal pacaran, Bima adalah sosok yang penuh perhatian. Dia sering mengirim pesan, memastikan aku sudah makan, atau sekadar menanyakan kabarku. Kami sering pergi jalan-jalan, menonton film, atau hanya sekadar menikmati sore di taman. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, dan waktu seolah berlalu begitu cepat ketika kami bersama.
Namun, seperti pepatah yang sering kudengar, "Tidak ada yang abadi di dunia ini." Perlahan tapi pasti, perhatian itu mulai berkurang. Bima, yang dulu selalu ingin tahu tentang hari-hariku, kini lebih sering sibuk dengan pekerjaannya. Pesan-pesan yang dulu selalu ditunggu-tunggu, sekarang hanya datang sesekali dan isinya pun hanya basa-basi. Waktu yang kami habiskan bersama semakin berkurang, dan aku mulai merasa ada yang berbeda.
Aku mencoba berpikir positif. Mungkin Bima memang sedang sibuk, atau mungkin ini hanya fase yang akan berlalu seiring waktu. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal-hal negatif dan mencoba menikmati apa yang ada. Namun, semakin lama aku merasakan jarak yang semakin lebar di antara kami. Bima tidak lagi seantusias dulu ketika berbicara tentang masa depan kami. Setiap kali aku menanyakan rencana kami ke depannya, dia selalu menjawab dengan singkat, seolah-olah menghindari topik itu.
"Aku masih belum tahu," katanya suatu hari ketika aku menanyakan apakah dia punya rencana untuk hubungan kami. "Kita lihat saja nanti."
Jawaban itu membuatku cemas, tapi aku berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin memaksanya, tidak ingin membuatnya merasa tertekan. Namun, dalam hati kecilku, aku mulai merasa khawatir. Apakah dia benar-benar ingin melanjutkan hubungan ini? Ataukah dia hanya mempertahankan karena tidak ingin menyakiti perasaanku?
Seiring berjalannya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menghantuiku. Aku mulai meragukan diri sendiri, apakah aku yang terlalu berharap lebih? Apakah aku yang terlalu memaksakan diri? Aku tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku masih mencintainya, masih berharap bahwa semuanya akan kembali seperti dulu. Di sisi lain, aku merasa lelah, lelah dengan ketidakpastian ini.
Satu hal yang paling sulit adalah ketika aku mulai merasa bahwa Bima tidak lagi berjuang untuk hubungan kami. Dia tidak lagi berusaha membuatku merasa spesial, tidak lagi menunjukkan bahwa dia peduli. Setiap kali aku mencoba membicarakan perasaanku, dia selalu menghindar, atau malah menganggap aku terlalu berlebihan.
"Apa sih yang kamu takutkan?" tanyanya suatu kali. "Kita baik-baik saja, kan? Kenapa harus dibesar-besarkan?"
Aku terdiam mendengar jawabannya. Apakah aku yang terlalu berlebihan? Ataukah dia yang tidak lagi peduli? Aku tidak tahu lagi. Setiap malam, aku merenung, mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Tapi jawaban yang kudapat selalu sama: ketidakpastian.
Aku pernah berpikir untuk mengakhiri semuanya, untuk berhenti menyakiti diri sendiri dengan terus berharap pada sesuatu yang mungkin tidak pernah ada. Tapi setiap kali aku mencoba melakukannya, ada sesuatu yang menahanku. Mungkin karena aku masih mencintainya, atau mungkin karena aku tidak siap untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungan ini mungkin memang sudah berakhir. Aku tidak tahu.
Suatu malam, aku memutuskan untuk menemui Bima dan berbicara dari hati ke hati. Aku tidak ingin lagi berlarut-larut dalam ketidakpastian ini. Aku ingin tahu apakah dia masih ingin melanjutkan hubungan ini atau tidak. Jika tidak, maka lebih baik kami berpisah dan menjalani hidup masing-masing.
Aku menemuinya di apartemennya, tempat yang dulu selalu terasa hangat dan nyaman. Namun malam itu, suasana terasa berbeda. Bima menyambutku dengan senyum yang agak canggung, seolah-olah dia tahu apa yang akan kubicarakan.
"Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mempersilakanku duduk.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Bima, aku ingin kita bicara," kataku akhirnya. "Tentang hubungan kita."
Bima mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Bukannya kita sudah bicara?"
Aku menggeleng. "Bukan seperti itu. Aku ingin tahu ke mana sebenarnya hubungan kita ini akan dibawa. Aku merasa kita semakin menjauh, dan aku tidak tahu apakah kamu masih serius dengan hubungan ini."
Bima terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu harus bilang apa, Sayang. Aku memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini, dan mungkin itu yang membuat aku kurang perhatian padamu."
"Aku mengerti kalau kamu sibuk, Bima," kataku pelan. "Tapi yang aku butuhkan adalah kepastian. Aku ingin tahu apakah kamu masih mau berjuang untuk hubungan kita ini, atau tidak."
Bima menghindari tatapanku. "Aku... aku tidak tahu, Sayang. Aku tidak mau memberi janji yang aku sendiri tidak yakin bisa menepatinya."
Jawabannya membuat hatiku terasa hancur. "Jadi, kamu sudah tidak mau berjuang lagi?"
Dia tidak menjawab, hanya terdiam, dan itu sudah cukup menjadi jawaban bagiku. Aku menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. "Kalau begitu, mungkin kita harus berhenti di sini."
Bima akhirnya menatapku, dan aku bisa melihat kesedihan di matanya. "Aku tidak mau menyakitimu, Sayang. Tapi aku juga tidak bisa memberi apa yang kamu inginkan saat ini."
Aku mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan yang sebenarnya sudah aku duga. "Aku mengerti, Bima. Mungkin memang sudah waktunya kita berpisah."
Kami berdua terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Hubungan yang selama ini aku pertahankan, akhirnya harus berakhir. Meski sakit, aku tahu bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Lebih baik kami berpisah sekarang daripada terus terjebak dalam hubungan yang tidak jelas arahnya.
Saat aku melangkah keluar dari apartemen Bima, aku merasa lega sekaligus sedih. Lega karena akhirnya aku tidak lagi terjebak dalam ketidakpastian. Tapi juga sedih karena harus mengakhiri sesuatu yang pernah begitu berarti bagiku. Namun, aku tahu bahwa ini adalah langkah yang harus kuambil untuk kebaikan diriku sendiri.
Malam itu, aku berjalan sendirian di bawah langit malam yang gelap. Hujan gerimis mulai turun, dan aku tidak membawa payung. Tapi aku tidak peduli. Aku biarkan hujan membasahi wajahku, menyamarkan air mata yang mulai mengalir. Aku tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Aku akan bangkit dan melanjutkan hidupku, meskipun tanpa Bima di sisiku.
Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar ingin berjuang untukku, yang tidak hanya bertahan karena tidak ingin menyakitiku, tapi karena dia benar-benar mencintaiku. Sampai saat itu tiba, aku akan belajar untuk mencintai diriku sendiri, untuk menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada orang lain.
Dan aku yakin, meskipun perjalananku mungkin panjang dan sulit, aku akan menemukan kembali kebahagiaan itu. Karena aku tahu, pada akhirnya, setiap orang berhak untuk bahagia.