Malam itu, ketika layar ponselku berkedip menampilkan notifikasi pesan baru, aku tak pernah menyangka bahwa hidupku akan berubah selamanya. Namanya Andi, dan dia muncul di tengah kepenatan rutinitas harianku yang monoton. Awalnya hanya obrolan ringan di media sosial, tapi perlahan-lahan, dia mulai mengisi setiap sudut pikiranku.
Namaku Sari, seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang tak pernah tidur, aku merasa kesepian. Mungkin itulah yang membuatku begitu mudah terjerat dalam pesona Andi yang hanya kukenal melalui layar kaca.
Andi memiliki cara yang unik untuk membuatku tersenyum. Dia selalu punya lelucon yang tepat untuk menghiburku di saat aku merasa down karena tekanan kuliah. Setiap malam, kami bisa mengobrol berjam-jam tentang apa saja - dari film terbaru hingga impian-impian kami di masa depan. Dia bercerita tentang keinginannya untuk menjadi seorang pengusaha sukses, dan aku membagikan mimpiku untuk menjadi seorang penulis.
"Kamu tahu, Sari? Suatu hari nanti, aku akan membangun sebuah perusahaan besar. Dan kamu akan menjadi penulis terkenal. Kita akan menjadi pasangan power yang akan membuat semua orang iri," katanya suatu malam, membuatku tersipu.
Tapi ada satu hal yang selalu menggangguku - kami belum pernah bertemu secara langsung. Setiap kali aku mengusulkan untuk bertemu, Andi selalu punya alasan. "Aku sibuk dengan persiapan bisnisuku," atau "Aku sedang tidak enak badan." Selalu ada sesuatu yang menghalangi kami untuk bertemu.
Meski begitu, aku tetap jatuh cinta. Mungkin karena Andi adalah pelarian dari kesepianku, atau mungkin karena aku terlalu naif untuk melihat tanda-tanda yang sebenarnya sudah jelas. Yang pasti, ketika Andi akhirnya mengajakku menjadi pacarnya melalui video call di malam kami merayakan dua bulan saling mengenal, aku tanpa ragu menjawab "Ya."
Awal-awal pacaran terasa seperti mimpi. Andi selalu ada untukku, setidaknya secara virtual. Dia orang pertama yang kuberitahu ketika aku akhirnya berhasil menyelesaikan draft pertama skripsiku. Dia juga yang menyemangatiku ketika aku merasa putus asa menghadapi revisi demi revisi dari dosen pembimbingku.
"Kamu pasti bisa, Sayang. Aku percaya padamu," katanya suatu malam ketika aku menangis frustasi di telepon.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ada yang tidak beres. Frekuensi komunikasi kami mulai berkurang. Andi yang dulu selalu membalas pesanku dengan cepat, kini bisa menghilang berjam-jam bahkan berhari-hari. Ketika kutanya, jawabannya selalu sama.
"Maaf, Sari. Aku sedang sibuk."
Sibuk? Dengan apa? Bukankah dia pengangguran? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai menghantuiku. Aku mencoba untuk memahami, mencoba untuk tidak menjadi pacar yang terlalu menuntut. Tapi semakin hari, aku merasa semakin diabaikan.
"Andi, kita perlu bicara," kataku suatu hari melalui pesan suara. "Aku merasa kamu semakin jauh. Ada apa sebenarnya?"
Butuh waktu seharian penuh sebelum Andi akhirnya membalas. "Maaf, Sari. Aku hanya sedang banyak pikiran. Kamu tahu kan, mencari pekerjaan itu tidak mudah."
Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku tidak bisa terus-menerus menunggu seseorang yang bahkan tidak bisa memberikan waktunya untukku.
"Andi, dengar," kataku dengan suara bergetar. "Aku tahu mencari pekerjaan itu sulit. Tapi kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kamu anak pertama, kamu punya tanggung jawab. Bagaimana kalau kamu mulai mencoba melamar pekerjaan? Mungkin tidak harus langsung jadi pengusaha besar, tapi setidaknya kamu punya penghasilan."
Hening sejenak sebelum Andi menjawab. "Kamu benar, Sari. Aku akan mencoba."
Aku tidak tahu apakah itu adalah titik balik dalam hubungan kami atau justru awal dari kehancurannya. Yang pasti, setelah pembicaraan itu, Andi mulai lebih jarang menghubungiku. Dia bilang dia sedang fokus mencari pekerjaan.
Minggu-minggu berikutnya terasa seperti roller coaster emosional bagiku. Di satu sisi, aku bangga Andi akhirnya mengambil langkah untuk memperbaiki hidupnya. Di sisi lain, aku merasa semakin terpinggirkan dari hidupnya.
Suatu hari, setelah hampir dua minggu tanpa kabar, Andi tiba-tiba menghubungiku dengan penuh semangat. "Sari! Aku diterima kerja!"
Hatiku membuncah mendengar kabar itu. "Benarkah? Andi, aku sangat bangga padamu!"
"Terima kasih, Sari. Ini semua berkat kamu yang mendorongku untuk mencoba."
Untuk beberapa saat, aku merasa hubungan kami akan kembali seperti dulu. Andi lebih sering menghubungiku, menceritakan tentang hari-harinya di tempat kerja baru. Tapi lagi-lagi, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Sebulan setelah Andi mulai bekerja, komunikasi kami kembali merenggang. Kali ini, alasannya adalah kesibukan pekerjaan. "Maaf, Sari. Aku lembur lagi hari ini," menjadi kalimat yang paling sering kudengar.
Aku mencoba untuk memahami. Bukankah ini yang kuinginkan? Andi sudah bekerja sekarang. Wajar jika dia sibuk. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Intuisiku mengatakan ada yang tidak beres.
Suatu malam, ketika rasa penasaran dan kecemburuanku sudah tidak terbendung lagi, aku nekat mencari tahu. Dengan bantuan temanku yang jago IT, aku berhasil melacak lokasi Andi melalui GPS ponselnya. Apa yang kutemukan membuatku hancur.
Andi tidak sedang lembur di kantor seperti yang dia katakan. GPS menunjukkan dia berada di sebuah kafe di pusat kota. Dengan hati yang berdebar, aku memutuskan untuk pergi ke sana.
Dan di situlah aku melihatnya untuk pertama kali - bukan melalui layar ponsel, tapi secara langsung. Andi, pria yang selama ini hanya kukenal melalui foto dan video call, duduk di sudut kafe bersama seorang wanita. Mereka tertawa, berbincang akrab, dan yang paling menyakitkan - bergandengan tangan di atas meja.
Duniaku seketika runtuh. Delapan bulan hubungan yang kubangun dengan penuh harapan dan mimpi, hancur dalam sekejap mata. Aku berdiri mematung di depan kafe, air mata mengalir deras di pipiku. Ingin rasanya aku masuk dan mengonfrontasi mereka, tapi kakiku seolah terpaku di tanah.
Dengan tangan gemetar, aku mengeluarkan ponselku dan mengirim pesan terakhir untuk Andi:
"Aku melihatmu di kafe. Dengan dia. Kita selesai."
Setelah itu, aku memblokir semua kontak Andi dan berjalan pulang dengan hati yang remuk redam. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kami mulai berhubungan, aku merasa benar-benar sendirian.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Aku mengurung diri di kamar, menangis sepanjang hari, dan mengabaikan panggilan dari teman-teman dan keluargaku. Skripsi yang hampir selesai terbengkalai. Aku merasa hidupku tidak lagi memiliki arah.
Tapi di tengah kegelapan itu, secercah cahaya mulai muncul. Sahabatku, Rina, yang sudah kukenal sejak SMA, tak henti-hentinya berusaha menghubungiku. Dia bahkan rela datang ke rumahku setiap hari, meski aku selalu menolak untuk menemuinya.
"Sari, aku tahu kamu terluka. Tapi kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini," kata Rina suatu hari, berbicara melalui pintu kamarku yang terkunci. "Buka pintunya, kumohon. Kita hadapi ini bersama."
Entah apa yang merasukiku, tapi hari itu aku akhirnya membuka pintu. Mungkin karena aku sudah lelah menangis, atau mungkin karena aku akhirnya sadar bahwa aku membutuhkan seseorang untuk berbagi.
Rina memelukku erat begitu pintu terbuka. Tanpa berkata apa-apa, dia membiarkanku menangis di bahunya. Untuk pertama kalinya sejak kejadian di kafe itu, aku merasa tidak sendirian.
"Kamu tahu, Sari?" kata Rina setelah aku lebih tenang. "Andi mungkin telah menyakitimu, tapi jangan biarkan dia merampas masa depanmu juga. Kamu punya mimpi, ingat? Kamu ingin jadi penulis. Jangan biarkan satu orang menghancurkan itu semua."
Kata-kata Rina menyadarkanku. Aku teringat akan mimpiku yang sempat terlupakan. Aku teringat akan skripsi yang harus kuselesaikan. Aku teringat bahwa hidupku tidak berakhir hanya karena satu orang telah mengkhianatiku.
Perlahan tapi pasti, aku mulai bangkit. Dengan dukungan Rina dan teman-teman lainnya, aku kembali fokus pada studiku. Aku bekerja keras menyelesaikan skripsiku, menuangkan semua emosi yang kurasakan ke dalam tulisan.
Enam bulan setelah putus dari Andi, aku akhirnya lulus dengan predikat cum laude. Hari itu, saat aku berdiri di podium menerima ijazahku, aku merasa seperti terlahir kembali. Aku bukan lagi Sari yang naif dan mudah ditipu. Aku adalah Sari yang lebih kuat, lebih bijak, dan siap menghadapi dunia.
Setelah lulus, aku memutuskan untuk mengambil langkah berani. Aku mengumpulkan semua tulisan yang kubuat selama masa-masa sulitku dan menyusunnya menjadi sebuah novel. Novel tentang cinta, pengkhianatan, dan kebangkitan. Novel yang kutulis dengan air mata dan tekad.
Tak disangka, novelku mendapat sambutan yang luar biasa. Penerbit demi penerbit berebut untuk menerbitkannya. Dalam waktu singkat, namaku mulai dikenal di dunia sastra Indonesia.
Suatu hari, saat aku sedang melakukan sesi tanda tangan di sebuah toko buku, seseorang yang tak kuduga muncul di hadapanku. Andi.
Dia berdiri di depanku dengan wajah tertunduk, memegang kopian novelku di tangannya. "Hai, Sari," katanya pelan. "Aku... aku minta maaf atas semua yang telah kulakukan."
Aku menatapnya, mencari-cari perasaan yang dulu pernah kumiliki untuknya. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan. Andi yang dulu pernah mengisi hari-hariku kini tak lebih dari sekedar kenangan buruk yang telah berhasil kuatasi.
"Terima kasih sudah datang, Andi," jawabku dengan tenang. "Dan terima kasih telah membeli bukuku. Kuharap kamu menyukainya."
Andi terlihat terkejut dengan responku yang dingin. Mungkin dia mengharapkan aku akan marah, atau mungkin berharap aku masih memiliki perasaan untuknya. Tapi aku sudah bukan Sari yang dulu lagi.
"Sari, aku... bisakah kita bicara sebentar? Mungkin minum kopi bersama?" tanyanya ragu-ragu.
Aku tersenyum kecil. "Maaf, Andi. Tapi aku punya jadwal yang padat hari ini. Dan sejujurnya, aku rasa kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan."
Dengan itu, aku kembali fokus pada pembaca berikutnya yang menunggu untuk mendapatkan tanda tanganku. Dari sudut mataku, aku melihat Andi berjalan pergi dengan langkah gontai.
Malam itu, saat aku duduk di balkon apartemenku yang baru, memandangi gemerlap lampu kota Jakarta, aku sudah tidak mau memberimu kesempatan kedua.