Sang mentari telah telah terbit di langit biru. Kali ini, Anantari Renata, gadis manis berlesung pipi kanan itu, tengah cemberut.
Duduk bersila di atas kursi panjang, rok sekolahnya untung saja panjang, sehingga tidak meminjam jaket kulit milik Damian.
Damian Reksa Wardana, laki-laki terdekat, sekaligus tetangga Tari. Sudah menjadi kebiasaan, kalau Damian belum pulang, maka Tari sama.
Daripada diinterogasi oleh Kanjeng Ratu, mending menunggu Damian, pikir Tari.
Ini sudah setengah jam, Tari menunggu Damian. Padahal, Damian bilangnya, hanya lima belas menit.
Tak lama, Tari mengambil ponsel dan menulis pesan disana.
Tari : Aku tunggu 15 menit. Kalau engga,
aku pulang dulu.
Ting ring.
Damian : Duluan. Masih lama.
Tambah mengerucut bibir Tari. Dasar kulkas. Engga bisa balas lebih dari dua kata apa! Kalau lama, ngapain disuruh tunggu.
Tari : Ya.
Hanya dua huruf. Itu balasan Tari pada Damian. Biarin.
Akhirnya, Tari mencari angkutan umum yang biasa digunakan untuk pulang saat dirinya tidak ikut pulang bersama Damian.
Angin semilir serta suara alami dari kanan kiri mobil menghilangkan rasa jengkel dan kesal Tari.
Betapa bersyukur hidupnya ini. Bila ia membandingkan dengan beberapa orang yang ia temui.
Betul memang, Papa dan Mamanya masih sehat, masih bisa membiayai dirinya. Tetapi, apakah itu bisa membuat dirinya menjadi kuat seperti sekarang.
Bisa bagi Papa Anand-papa Tari, untuk membelikan sebuah mobil, atau motor. Hanya saja, Tari menolak. Tari lebih suka naik angkutan umum. Naik motor apabila keadaan terdesak atau waktunya mepet
Ada dua motor di rumah dan satu mobil. Itupun hanya digunakan pada saat liburan dan acara keluarga.
Keluarganya termasuk mampu. Sekolah Tari pun masuk dalam kategori swasta favorit. Tari tidak mau menjadi omongan teman-temannya karena harta orang tua.
Banyak orang melihat dari apa yang mereka lihat. Urip itu sawang sinawang, kata Uyut.
Orang melihat kita, 'enak ya, bisa beli ini, bisa beli itu.'
Yang kita rasa, kalau ada uang, alhamdulilah bisa beli ini. Tapi kalau tidak, kita menabung. Dari tabungan itu, beberapa wish kita harus dicoret untuk memenuhi wish utama. Jadi, ada pengorbanan. Ada usaha untuk menahan. Itu yang selalu Papa Anand katakan.
***
Damian berdecak. 'Siapa yang berani buka ponsel gue.'
Dihubungi kembali nomor Tari. Tidak diangkat. 'Apes gue, mana Mami hari ini pulang.'
Damian mengacak rambutnya pelan. Tadi habis dari toilet, ponsel Damian sudah di atas meja. Padahal sebelum masuk, Damian menyerahkan ponselnya pada Mahen, wakil ketua OSIS, untuk menghitung tugas akuntansi yang diberikan pada guru mereka.
"Kok masih disini? Kan si Tari nungguin lo, Dam." Tutur Xavier, teman Damian.
"Udah pulang duluan, dia. Naik angkot." Jawab Mahen.
Damian melirik, "Kok lo tau, Hen."
"Lah, Karina yang bilang. Dia ngechat hp lo, katanya lo lama. Terus dia pulang duluan, lah." Mahen memberikan jawaban yang paling aman. Sebab dia tahu seberapa penting seorang Anatari untuk Damian.
"Memang bocah gila Karina."
"Dia ambil ponsel gue, pas sama lo Hen, terus ngechat si Tari."
"Jadi, mau Karina ini apa?" Tanya Damian bodoh.
"Ya, lo lah, Dam." Kata Xavier jengkel.
Damian hanya beroh ria saja.
"Ini sudah selesai kan rapatnya?" Dibalas anggukan Mahen.
"Gue pulang dulu. Kalian cari info tentang Karina."
"Engga usah banyak tanya, cari dulu.," Damian langsung menjawab, ketika Xavier terlihat untuk menyanggah.
"Dasar ketua kulkas."
***
"Tari, pulang."
Teriakan Tari menggema. Di rumah hanya ada Bibi Lung, dan dirinya. Papa dan Mamanya belum pulang dari luar kota.
"Non, ayo makan dulu." Seru bibi dari arah dapur.
"Oke, Bi Lung." Balas Tari.
Keduanya lalu makan dengan sedap dan nikmat.
***
"Pah, gimana ini? Tari harus cepat-cepat tahu mengetahui masalah ini. Jangan sampai dirinya tidak tahu." Mama Hana gelisah.
"Ini juga, Papa lagi cari waktu yang tepat buat bilang ke Tari, Mah."
"Bagaimanapun, Tari harus tahu kalau beberapa hari ini dirinya sedang diselidiki oleh orang yang berkekuatan besar."
"Tari, semoga anak perempuan yang cantik itu paham, bagaimana dulu digendong oleh kita."
Tok tok tok.
Mama Hana memegang tangan Papa Anand dengan erat, dan dibalas elusan dipunggung tangan Mama Hana.