"Ketika ombak besar datang, kita tak hanya harus berlari untuk menyelamatkan diri, tapi juga berdiri melawan ketidakadilan yang tersembunyi di baliknya."
•|Bagian 1: Kehidupan Sebelum Bencana
Angin laut berhembus lembut di pagi hari, membawa aroma asin yang sudah akrab bagi Naira sejak ia kecil. Di desa pesisir kecil di salah satu kabupaten di Bantam, kehidupan berputar di sekitar laut. Setiap hari, Naira bangun sebelum fajar, membantu ibunya yang seorang penjual ikan di pasar setempat. Meski hidup sederhana, Naira merasa bahagia. Baginya, desa ini adalah segalanya—rumah, keluarga, dan harapan.
Naira bukanlah gadis yang menonjol, tetapi ia dikenal sebagai sosok yang peduli dan selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan. Baik itu mengantarkan makanan kepada tetangga yang sakit, atau menjadi perantara antara warga desa dan kepala desa untuk menyelesaikan urusan-urusan sosial, Naira selalu ada. Meski baru berusia dua puluh tahun, ia sudah dihormati oleh banyak orang karena kebaikan dan ketulusannya.
Setiap pagi, Naira menyaksikan perahu-perahu nelayan berangkat ke laut, membawa harapan akan tangkapan yang melimpah. Ayahnya dulu adalah salah satu dari mereka, sebelum gelombang besar merenggut nyawanya beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Naira menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan ibunya. Meski perih kehilangan masih terasa, Naira terus berjuang, meyakinkan ibunya bahwa mereka akan baik-baik saja.
Namun, akhir-akhir ini, ada kegelisahan yang menghantui Naira. Ia sering mendengar bisik-bisik di pasar tentang perubahan aneh pada alam. Para nelayan berbicara tentang laut yang tak lagi ramah—air yang tiba-tiba surut, atau gelombang yang datang tanpa angin. "Ini pertanda buruk," kata salah satu nelayan tua. "Tsunami bisa datang kapan saja."
Naira mencoba mengabaikan kekhawatiran itu, tetapi hatinya tidak bisa tenang. Setiap kali ia menatap laut, ada perasaan tak menentu yang menggelayuti. Ia pernah mendengar cerita tentang tsunami yang menghancurkan desa-desa di pesisir lain. "Bagaimana jika itu terjadi di sini?" pikirnya. Namun, ketika ia bertanya kepada kepala desa tentang kemungkinan bencana, jawaban yang ia dapatkan selalu sama. "Jangan khawatir, Naira. Pemerintah sudah siap. Jika ada bahaya, kita akan diberitahu segera."
Malam itu, setelah seharian berjualan di pasar, Naira dan ibunya duduk di depan rumah kecil mereka, menikmati makan malam sederhana dari hasil tangkapan ikan yang dijual. Suasana terasa damai, hanya diiringi suara desiran ombak di kejauhan. Tapi entah kenapa, Naira merasa tidak nyaman. Ada sesuatu di udara yang membuatnya waspada, meski ia tak tahu apa.
Langit yang awalnya cerah tiba-tiba berubah. Awan gelap menggantung di atas kepala, menutupi bintang-bintang yang biasa menemani malam-malam mereka. Naira memperhatikan laut dengan cemas. Angin yang tadinya lembut berubah menjadi kencang, meniupkan rasa dingin yang tak biasa. Air laut mulai surut dengan cepat, lebih cepat dari yang pernah Naira lihat.
Ibunya, yang biasanya tenang, ikut merasakan keganjilan itu. "Naira, air laut... kenapa surut begitu cepat?" suaranya bergetar, menahan cemas yang mulai merayap.
Naira menatap ombak yang terus mundur, mengungkapkan dasar laut yang biasanya tersembunyi. "Ini tidak benar, Bu," bisiknya, merasa takut. "Kita harus segera mencari tempat yang lebih tinggi."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara gemuruh datang dari kejauhan, seperti ribuan kuda yang berlari. Tanpa sempat berpikir panjang, Naira menarik tangan ibunya, berlari menuju bukit kecil di belakang desa. "Ayo, Bu! Kita harus cepat!" teriaknya, berusaha melawan kepanikan.
Di tengah kekacauan itu, Naira menyadari satu hal yang mengerikan: mereka tidak menerima peringatan apa pun. Tidak ada sirene, tidak ada informasi evakuasi. Desa mereka tampaknya telah dilupakan.
---
Malam semakin gelap dan gemuruh tsunami semakin mendekat. Akankah mereka berhasil mencapai tempat aman sebelum semuanya terlambat?
---
•|Bagian 2 Di Tengah Bencana
Naira dan ibunya berlari dengan sekuat tenaga, berusaha mencapai bukit kecil yang menjadi satu-satunya tempat tinggi di sekitar desa. Kegelapan malam menambah kesulitan, tetapi gemuruh tsunami yang semakin mendekat membuat mereka tak punya pilihan selain terus maju. Kaki mereka terantuk akar pohon dan batu-batu tajam, tetapi rasa takut akan gelombang besar yang mengancam nyawa membuat mereka tak merasakan apa-apa selain adrenalin.
Ketika mereka hampir mencapai puncak bukit, Naira menoleh dan melihat sesuatu yang membuat hatinya tenggelam—gelombang raksasa sudah terlihat di kejauhan, tinggi dan mengerikan, seperti tembok air yang siap melahap apapun di jalannya.
"Naira, kita harus lebih cepat!" seru ibunya dengan napas tersengal.
Mereka akhirnya tiba di puncak bukit, di mana beberapa warga lain juga sudah berkumpul, wajah mereka penuh dengan ketakutan. Namun, yang membuat Naira tertegun bukan hanya pemandangan bencana yang mendekat, tetapi ketidakhadiran para pemimpin desa di antara mereka.
"Apa ada yang melihat Pak Kepala Desa?" tanya Naira dengan suara serak, berharap seseorang tahu jawabannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan kosong dan gelengan kepala.
Naira merasa marah. Bagaimana bisa para pemimpin desa yang seharusnya melindungi mereka tidak ada di sini? Mereka sudah pernah diberi tahu tentang kemungkinan bencana ini, tapi mengapa tidak ada peringatan sama sekali? Di mana para pemimpin itu ketika rakyatnya membutuhkan?
Beberapa menit kemudian, tsunami menghantam desa mereka dengan kekuatan dahsyat. Dari puncak bukit, Naira menyaksikan bagaimana gelombang raksasa itu meluluhlantakkan rumah-rumah, perahu-perahu, dan segala sesuatu yang ada di pesisir. Tangisan dan jeritan terdengar di mana-mana, memecah keheningan malam.
Naira memeluk ibunya erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Mengapa kita tidak diperingatkan, Bu? Mengapa kita tidak diberi tahu?" Suaranya pecah di tengah isak tangis. Ibunya hanya bisa menggenggam tangan Naira, mencoba memberi kekuatan.
Saat air surut dan pagi mulai menjelang, Naira bersama warga lainnya mulai turun dari bukit. Desa mereka kini hancur, hanya puing-puing yang tersisa. Di tengah reruntuhan, Naira bertekad untuk menemukan jawabannya. Dia tak bisa tinggal diam ketika mengetahui bahwa orang-orang yang seharusnya melindungi mereka malah absen di saat-saat genting.
"Bu, aku akan mencari tahu apa yang terjadi. Mereka harus bertanggung jawab," kata Naira dengan suara yang tegas.
Ibunya menatapnya dengan cemas. "Apa yang akan kamu lakukan, Naira?"
Naira menggeleng, mencoba menenangkan ibunya. "Aku tidak tahu, Bu. Tapi aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Kita semua punya hak untuk tahu mengapa kita tidak diperingatkan. Aku akan pergi ke kota, menemui Pak Camat, dan menuntut penjelasan."
Dengan tekad yang kuat, Naira memulai langkah barunya. Meski belum tahu apa yang akan ia hadapi di depan, satu hal yang pasti: ia tidak akan berhenti sampai para pemimpin masyarakat bertanggung jawab atas kelalaian yang mereka lakukan.
---
Naira bersiap untuk pergi ke kota menemui Pak Camat, namun apa yang akan ia temukan? Apakah ada konspirasi yang lebih besar di balik kejadian ini?
---