Suara langkah kaki yang tegas dan beradu dengan lantai terdengar menggema di sebuah kantor. Langkah kaki tersebut seakan-akan meremukkan lantai dengan tekanannya yang kuat dalam berpijak. Membuat orang-orang yang tak sengaja bertemu pandang dengannya buru-buru mengalihkan pandangan, karena ketakutan.
Devon, pria yang berstatus sebagai direktur salah satu perusahaan ternama, tengah merasa kesal. Mata tajamnya berkilat-kilat, amarah pun mulai bergejolak dalam dirinya. Tiada kesan ramah dari direktur muda itu.
Derit pintu ruangan direktur terdengar saat ia membuka dan mencoba masuk ke ruangannya. Diikuti sang sekretaris yang berusaha menyamakan langkah kakinya agar tak tertinggal.
Masih dengan rahang yang mengeras, Devon mengambil sebuah remote dan menekan tombol hingga pintu ruangannya tertutup secara otomatis.
Di depannya sudah ada wanita dengan tinggi semampai tengah menundukkan kepala. Keringat dingin terus mengucur di tubuhnya, tangannya mengalami tremor ringan.
“Kamu tahu apa kesalahan kamu, Karina?" suara Devon memecah keheningan.
“Sa ... saya ta ... hu, Pak," jawab Karina dengan terbata. Oh, wanita itu merasa pasokan oksigennya terkikis oleh rasa takut akibat kemarahan sang bos.
“Sebutkan apa kesalahan kamu!" Devon masih memandang Karina dengan pandangan yang menuntut.
“Reservasi restoran untuk janji temu dengan Klien tidak sesuai, sehingga membuat Klien tidak nyaman," jawabnya masih dengan kepala tertunduk.
“Jika kamu tahu, mengapa kamu mengacaukannya. Kamu tahu, kan saya kesempurnaan itu adalah hal yang utama bagi saya? Melihat ekspresi Klien yang tidak puas dengan pelayanan kita, itu menjatuhkan harga diri saya, Karina!" sentak Devon dengan suara meninggi ditengah kobaran api kemarahannya.
“Saya tahu dan saya mohon maaf, Pak," ujar Karina lagi.
“Maaf? ... huh, setelah apa yang kamu lakukan semuanya, kamu hanya bisa minta maaf?!" Devon meremehkan.
“Saya akan lakukan apa pun asal Bapak jangan pecat saya!" pintanya memohon.
“Apa pun?" beo Devon. Dengan segera Devon beranjak dari kursi kebesarannya dan mendekati sekretarisnya itu. Matanya menelusuri setiap jengkal tubuh Karina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seulas seringai licik mulai terbit di wajahnya.
Tanpa aba-aba Devon menarik pinggang Karina ke dalam rengkuhannya, membuat Karina terkesiap. Dan dalam secepat kilat, bibir Devon membungkam bibir sang sekretaris, membuat sang sekretaris mematung, saraf otaknya mengalami malfungsi.
Sejenak, Devon merasakan gairah yang luar biasa karena menikmati belahan daging semanis madu itu. Pinggangnya juga terasa pas dalam rengkuhannya.
Bunyi lenguhan nista menggema memenuhi ruangan, membuat gairah sang direktur kian memuncak.
Tak tahan dengan semua itu, Devon mendorong Karina hingga terjatuh di atas sofa dibawah kungkungannya.
Devon melepaskan tautan bibir mereka saat pasokan oksigen dirasa menipis.
Mata Karina bergerak dengan gelisah, tubuhnya bergetar hebat saat ketakutan menyelimuti dirinya.
“A ... apa yang Bapak lakukan?"
Dengan memandang Karina dalam Devon menyeringai, “Kau tahu? Tubuhmu sangat indah Karina. Aku ingin merasakanmu, bagaimana jika kau melayaniku sebagai penebusan atas kesalahanmu yang tadi? Bukankah kamu berkata akan melakukan apa pun?"
Mata Karina membeliak tak percaya, alarm tanda bahaya di kepalanya berbunyi dengan nyaring. Sontak saja, dengan segala kekuatannya ia melakukan perlawanan, menendang Devon dengan keras hati hingga jatuh terjerembab.
Tak hanya sampai disitu, Karina juga menghajar Devon dengan jurus beladiri yang ia kuasai diam-diam. Tubuh pria itu terkunci dan Devon mengerang kesakitan.
“Argh, lepaskan aku. Ini sakit sialan!" Devon berusaha melepaskan diri, tetapi usahanya nihil.
Karina menghajarnya hingga Devon tergeletak tak berdaya. Merasa sang bos tidak dapat melawan Karina melepaskan kunciannya terhadap tubuh Devon.
“Dengar Bos Bajingan. Aku mengatakan akan melakukan apa pun. Akan tetapi, bukan berarti aku mau menjual tubuhku, apalagi untuk pria tak bermoral sepertimu! ... mulai hari ini, aku mengundurkan diri jadi sekretarismu, aku akan keluar dari sini! Selamat siang dan tunggu surat pengunduran diri dariku!" Karina melangkahkan kakinya keluar dari ruangan direktur, meninggalkan Devon yang terkapar tak berdaya penuh luka.